Sayadaw yang Membawa Pelipur Lara di Tengah Kudeta Myanmar
Bhagavant.com,
Yangon, Myanmar – Saat di tengah masa-masa krisis kudeta di Myanmar, kehadiran seorang sayadaw menjadi pelipur lara bagi warga Myanmar.
Yang Mulia Sayadaw Maha Bodhi Myaing, seorang bhikkhu berusia 80 tahun di Wilayah Sagaing Myanmar utara, telah muncul sebagai sosok harapan dan stabilitas yang tenang bagi warga Myanmar yang terus hidup dalam ketakutan di tengah kekacauan selema sembilan bulan sejak pemerintah terpilih Aung San Suu Kyi digulingkan dalam kudeta yang dipimpin militer pada 1 Februari 2021.
Pada masa-masa damai tanpa pergolakan politik, ketika fajar tiba, Y.M. Sayadaw Maha Bodhi Myaing bangkit dari meditasinya di dataran Myanmar utara secara diam-diam berkeliling untuk menerima persembahan makanan (Pali: piṇḍapāta) hanya dari segelintir umat.
Namun, sekarang setiap pagi, kerumunan peziarah berbaris di jalannya, berharap untuk melihat sekilas bhikkhu yang telah menjadi perwujudan harapan dan pelipur lara bagi ribuan orang di negara yang dilanda kudeta tersebut.
Myanmar telah mengalami krisis selama sembilan bulan sejak militer merebut kekuasaan pada 1 Februari, menjungkirbalikkan pemerintahan demokratis yang berusia pendek.
Bagi banyak orang, kehadiran Y.M. Sayadaw Maha Bodhi Myaing memberikan penawar dari “tiga bencana”: penggulingan pemerintah oleh militer, kerusakan akibat pandemi dan ekonomi yang hancur akibat kerusuhan selama sembilan bulan.
“Saya datang ke sini untuk memberi penghormatan kepada Sayadaw karena… beliau seperti membawakan kedamaian dan stabilitas kepada masyaraakt,” kata Khaing Thiri Tun, 40, seorang ibu rumah tangga yang berkendara lima jam dari Mandalay ke vihara kecilnya di wilayah Sagaing.
Awalnya hanya sebagai kecil pengunjung yang hadir ketika Sayadaw tersebut pertama kali terlihat pada awal musim hujan, namun kini telah menjadi kerumunan besar, karena dikabarkan oleh posting-an media sosial.
Beberapa orang mengklaim kemunculannya kembali telah membawa ketenangan ke daerah sekitarnya bahkan ketika pertempuran meningkat di tempat lain di Sagaing, antara militer dan penentang anti-kudeta.
“Wilayah kami stabil ketika Sayadaw menerima para peziarah,” kata Kaythi, 35, kepada AFP.
Baginya dan penduduk lokal Sagaing lainnya, arus warga yang masuk ke daerah tersebut telah membawa manfaat materi dan spiritual.
Kaythi yang sebelumnya menjadi seorang petani, kini menjadi salah satu dari banyak orang yang mulai bekerja sebagai sopir ojek, mengangkut para peziarah melalui jalan tanah satu jalur ke Arama Nyeyadham.
Sementara itu, Moe Zaw seorang manajer perusahaan berharap melihat Sayadaw akan menyembuhkan sakit punggung yang dideritanya sejak menjalani operasi, tetapi ia merasa khawatir atas keselamatannya dalam perjalanan sejauh 700 kilometer dari pusat komersial Yangon.
Namun ternyata rute yang dilaluinya itu dalam kondisi yang damai dan sekarang rasa sakitnya hilang, katanya.
“Saya percaya tidak ada bahaya bagi kami karena kekuatan dan kebajikan Sayadaw,” tambahnya seperti yang dilansir BNI, Selasa (26/101/2021).
Di Myanmar, para bhikkhu dipandang sebagai otoritas moral tertinggi. Mereka sering memainkan peran dalam mengorganisir masyarakat dan kadang-kadang bahkan memobilisasi oposisi menentang rezim militer yang telah memerintah negara itu selama lebih dari 60 tahun.
Demonstrasi besar-besaran yang dipicu oleh kenaikan harga bahan bakar pada tahun 2007 atau yang dikenal dengan Revolusi Safron dipimpin oleh para bhikkhu, dan para bhikkhu juga memobilisasi upaya bantuan setelah Topan Nargis dan mandulnya rezim junta yang menghancurkan pada tahun 2008.
“Sayadaw belum mengatakan apa-apa tentang situasi politik,” kata Khin Maung Win, salah satu dayaka-nya yang mengawasi audiensi pagi.
“Beliau menjalankan kewajiban agamanya.”
Menurut kelompok pemantau lokal, lebih dari 1.100 warga sipil tewas dan hampir 9.000 ditangkap saat militer menindak perlawanan terhadap kekuasaannya.
Sagaing telah menyaksikan beberapa pertempuran paling berdarah antara pasukan junta dan “pasukan pertahanan rakyat”, dengan penduduk desa menuduh pasukan keamanan membakar rumah-rumah dan melakukan pembantaian.
Di kota-kota di dekat arama Y.M. Sayadaw Maha Bodhi Myaing, toko-toko ditutup dan jalanan sepi. Tetapi di halaman Arama Nyeyadham yang sunyi, para peziarah beristirahat, berbagi makanan dan mengatakan kekhawatiran mereka terasa lenyap.
“Ini kesempatan langka,” kata Moe Moe Lwin, seprang pengunjung lain dari Mandalay.
“Sayadaw pasti punya alasan untuk menerima para peziarah… Beliau muncul di depan masyarakat sehingga mereka bisa merasa damai dan bebas dari bahaya.”
Tapi semua pemujaan seperti itu tidak baik untuk konsentrasi bhikkhu, kata Khin Maung Win.
“Kesulitan utama yang kami hadapi adalah kebisingan,” katanya kepada AFP.
“Sayadaw suka keheningan. Sangat sulit bagi kami untuk membuat semua orang diam.”
Sayadaw (harfiah: guru yang mulia) adalah sebuah titel kehormatan bagi bhikkhu senior di Myanmar.[Bhagavant, 1/11/2021, Sum]
Kategori: Asia Tenggara,Birma
Kata kunci: bhikkhu, Myanmar
Penulis: