Duka Buddhis dan Hindu di Balik Konflik Identitas Etnis di Rakhine, Myanmar
Bhagavant.com,
Rakhine, Myanmar – Semenjak konflik identitas etnis di Rakhine, Myanmar kembali menyeruak akibat serangan teroris “Rohingya”, ribuan warga mengungsi ke berbagai tempat. Bagaimana kisah umat Buddha yang ada di daerah konflik tersebut?
Berbagai media berita di Indonesia maupun luar negeri tidak berhenti “memanfaatkan” pemberitaan dari konflik identitas etnis yang terjadi di Rakhine. Sayangnya mayoritas berita lebih banyak menampilkan penderitaan kelompok etnis Benggala yang mengklaim diri sebagai Rohingya.
Minim sekali media utama yang memberitakan penyebab konflik kali ini, juga minim sekali berita penderitaan etnis minoritas lainnya yang ada di Rakhine.
Kisah San Tun kepala desa dari etnis Mro dan dua warga etnis Rakhine yang beragama Buddha, serta warga Rakhine beragama Hindu, menguak sisi yang tidak diungkap oleh mayoritas media utama di dunia yang terbuai dengan histeria “Rohingya”.
San Tun, kepala desa dari etnis Mro sudah biasa mencari nafkah di hutan Myanmar, hidup di antara kelompok etnis yang berbeda di Negara Bagian Rakhine. Tetapi peristiwa pembunuhan menghampiri kelompoknya.
Sebuah serangan terhadap warga etnis Mro, diklaim dilakukan oleh teroris Rohingya, merupakan penyebab konflik terburuk yang pernah terjadi di wilayah ini, memaksa mereka untuk melarikan diri dari kematian, pembakaran dan kecurigaan.
San Tun mengatakan para teroris tersebut membunuh delapan warga desa saat mereka mencari makan, termasuk saudara laki-laki dan anak tertuanya, pada tanggal 3 Agustus.
Setelah kematian-kematian tersebut, terjadi peningkatan pasukan keamanan di Rakhine utara.
Pertempuran sengit pecah tiga minggu kemudian antara teroris dan pasukan keamanan, menyebabkan sekitar 73.000 etnis Benggala yang mengklaim diri sebagai “Rohingya” melarikan diri ke barat ke Bangladesh.
Namun, arus pengungsian warga sipil yang lebih kecil dan memiliki ketakutan yang serupa dari komunitas di Rakhine yang beragama Buddha dan Hindu – sekitar 11.000 – menuju ke arah yang berlawanan, kehidupan mereka juga terjungkal oleh tetangga mereka sendiri.
Etnis Mro, yang hidup di hutan dan mayoritas beragama Buddha tinggal di perbatasan Myanmar dengan Bangladesh, termasuk di antara mereka yang mengungsi dari konflik terbaru yang membuat mereka terlibat dalam peran yang tidak diinginkan.
“Kami etnis Mro sudah biasa hidup di hutan dan pegunungan, satu-satunya pekerjaan kami adalah bertani sejak zaman nenek moyang,” kata San Tun, berusia 46, kepada AFP awal pekan ini di sebuah desa yang dikuasai pemerintah di luar Maungdaw, kota utama di Rakhine utara yang warga Buddhis dan Hindu-nya banyak melarikan diri.
“Sekarang kami tidak memiliki keamanan,” keluhnya.
San Tun mengatakan banyak warga etnis Mro – yang jumlahnya antara 20.000 hingga 40.000 – harus meninggalkan segalanya saat mereka mencari perlindungan di daerah yang dikuasai pemerintah, mereka takut para teroris akan menargetkan mereka lagi.
Kini, dengan kondisinya yang relatif aman, pikirannya beralih ke peternakan dan ladang padi yang telah masak di desa yang terpaksa mereka tinggalkan.
“Tidak ada yang tersisa untuk memberi makan mereka, saya pikir babi-babi kami akan mati,” katanya.
Han Thein, seorang nenek warga etnis Rakhine, mengatakan bahwa desanya Khan Thaya adalah salah satu tempat yang disergap oleh para teroris pada 25 Agustus.
Mereka menghabiskan malam bersembunyi di hutan terdekat. Setelah pertempuran mereda, suaminya yang berusia 62 tahun kembali untuk melihat apakah ia bisa menyelamatkan apa saja. Tapi Ha Thein memutuskan untuk mendesak pergi ke Sittwe, ibu kota Negara Bagian Rakhine. Sejak itu ia belum pernah mendengar kabar dari suaminya.
“Saya hanya khawatir terhadap cucu-cucu saya,” katanya kepada AFP di halaman sebuah vihara di mana banyak pengungsi berkumpul untuk mencuci pakaian kecil apa yang mereka miliki dengan mereka dan beristirahat.
“Kami hanya berlari, kami tidak memikirkan apapun selain keselamatan kami, tapi sekarang saya sangat khawatir dengan suami saya, dia sudah tua.”Han Thein, seorang etnis Rakhine Buddhist, mengatakan bahwa desanya Khan Thaya adalah salah satu tempat yang disergap oleh teroris pada 25 Agustus.
Mereka menghabiskan malam bersembunyi di hutan terdekat. Setelah pertempuran mereda, suaminya yang berusia 62 tahun kembali untuk melihat apakah dia bisa menyelamatkan apapun. Tapi Ha Thein memutuskan untuk mendesak Sittwe, ibu kota negara bagian Rakhine. Dia belum pernah mendengar kabar darinya.
“Saya hanya khawatir untuk cucu-cucu saya,” katanya kepada AFP di halaman sebuah biara Budha di mana banyak pengungsi berkumpul untuk mencuci sedikit pakaian yang mereka miliki dan untuk beristirahat.
“Kami hanya berlari, kami tidak memikirkan apa pun selain keselamatan kami, tapi sekarang saya sangat khawatir dengan suami saya, ia sudah tua,” kata Nenek Han.
Beberapa dari mereka yang berkumpul di Sittwe mengatakan bahwa ini bukan pertama kalinya mereka terpaksa melarikan diri karena konflik identitas etnis.
“Ini adalah ketiga kalinya saya meninggalkan desa saya,” kata San Mae, seorang wanita Buddhis etnis Rakhine berusia 52 tahun. Ia pertama kali mengungsi dari Desa Baw Di Kone pada tahun 2012 saat konflik identitas etnis di mulai, dan meletus kembali tahun 2015.
Konflik terbaru ini yang dimulai dengan serangan teroris “Rohingya” yang mengklaim diri sebagai Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA), untuk pertama kali berdampak pada komunitas Hindu.
Pekan lalu seorang reporter AFP mengunjungi sebuah rumah sakit di Maungdaw di mana enam jenazah pekerja konstruksi bergama Hindu yang tertembak peluru dibawa. Korban yang selamat mengatakan bahwa kelompok pekerja tersebut telah disergap oleh para teroris tersebut.
“Kami datang ke sini untuk sementara karena warga Muslim menyebabkan kerusuhan,” kata Chaw, seorang wanita Hindu berusia 50 tahun di Maungdaw, kepada AFP. “Tapi kami tidak tahu ke mana kami akan pergi jika situasinya menjadi lebih buruk.”
Pengungsi etnis Benggala yang mengklaim diri sebagai “Rohingya” yang menyeberang ke Bangladesh telah memastikan bahwa beberapa orang dari mereka tinggal di belakang untuk bergabung dengan ARSA dengan bersenjata tongkat dan pedang untuk memerangi militer Myanmar.
Namun tidak semua mendukung aksi para militan tersebut. Sebagian etnis Benggala yang mengklaim diri sebagai Rohingya yang tertinggal di Rakhine mengatakan bahwa mereka sangat marah karena serangan tersebut telah menuangkan bahan bakar pada api ketegangan di sana.
“Kami tidak menginginkan teroris,” kata seorang etnis Benggala-Rohingya dari Desa Maungni kepada AFP.
“Kami akan bekerja sama dengan etnis Rakhine,” tambahnya. “Dulu kami seperti keluarga dan saudara sebelum hal ini terjadi.”
Kisah tersebut dipublikasikan oleh kantor berita AFP pada Minggu (3/9/2017) waktu setempat, dan dikutip media berita lainnya seperti Mizzima, Digital Journal, dan sedikit media di Indonesia.
Pemberitaan yang tidak berimbang serta penyesatan foto hoax yang beredar menimbulkan bias informasi yang diterima masyarakat dunia.
Mehmet Simsek (Wakil Perdana Menteri Turki) dan Tifatul Sembiring (mantan Menkoinfo Indonesia) adalah dua dari banyak orang yang sempat berkomentar memposting foto-foto hoax di media sosial tentang konflik etnis tersebut, meskipun akhirnya mereka meralatnya.
Diperkirakan akan banyak lagi tokoh dunia yang akan berkomentar karena bias informasi tanpa tahu situasi sebenarnya di lapangan. Sangat disayangkan jika umat Buddha khususnya di Indonesia juga mendapatkan informasi yang bias dan menelannya bulat-bulat.
Mereka yang bijak yang yang telah melihat dua sisi yang berbeda dari konflik identitas etnis ini bukan hanya berharap menyelamatkan kehidupan satu kelompok saja tetapi juga semua yang ada di Negara Bagian Rakhine. Selamatkan Rakhine (#saveRakhine).[Bhagavant, 9/9/17, Sum]
Kategori: Birma
Kata kunci: Myanmar, solidaritas kemanusiaan
Penulis: