Perayaan Kathina Ditiadakan Akibat Kerusuhan Komunal di Bangladesh
Bhagavant.com,
Jalur Bukit Chittagong, Bangladesh – Kerusuhan yang dilakukan sekelompok etnis Bengali Bangladesh di tiga distrik di Jalur Bukit Chittagong, membuat perayaan Kathina di wilayah tersebut ditiadakan untuk pertama kalinya.
Sebanyak 15 organisasi monastik Buddhis di Jalur Bukit Chittagong (CHT), Bangladesh, untuk pertama kalinya memutuskan untuk tidak merayakan Kathina Civara Dana (upacara pemberian jubah Kathina), salah satu festival besar dalam Agama Buddha, tahun ini.
Keputusan ini diambil karena kekhawatiran atas situasi keamanan sipil yang sedang berlangsung. Upacara yang biasanya berlangsung selama sebulan di berbagai vihara ini awalnya dijadwalkan mulai pada 18 Oktober.
Pengumuman ini disampaikan pada konferensi pers yang diadakan pada 6 Oktober di Vihara Maitri, Distrik Rangamati. Para bhikkhu menyebutkan situasi keamanan di CHT yang semakin memburuk sebagai alasan utama. Vihara Rangamati Rajban, vihara terbesar di CHT, mendukung keputusan ini.
Perayaan pemberian jubah Kathina merupakan acara penting dalam Agama Buddha yang diadakan setelah masa retret musim hujan selama tiga bulan, yang berakhir dengan upacara Pavarana. Acara tradisional ini berakar pada kebiasaan Buddhis kuno dan terutama ditemukan dalam tradisi Theravada.
Saat ini, Kathina menjadi perayaan tahunan besar di mana umat Buddha berkumpul untuk memberikan prsembahan kepada para bhikkhu, seperti jubah dan dana.
Ketua Bhikkhu Sangha Parbatya, Y.M. Shraddhalankar Mahathera, menyatakan dalam pernyataan tertulis bahwa perayaan tersebut tidak akan diadakan di vihara manapun di wilayah tersebut karena situasi kerusuhan dan ketidakpastian yang terjadi.
“Dalam situasi seperti ini, kami terpaksa mengambil keputusan bersama untuk tidak melaksanakan program Kathina Civara Dana tahun ini,” ujar Y.M. Shraddhalankar, seperti yang dilansir New Age, Minggu (6/10/2024).
Y.M. Shraddhalankar melaporkan bahwa pada tanggal 18–20 September dan 1 Oktober, ratusan toko milik komunitas warga adat telah dirusak, dijarah, dan dibakar di distrik Khagrachari dan Rangamati. Ia menambahkan bahwa warga etnis Bengali juga menargetkan vihara-vihara, merusak rupaka Buddha, dan menjarah kotak donasi. Empat orang warga adat tewas dalam insiden tersebut dan banyak lainnya terluka.
Kekerasan dimulai di Distrik Khagrachari pada 18 September, setelah pembunuhan seorang pemuda bernama Mamun, yang diduga terlibat dalam pencurian sepeda motor. Namun, komunitas warga adat menegaskan bahwa mereka tidak terlibat dalam pembunuhan tersebut. Kekerasan kemudian menyebar ke Distrik Rangamati.
Para bhikkhu juga menyampaikan bahwa aparat penegak hukum diduga juga terlibat, baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam tindak kekerasan yang terjadi di CHT. Mereka menyatakan bahwa meskipun telah dibentuk komite penyelidikan resmi, tidak ada tuntutan hukum yang diajukan setelah serangan tersebut.
Deputi komisioner Distrik Rangamati, Mosharraf Hossain Khan, yang khawatir atas keputusan para bhikkhu, mengadakan pertemuan pada 7 Oktober dan mendesak mereka untuk mempertimbangkan kembali keputusan tersebut, dengan menyatakan bahwa situasi hukum dan ketertiban di CHT telah kembali normal. Namun, para bhikkhu tetap teguh pada keputusan mereka untuk membatalkan perayaan tersebut.
“Kami merasa sangat tidak aman setelah serangan yang ditargetkan terhadap rumah-rumah dan tempat ibadah milik etnis minoritas, sementara Pasal 144 diberlakukan,” kata Y.M. Prajna Jyoti, seorang bhikkhu yang berbicara dalam konferensi pers.
Persekusi warga adat dan agama minoritas di Bangladesh khususnya di wilayah Jalur Bukit Chittagong sering terjadi. Persekusi ini sudah lama terjadi namun tidak ada perubahan dan dunia seolah-olah membuta dan tuli atas kasus yang terjadi di negara yang mayoritas penduduknya mengaku beragama Islam ini. [Bhagavant, 17/10/24, Sum]
Kategori: Asia Selatan,Bangladesh
Kata kunci: Kathina Puja
Penulis: