Isu Rohingya, Buddhis Indonesia Kembali Dapat Ancaman Teror
Bhagavant.com,
Jakarta, Indonesia – Umat Buddha Indonesia kembali mendapatkan ancaman teror terkait masalah konflik etnis di Birma (Myanmar), yang muncul melalui media sosial seperti Facebook dan Twitter, demikian yang disampaikan Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Buddhayana Indonesia (MBI), Henry Gunawan.

Henry yang menerima selebaran dari salah satu media sosial mengatakan bahwa ancaman tersebut ditujukan kepada para bhikkhu yang dituduh menentang pendukung pengungsi etnis Rohingya di Myanmar.
Dalam selebaran provokasi tersebut berbunyi desakan untuk tidak tinggal diam membiarkan para bhikkhu merayakan Vesak (Waisak) 2559 di Candi Borobudur pada 2 Juni 2015.
“Isu sekarang makin memanas, ada kekhawatiran, apalagi ada selebaran ini yang mengancam akan mengusik perayaan di Borobudur,” kata Henry seperti yang dilansir CNN Indonesia, Sabtu (23/5/2015).
Tekanan, ancaman teror hingga aksi pemboman telah dialami oleh umat Buddhis sejak isu konflik etnis Rohingya dengan etnis Rakhine mencuat. Salah satunya adalah Vihara Borubudur, Medan, Sumatra Utara yang menjadi salah sasaran aksi demo oleh puluhan massa yang mengklaim sebagai anggota Front Pembela Islam (FPI), pada 3 Mei 2013.
Peristiwa yang mendapat perhatian masyarakat luas adalah pemboman Vihara Ekayana di Jakarta Barat pada 4 Agustus 2013 lalu yang juga menjadikan isu konflik etnis Rohingya sebagai alasannya. Puluhan vihara di Jakarta juga sempat menjadi incaran aksi teroris.
“Apalagi waktu itu teror bom juga muncul pas isu Rohingya ini memanas. Kami harap pemerintah bisa meningkatkan keamanan menjelang perayaan Waisak pada 2 Juni nanti,” kata Henry menegaskan.
Selain meminta pemerintah dan aparat kepolisian untuk meningkatkan pengamanan, Henry juga meminta kepada masyarakat agar tidak terpancing isu yang bisa memecah kerukunan antar umat beragama di Indonesia.
“Dalam sejarahnya, hubungan umat beragama antara kaum Buddha dengan kelompok agama lain seperti Islam atau Kristen di Indonesia selalu harmonis. Konflik seringkali muncul akibat disintegrasi umat agama di luar negeri, yang berimbas ke Indonesia,” jelas Henry.
Henry mengatakan persoalan Rohingya murni bukan konflik agama. Oleh karena itu, pihaknya juga membantu para pengungsi yang berada di Aceh. Salah satunya dengan memberikan bantuan dari organisasi cabang Aceh dan Sumatera Utara.
“Kami memberikan bantuan. Perwakilan kami di daerah ikut bergerak membantu dan berkoordinasi dengan pengurus pengungsian,” kata Henry menjelaskan.
Penjelasan Wakil Sekretaris Jenderal MBI yang mengatakan bahwa persoalan etnis Rohingya adalah bukan konflik agama juga senada dengan yang telah disampaikan oleh Presiden Indonesia saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dalam keterangan pers di Cikeas, pada 4 Agustus 2012.
“Permasalahan etnis Rohingya yang ada di Myanmar yang terjadi sesungguhnya adalah konflik komunal, konflik horizontal antara etnis Rohingya dengan etnis Rakhine,” jelas Presiden SBY yang juga menyatakan tidak ada indikasi genocide atau genosida pada konflik 8 Juni 2012.
Di Birma (Myanmar) etnis Rohingya adalah etnis Benggala/Bengali yang mayoritas tinggal di wilayah Rakhine (Arakan) dan mayoritas sebagai pendatang dari Bangladesh pada masa kolonial Inggris. Bagi Pemerintah Birma (Myanmar) berdasarkan sejarah dan UU Kewarganegaraan tahun 1982, mereka yang bukan pendatang (sudah 60 tahun tinggal) diakui dan tergolong dalam etnis Kamein/Kaman.
Namun belakangan ada sebagian dari etnis Benggala/Bengali tersebut yang mengklaim dirinya sebagai etnis bernama “Rohingya” sebuah istilah yang tidak ada dalam sejarah Birma (Myanmar). Hal inilah yang menimbulkan penolakan dari Pemerintah Birma (Myanmar) sehingga tidak dapat memberikan mereka kewarganegaraan.
Konflik antara etnis “Rohingya” dan etnis Rakhine sendiri bersifat kompleks, termasuk masalah penyakit sosial yang mudah memicu mereka untuk berkonflik. Pada konflik 2012, keduanya menderita akibat konflik.[Bhagavant, 31/5/15, Sum]
Kategori: Indonesia
Kata kunci: diskriminasi, kriminalitas
Penulis: