Menebarkan Buddhisme di Penjara Inggris

Buddhisme di Inggris RayaBangkok Post,
London, Inggris Raya – Ini merupakan salah satu kata dari gurunya yang telah beliau ikuti selama lebih dari tiga dasawarsa. Pada tahun 1977 Khemadhammo, seorang warga Inggris yang telah ditahbiskan sebagai seorang bhikkhu, mengikuti Ajahn Chah dalam sebuah perjalanan yang pertama kali beliau pikir sebagai sebuah perjalanan dua bulan untuk mengunjungi kembali tanah airnya, Inggris. Sehari duduk di dalam sebuah kereta api, sang siswa berkonsultasi dengan pembimbingnya itu mengenai bagaimana menanggapi sebuah permintaan yang mengundangnya untuk melayani sebagai viharawan kunjungan di tiga penjara di sana. “Pị” (ไป), atau “pergilah”, demikianlah apa yang mendiang Ajahn Chah ucapkan.

“Hanya itu saja. Dan sejak itu saya telah pergi ke berbagai penjara,” kata Ajahn Khemadhammo, pendiri dan pimpinan spiritual Angulimala, sebuah organisasi kekapelan[1] yang telah memperkenalkan Buddhisme kepada lebih dari seratus pejara di selurug Kerajaan Inggris. Atas dedikasi pelayanannya kepada para narapidana, pada tahun 2003 Ratu Elizabeth II menganugerahkan beliau dengan OBE (Officer of the Most Excellent Order of the British Empire – Perwira Ordo Imperium Britania), dan tahun berikutnya Yang Mulia Raja Thailand menganugerahkan beliau gelar kehormatan Chao Khun Bhavanaviteht, beliau menjadi bhikkhu asing kedua yang menerima kehormatan seperti itu.

Pada kunjungannya baru-baru ini ke Thailand, bhikkhu yang sekarang berusia 66 tahun tersebut diundang untuk menjadi pembicara kunci di sebuah pembicaraan tahunan yang diselenggarakan oleh SEM (Spirit in Education Movement). SEM merupakan bagian dari program sebulan Organisasi Non-Pemerintah Thailand untuk meningkatkan pemahaman publik orang-orang yang telah dianggap “sesat”, dimana Ajahn Khemadhammo mendapatkan kesempatan untuk bertemu dan membagi pengalamannya, dalam pertemuan tertutup, dengan masyarakat Thailand yang bekerja dengan para penghuni penjara dan para narapidana di bawah umur.

Y. M. Ajahn Khemadhammo
Y. M. Ajahn Khemadhammo. Foto: Bangkok Post

Luang Por Khemadhammo memulai pembicaraannya dengan sebuah ringkasan singkat latar belakang beliau. Lahir di sebuah keluarga Kristen kelas menengah, di usia 17 tahun beliau mengambil bidang professional seni peran dan kemudian tertarik pada Buddhisme. Pata usia 27 tahun, beliau memutuskan untuk mengunjungi Asia, dan berakhir di Bangkok dimana ia di tahbiskan sebagai seorang samanera. Suatu hari, secara tak sengaja beliau bertemu dengan teman lamanya yang mengatakan kepada beliau,”Jika kamu ingin menjadi seorang bhikkhu sebenarnya, hanya ada satu tempat: Wat Nong Pah Pong”. Dan pergilah beliau ke propinsi Ubon Ratchathani dimana ia menghabiskan lima setengah tahun berikutnya di bawah bimbingan Ajahn Chah, salah satu guru meditasi terkemuka pada saat itu.

Kemudian beliau kembali ke Inggris. Dan dari tiga penjara yang telah beliau kunjungi, dari waktu ke waktu liputan berita mengenai beliau meluas dan Y.M. Khemadhammo telah menyadari dirinya mengunjungi penjara-penjara lainnya, mengikuti para narapidana saat mereka dipindahkan ke tempat yang sesuai dengan mereka. Selama pembicaraan di Bangkok tersebut beliau mengenang kembali saat beliau dicemooh oleh seseorang dari mereka karena telah melakukan sebuah “ceramah panjang” .

Pada mulanya Luang Por Khemadhammo mengaku merasa tidak yakin dalam peran barunya ini, karena sampai saat itu beliau tidak pernah ke penjara ataupun melihat seorang narapidana. Hal terdekat yang pernah beliau alami adalah saat masih menjadi seorang aktor, bermain sebagai sebuah karakter yang sedang ditangkap.

Kemudian hal itu menyadarkan beliau bahwa “sesungguhnya, ada beberapa persamaan” antara para narapidana yang berada dalam penangkapan dengan pengasingan dalam vihara hutan. Saat para narapidana terkunci dalam sel-sel, selama beberapa tahun beliau di Wat Nong Pah Pong, beliau dibatasi oleh sebuah gubuk kecil dengan sedikit atau tidak ada gangguan. Beliau mencatat bahwa tanpa beberapa kemampuan dalam berurusan dengan pikiran seseorang, kesendirian seperti itu menjadi sangat sulit dan menyakitkan.

“Ada perbedaan tetapi ada juga persamaannya. Saya juga merasa tidak nyaman dan itu adalah perasaan resah saya yang telah menuntun saya untuk melihat melampaui batas-batas sempit yang membatasi saya atas jawabannya. Ya, saya menyadari, saya telah memahami sesuatu mengenai hukuman penjara,” aku beliau.

“Dan lagi pula, terlepas dari perbandingan apapun antara kehidupan penjara dan kehidupan keviharaan, bukankah kita semua terpenjara oleh keserakahan dan kebencian, oleh kebodohan kita, dan prasangka dan kemelekatan kita? Inilah yang kemudian menjadi keyakinan saya, seperti sekarang, bahwa cara-cara Buddhis yang memperlengkapi kita dengan tujuan untuk membebaskan diri dari pemenjaraan tersebut dan menikmati sebuah kedamaian yang aman dan langgeng.”

Oleh karena itu beliau mengajar Buddhisme kepada para narapidana. Dengan lebih banyak lagi para praktisi awam yang membantunya, pada Hari Magha Puja tahun 1985, beliau mendirikan Angulimala, sekarang dikenal sebagai “perwakilan resmi Buddhisme dalam segala hal mengenai pelayanan penjara di Inggris dan Wales”, dan ada juga Angulimala di Skotlandia.

Luang Por Khemadhammo mengungkapkan bahwa ada sekitar 50 kapelan[2] Buddhis di Inggris yang berasal dari berbagai tradisi Buddhisme. “Di Angulimala kami berkerja sama dengan baik”, sebuah fenomena yang pantas tercatat dengan sendirinya, tambah bhikkhu yang juga melayani sebagai seorang Penasihat Buddhis bagi Dewan Kekapelan Multi-Agama Layanan Penjara.

Menurut situs web organisasi tersebut, setiap kapelan Buddhis perlu menghadiri sebuah lokakarya setidaknya satu dalam setahun, namun anggota baru harus menghadiri dua kali dalam tiga tahun pertama. Mereka dapat belajar mengenai ajaran Buddha dan latihannya, dengan memfokuskan pada bagaimana mereka menerapkan atau mengajarkannya di penjara-penjara, mendengarkan para pembicara yang diundang yang terlibat dalam sistem hukum di Inggris, dan membagikan pengalaman kegiatan mereka yang berhubungan dengan para narapidana dan para sipir mereka.

Luang Por Khemadhammo menekankan bahwa cara terbaik untuk mengubah orang adalah dengan menetapkan sebuah contoh.

“Saat kita menginginkan orang untuk berubah, kita harus menjadi lembaga yang mengubah diri kita sendiri. Saya sangat menuntut soal memastikan bahwa semua kapelan Buddhis melakukan yang terbaik untuk berpraktik dan melatih diri mereka sendiri, khususnya untuk hidup sesuai dengan lima kemoralan Buddhis (pancasila) – menghindari dari membunuh, mencuri, perilaku seksual yang tidak dibenarkan, berdusta, dan mengkonsumsi zat-zat adiktif.”

Hal ini mungkin mengejutkan mendengar beliau mengadopsi nilai kemoralan ini dimana banyak Buddhis yang telah “menerimanya sebagai pengabulan”[3]. Secara khusus beliau mengusahakan bagaimana kelima kemoralan tersebut menjadi bagian yang paling penting: jika anda melanggarnya, selanjutnya anda dapat melanggar segalanya. Sejumlah narapidana yang beliau temui melakukan kejahatan yang mengerikan dan kehidupan mereka berubah tragis hanya kerena mereka menggunakan alkohol dan narkoba.

“Saya memohon kepada anda semua untuk menjalankan kelima kemoralan ini secara serius. Mereka akan melindungi anda dan mereka akan melindungi yang lainnya.”

Mengapa orang melakukan kejahatan? Apakah karena kemarahan, keserakahan, atau kemiskinan? Beliau berpendapat bahwa pendekatan hukuman berdasarkan pada prinsip bahwa jika anda menyakiti seseorang dengan cukup keras maka kemudian mereka tidak akan melakukan perbuatan salah (lagi) – telah terbukti tidak berhasil. Sering kali orang yang keluar dari penjara merasa marah, tidak memiliki tempat tinggal, uang , ataupun keluarga dan dengan demikian mereka siap melakukan lebih banyak kejahatan lagi.

Menerima bahwa seseorang tidak dapat menghentikan pihak pemerintah dari menjalankan kebijakan mereka, melalui proyek Angulimala, Yang Mulia Khemadhammo dan timnya telah berusaha untuk memberikan jalan alternatif bagi para narapidana untuk melakukan sesuatu yang “berguna dan membangun”. Mereka belajar bagaimana bermeditasi, mengamati pikiran mereka dan berdamai dengan diri mereka sendiri. Sejak awal 90-an, berkat inisiatif Angulimala, sejumlah penjara di Inggris telah mengizinkan pendirian sebuah “Hutan Buddha”, sebuah area terbuka bagi para narapidana dari semua golongan agama untuk melakukan kontemplatif dalam suasana tenang dan damai.

“Saat diujarkan bahwa saya sedang terlibat dalam sebuah aksi sosial Buddhis, saya lebih baik menolak istilah tersebut. Saya pikir saya hanya melakukan kewajiban saya sebagai seorang bhikkhu. Saya merasa Buddhisme merupakan sebuah ajaran dan praktik yang luar biasa. Saya memiliki keberuntungan baik untuk datang ke Thailand dan berlatih dengan Luang Por Chah. Beliau pernah sekali berkata kepada saya ‘segala hal adalah latihanmu.’”

“Apa yang telah saya lakukan dengan orang-orang di penjara adalah sama seperti apa yang saya lakukan dimana pun. Saat kita mengajarkan Buddhisme, kita mencoba untuk memberikan orang lain sebuah jalan untuk mengakhiri penderitaan mereka, sebuah jalan untuk mengatasi kilesa (kekotoran batin) yang membawa penderitaan.”

“Tentu saja, orang-orang di penjara tidak dapat datang ke vihara, oleh karena itu kita harus membawa vihara kepada mereka,” kata beliau.

Seperti kisah yang menyentuh dari Angulimala, seorang pembunuh berantai yang beralih menjadi seorang bhikkhu, Y.M. Khemadhammo yakin bahwa orang dapat dan akan berubah jika diberikan kesempatan. Nampaknya Y.M. Khemadhammo tidak lelah untuk mengisahkan lagi dan lagi bagaimana Buddha, melalui belas kasih-Nya, dapat mengubah seorang pria yang tadinya jahat tanpa menggunakan kekerasan. Demikian pula, di tahun-tahun beliau mengunjungi para narapidana, beliau mengatakan bahwa beliau telah mengamati beberapa dari orang yang disebut sebagai “paling jahat dan berbahaya” menunjukkan kebaikan mereka kepada rekan narapidana mereka, apakah dengan berbagi susu atau gula (yang bagaikan “emas” di tempat-tempat seperti itu), atau mengumpulkan dana untuk membantu anggota keluarga mereka yang perlu menjalankan operasi.

“Saya pikir sangatlah penting bagi kita melepaskan kecenderungan untuk membuat penghakiman dan menyadari bahwa manusia itu adalah sangat kompleks. Tak satu pun dari kita yang hanya hitam atau putih; semua orang di sini memiliki beberapa hal yang baik dan beberapa hal yang tidak baik. Kita melakukan hal-hal yang tidak menyenangkan. Kita menjadi marah, cemburu, kesal, kita bertindak sesuai impuls.

“Saya berharap anda akan belajar untuk tidak melekat pada pandangan atau opini, khususnya pandangan dan pendapat mengenai orang lain. Berilah semua orang sebuah kesempatan,” beliau menyimpulkan.
———-
Untuk lebih mendetail mengenai Proyek Angulimala dan pelayanan lainnya dari Y.M. Khemadhammo, kunjungi situs web vihara beliau di http://foresthermitage.org.uk [Bangkok Post, Vasana Chinvarakorn, 14/4/11, tr: Sum]

Catatan Editor Bhagavant:

  • [1] kapelan (Inggris: chaplain): agamawan yang bertugas untuk kelompok khusus seperti pada universitas, tentara, penjara.
  • [2] kekapelan (Inggris: chaplaincy): organisasi yang menyediakan layanan keagamaan di dalam beberapa organisasi besar seperti sebuah penjara, tentara, atau universitas.
  • [3] Dalam tradisi puja bakti Buddhisme Theravada terdapat sesi dimana umat memohon kepada para bhikkhu agar “memberikan” Tiga Perlindungan dan Pancasila (Aradhana Tisarana Pancasila)

 

Rekomendasikan:

Kategori: Eropa,Inggris Raya,Pelayanan Buddhis,Sosial,Tokoh
Kata kunci: , , ,
Penulis: