Pesan Waisak 2558 EB / 2014 Sangha Agung Indonesia

Bhagavant.com,
Jakarta, Indonesia – Beberapa minggu lagi Waisak atau Vesak 2558 Era Buddhis (EB) tahun 2014 akan tiba. Dan tahun 2014 ini merupakan tahun politik bagi bangsa Indonesia, yaitu saat bangsa Indonesia melaksanakan pesta demokrasi dengan mengadakan pemilihan umum untuk memilih pemimpin bangsa untuk lima tahun mendatang.

Memperhatikan kondisi politik serta kepemimpinan saat ini di Indonesia, dengan mengusung tema Waisak 2558: Buddha Memimpin Kita Hidup Berkesadaran, Sangha Agung Indonesia (SAI/Sagin) memberikan pesan Waisak dengan menitikberatkan pada anjuran untuk hidup berkesadaran kepada umat termasuk kepada para pemimpin politik.

Berikut pesan Waisak 2558/2014 dari Sagin yang ditandatangani oleh ketua umumnya, Mahathera Nyanasuryanadi.

PESAN WAISAK 2558 BE/2014
SANGHA AGUNG INDONESIA

Namo Sanghyang Ādi Buddhaya
Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammā Sambuddhassa
Namo Sabbe Bodhisattāya-Mahasattāya

 

BUDDHA MEMIMPIN KITA HIDUP BERKESADARAN

Waisak Purnamasiddhi telah tiba, semua umat Buddha mengingat dan merenungkan makna spiritual dan semangat yang terkandung dalam tiga peristiwa besar: Pertama Pangeran Siddharta Gotama di Lumbini, di taman yang indah. Beliau adalah Bodhisattva yang turun ke bumi dari surga Tusita untuk menjadi Buddha. Kedua dari Pencapaian Pencerahan petapa Siddharta Gotama berhasil mewujudkan Nibbana dan menjadi Samyaksambuddha di Bodhgaya, di bawah pohon Bodhi. Yang ketiga, parinibbana Buddha Gotama di Kusinara, di antara dua pohon Sala kembar. Peristiwa yang terjadi pada bulan Waisak merupakan totalitas kehidupan yang penuh dengan dedikasi dan karya besar bagi kemanusiaan, peradaban, dan alam semesta.

Setiap peristiwa dalam kehidupan Buddha memberikan pelajaran komprehensip kesadaran terhadap realitas-realitas kehidupan manusia, tentang keterikatan pada usia tua, kesakitan (penyakit), dan kematian, serta mengajarkan pentingnya perenungan yang mendalam dan pikiran kritis. Kesadaran (Buddha) mengingatkan akan ketidaksadaran terhadap kehidupan yang tenggelam dalam aneka kesenangan dan masalah-masalah yang rendah, dan terlena pada keasyikan besar yang menggoda pada setiap saat dalam kehidupan. Pencapaian pencerahan Buddha mengajarkan kebijaksanaan dan kebebasan tertinggi dari penderitaan yang merupakan sebuah potensi inheren di dalam manusia. Energi kesadaran ini ketika dipupuk akan membantu, melindungi, dan membarikan keberanian untuk kembali kepada diri sendiri. Kesadaran penuh ini akan membawa konsentrasi, dan konsentrasi akan membawa pemahaman. Pemahaman akan membebaskan dari ketidaktahuan, kemarahan, dan keserakahan. Perhatian mental yang tepat (yonisomanasikāra) menghadirkan kebahagiaan, kedamaian, kejernihan, dan cinta kasih. Ketika bebas dari penderitaan kebahagiaan menjadi mungkin, dan bagaimana bisa bahagia ketika dilanda kemarahan, ketidaktahuan, dan keserakahan. Buddha menjawab pertanyaan devatā (S.I.42) “Setelah membunuh, apakah seseorang tidur dengan lelap? Setelah membunuh, apakah seseorang tidak bersedih? Apakah satu hal ini, O, Gotama, pembunuhan yang Engkau setujui?” Buddha Gotama menjawab Setelah membunuh kemarahan, seseorang tidur dengan lelap; setelah membunuh kemarahan, seseorang tidak bersedih; pembunuhan kemarahan, O, Devatā, dengan akarnya yang beracun dan pucuknya yang bermadu; inilah pembunuhan yang dipuji oleh para mulia, karena setelah membunuhnya, seseorang tidak bersedih.

Hidup berkesadaran merupakan “jalan langsung (ekayano)” yang dijelaskan dalam bagian pertama Satipatthana Sutta (M.I.56) untuk memperoleh realisasi. Buddha bersabda: Para bhikkhu, inilah jalan langsung untuk mempurifikasikan para makhluk, mengatasi penderitaan dan ratapan, menghilangkan penderitaan (dukkha) dan penolakan, memperoleh cara sesungguhnya, merealisasi nibbana, yaitu empat satipatthana (1) merenungkan tubuh (kaya), (2) merenungkan perasaan (vedanā), (3) merenungkan pikiran (citta), (4) merenungkan fenomena-fenomena (dhamma). Praktik ini dapat membantu mengatasi kelemahan sehubungan dengan lima sila (A.IV.457). Energi negatif selalu mencoba muncul, namun jika menghadirkan perhatian penuh kesadaran maka kita akan mengenalinya. Perhatian penuh kesadaran akan membantu mengenali kebiasaan-kebiasaan yang diwariskan oleh leluhur dan kedua orang tua, atau yang diperoleh selama masa kanak-kanak. Melalui napas masuk dan keluar dengan perhatian penuh kesadaran, serta berkata ‘energi kebiasaan yang kukasihi, muncul kembali’. Dengan mengenali kebiasaan itu, maka akan melemah kekuatannya. Jika muncul kembali lakukan cara yang sama, dan energi akan semakin melemah kekuatannya. Jadi tidak perlu memeranginya atau melawan, cukup kenali dan tersenyumlah kepadanya, sehingga akhirnya tidak bisa mengendalikan kita lagi.

Buddha memimpin kita hidup berkesadaran, dimana kata Buddha berarti seorang yang sadar atau seseorang yang telah terjaga, yang tahu apa yang sedang terjadi. Buddha adalah kita, dengan latihan Dharma akan menolong dan memimpin diri kita serta orang-orang sekitar agar terjaga atau tergugah dengan fakta, bahwa semua memiliki benih keterjagaan di dalam diri, dan karena itulah masih banyak harapan. Dengan keterjagaan kolektif, maka segalanya dapat bergerak dengan cepat. Sehingga, apa pun yang kita lakukan harus ditujukan untuk menghadirkan keterjagaan kolektif. Para pemimpin memiliki benih-benih kebaikan di dalam dirinya, dan memiliki benih-benih negatif. Kemungkinan dikelilingi oleh orang-orang yang tidak tahu cara menyirami benih-benih kebaikan, dan terus menyirami benih-benih ketakutan, kemarahan, kekerasan, dan keserakahan. Karena itulah, perlu mencari cara-cara agar bersentuhan dengan para pemimpin politik, serta menolong mereka. Protes adalah satu jenis pertolongan, tetapi harus dilakukan dengan arif-bijaksana, sehingga dilihat sebagai sebuah tindakan kasih, dan bukan tindakan kebencian.

Para pemimpin politik dan bisnis memiliki banyak energi serta niat untuk memenuhi harapan-harapan mereka. Sebagian dari niat tersebut mungkin sangatlah bermanfaat; niat untuk menghentikan polusi, mengakhiri ketimpangan sosial, merestorasi kedamaian, mentransformasi serta membawa perubahan di dunia. Tetapi bukan berarti mereka juga tidak memiliki niat untuk menjadi penuh kekuasaan, penuh kesuksesan, serta terkenal. Jadi, mungkin terdapat banyak niat yang saling kontradiksi dalam diri pemimpin. Kita bisa menolong mereka agar sadar akan motivasi-motivasi mereka, serta melihat cara untuk mengharmoniskannya. Caranya adalah dengan menolong mereka mengerti dirinya sendiri. Bagus bagi seorang praktisi agar cukup rendah hati untuk mengenali bahwa dia belajar banyak tentang dirinya sendiri, tentang penderitaan, serta tentang situasi dunia ini.

Latihan untuk mendengar secara mendalam serta mengerti diri sendiri dengan baik, untuk mendengar dunia serta mengerti penderitaannya; adalah sama bagi setiap orang, baik mereka praktisi-praktisi individual, para pemimpin politik, atau para pemimpin bisnis. Banyak pemimpin bisnis yang ingin melakukan hal-hal baik, yang ingin menggunakan perusahaannya untuk lebih mempromosikan kesetaraan sosial dan kesejahteraan. Tetapi mereka menghadapi banyak kesulitan. Sebagian dari mereka harus melakukan kompromi, karena jika tidak mereka mungkin kehilangan posisi dan karir mereka. Para pemimpin memiliki kesulitan-kesulitannya sendiri. Kita tidak bisa dengan gampangnya menyalahkan mereka atas masalah-masalah dunia. Kita harus mengerti sebelum bisa menolong mereka.

Sembari mengenali manfaat pemisahan agama dari politik dan keterbatasan sistem politik dalam menghasilkan kedamaian dan kebahagiaan, ada beberapa aspek ajaran Buddha yang berhubungan dekat dengan aturan politik pada masa kini. Pertama, Buddha berbicara tentang kesejajaran semua umat manusia, dalam Aggañña Sutta (D.III.83) satu-satunya klasifikasi umat manusia, menurut Buddha didasarkan pada kualitas tingkah laku moral mereka. Kedua, Buddha mendorong semangat kerja sama sosial dan partisipasi aktif dalam masyarakat. Ketiga, karena tidak seorang pun ditunjuk sebagai penerus Buddha, anggota persamuan akan dituntun oleh Dharma dan Vinaya, atau Aturan Kebenaran Hukum. Keempat, Buddha mendorong semangat konsultasi dan proses demokrasi.

Pendekatan Buddha terhadap kekuasaan adalah moralisasi dan penggunaan kekuasaan rakyat secara bertanggungjawab. Buddha berkhotbah tentang tanpa kekerasan dan kedamaian sebagai pesan universal. Beliau tidak menyetujui kekerasan atau pemusnahan kehidupan, dan menyatakan bahwa tidak ada hal yang disebut perang ‘adil’. Buddha mendiskusikan pentingnya dan prasyarat pemerintahan yang baik. Beliau menunjukkan bagaimana negara dapat menjadi korup, memburuk, dan tidak bahagia jika kepala pemerintahan korup dan tidak adil. Beliau berbicara menentang korupsi dan bagaimana pemerintah harus bertindak berdasarkan pada prinsip kemanusiaan. Buddha bersabda: Jika penguasa suatu negara adil dan baik, para menteri menjadi adil dan baik, Jika para menteri adil dan baik, para pejabat tinggi menjadi adil dan baik, Jika para pejabat tinggi adil dan baik, para bawahan menjadi adil dan baik; Jika para bawahan adil dan baik, rakyat menjadi adil dan baik’ (Aṇguttara Nikāya).

Buddha bersabda (Cakkavatti Sīhanadā Sutta (D.III.60) bahwa pelanggaran susila dan kejahatan, seperti pencurian, penipuan, kekerasan, kebencian, kekejaman, dapat muncul dari kemelaratan. Para raja dan pemerintah mungkin mencoba untuk menekan kejahatan melalui hukuman, tapi sia-sia memberantas kejahatan dengan kekerasan. Dalam Kūtadanta Sutta (D.I.136), Buddha menyarankan pengembangan ekonomi sebagai pengganti kekerasan untuk mengurangi kejahatan. Pemerintah harus menggunakan sumber daya negara untuk memperbaiki kondisi ekonomi negara tersebut. Hal ini dapat dimulai dengan pengembangan pertanian dan pedesaan, pemerintah memberikan makanan dan bibit kepada mereka. Menyediakan bantuan modal (finansial) pada pengusaha dan pedagang. Menyediakan gaji yang memadai bagi pegawai (pekerja) untuk mempertahankan hidup layak dengan martabat manusia. Apabila mereka melaksanakan tugas dan kewajiban masing-masing, maka pendapatan negara akan meningkat, negara akan aman dan damai, rakyat berdaulat senang dan bahagia.

Buddha memberikan 10 peraturan bagi Pemerintahan yang baik,yang dikenal sebagai Dasa Raja Dharma (Ja.V.378). Sepuluh peraturan ini bahkan dapat diterapkan saat ini oleh pemerintah mana pun yang ingin memerintah negara dengan damai. Menurut peraturan ini, pemerintah seharusnya: (1) Kedermawanan atau menghindari mementingkan diri sendiri, (2) Memelihara sifat moral yang luhur, (3) Siap untuk mengorbankan kesenangan diri sendiri untuk kesejahteraan warga negara, (4) Integritas atau tulus, jujur, dan dapat dipercaya,(5) Baik dan lemah lembut, (6) Menjalani hidup sederhana agar diteladani warga negara, (7) Bebas dari kebencian apa pun (tanpa amarah), (8) Menerapkan prinsip tanpa kekerasan, (9) Menjalankan kesabaran, dan (10) Menghormati pendapat rakyat untuk memajukan perdamaian dan keselarasan.

Berkenaan dengan tingkah laku pemerintah, Beliau lebih lanjut menasehati: (a) Pemerintah yang baik harus berlaku adil, tidak berat sebelah dan tidak mendiskriminasi antara satu kelompok warga negara tertentu terhadap yang lainnya. (b) Pemerintah yang baik tidak menyimpan segala bentuk kebencian terhadap warga negaranya. (c) Pemerintah yang baik tidak takut terhadap apa pun dalam pelaksanaan hukum, jika hal itu adil adanya. (d) Pemerintah yang baik harus memiliki pemahaman yang jelas tentang hukum untuk dilaksanakan. Hukum tidak boleh dilaksanakan hanya karena pemerintah memiliki otoritas untuk memberlakukannya. Hal ini harus dilakukan dengan cara yang masuk akal dan dengan akal sehat (Cakkavatti Sīhanadā Sutta).

Ada banyak cara untuk mendekati para pemimpin. Kita semua tukang kayu, masinis, jurnalis, penulis, produser film, pendidik, orang tua, pengacara, perawat, bisa menulis surat, menelepon, membawa spanduk-spanduk. Bisa mengekspresikan diri dalam cara yang bisa menghadirkan kewaspadaan serta mewujudkan pentransformasian kesadaran kolektif. Ini adalah penanganan di akarnya; yaitu mentransformasi cara berpikir, menolong semua agar memandang fenomena-fenomena dengan lebih mendalam serta jernih. Semua orang dapat melakukan hal ini dalam kehidupan sehari-hari. Keadilan sejati harus memiliki welas-asih didalamnya. Saat seseorang melakukan sesuatu yang destruktif, maka kerusakan tidak hanya terjadi pada korban, tetapi juga pada pelaku. Semua tahu bahwa setiap kali mengucapkan sesuatu yang tidak arif-bijaksana, tutur kata yang bisa merusak hubungan dengan orang lain serta membuatnya menderita; tahu bahwa kita juga telah merusak diri sendiri, serta menciptakan penderitaan bagi diri sendiri. Hal demikian berasal dari kurangnya kebijaksanaan, kurangnya kesadaran, dan kurangnya welas asih; dan menderita seperti yang diderita orang lain. Mungkin tidak saat ini, tetapi tidak lama kemudian akan menderita. Penyebab sesungguhnya dari tindakan destruktif adalah ketidaktahuan, kurangnya kebijaksanaan. Jika tahu cara memandang kriminal, maka akan memiliki welas-asih. Dengan welas-asih, bisa menawarkan jenis keadilan yang mengandung lebih banyak kesabaran, pengertian, dan toleransi. Tidak hanya bisa merekonsiliasi keadilan dengan welas-asih, tetapi juga bisa mendemonstrasikan bahwa keadilan sejati harus memiliki welas-asih dan pengertian di dalamnya.

Semoga momen Waisak 2558 BE ini menginspirasi menjadi pemimpin diri sendiri dengan hidup berkesadaran, mengembangkan kesadaran, mengembangkan kebaikan berhubungan dengan belajar untuk hidup dari satu hati yang tercerahkan. Semoga semua makhluk hidup berbahagia.

Mettacittena,

SANGHA AGUNG INDONESIA

Mahathera Nyanasuryanadi

Ketua Umum

___

Demikian pesan Waisak 2558 EB dari Sagin.[Bhagavant, 19/4/14, Sum]

 

Rekomendasikan:

Kategori: Indonesia,Seremonial
Kata kunci: , ,
Penulis: