Jepang Tindak Tegas Pembeli yang Menyalahgunakan Tempat Ibadah

Bhagavant.com,
Tokyo, Jepang – Pemerintah Jepang akan menindak tegas bagi para pembeli tempat ibadah yang menyalahgunakannya.

Jepang Tindak Tegas Pembeli yang Menyalahgunakan Tempat Ibadah
Cetiya Mikaboyama Fudoson di Fujioka, Gunma Prefecture, Japan. Foto: Reuters

Jepang mengalami lonjakan penjualan tempat ibadah termasuk vihara dan kuil, yang menimbulkan kekhawatiran di kalangan pejabat pemerintah dan komunitas agama tentang niat calon pembeli.

Vihara, yang beberapa di antaranya berusia berabad-abad, semakin menjadi incaran bukan karena signifikansi keagamaan atau budayanya, melainkan karena manfaat pajak yang didapat dari kepemilikan properti keagamaan.

Benmou Suzuki, seorang viharawan di cetiya Mikaboyama Fudoson yang berusia 420 tahun di sebuah desa pegunungan terpencil di Prefektur Gunma, 100 kilometer barat laut Tokyo, mengatakan bahwa ia baru-baru ini didekati oleh dua orang yang mengaku sebagai pialang real estat.

Mereka menanyakan apakah Suzuki tertarik menjual cetiyanya. Suzuki menyatakan kecurigaan bahwa minat mereka tidak ada hubungannya dengan kuil itu sendiri, tetapi lebih berkaitan dengan pengecualian pajak yang terkait dengan properti keagamaan.

“Ada orang-orang di luar sana yang menginginkan tempat ibadah, bahkan cetiya pegunungan seperti ini,” kata Suzuki seperti yang dilansir Reuters, Jumat (20/9/2024). “Mengingat nilai status badan hukum keagamaan, cetiya ini bisa meraup banyak uang.”

Populasi Jepang yang menurun dan menurunnya minat terhadap agama telah menyebabkan banyak tempat ibadah berjuang untuk bertahan hidup. Daerah pedesaan, seperti Sanbagawa, tempat cetiya Suzuki berada, telah mengalami penurunan jumlah penduduk yang terus-menerus.

Sanbagawa hanya dihuni oleh 500 orang, tetapi memiliki tiga vihara, sebuah kuil Shinto, dan sebuah gereja. Karena sumbangan dari para penganut agama menyusut, banyak tempat ibadah menghadapi tantangan untuk memelihara properti mereka.

Menurut Badan Urusan Kebudayaan Jepang, terdapat sekitar 180.000 tempat ibadah yang terdaftar sebagai badan hukum keagamaan di seluruh negeri tersebut. Namun, semakin banyak yang tidak aktif, artinya tempat-tempat tersebut tidak menyelenggarakan ibadah selama lebih dari setahun. Jumlah badan hukum yang tidak aktif meningkat sepertiganya menjadi lebih dari 4.400 pada akhir tahun 2023. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa properti keagamaan dijual untuk tujuan non-keagamaan.

Kepemilikan tempat ibadah memberikan keuntungan pajak yang signifikan. Bisnis yang beroperasi di bawah badan hukum keagamaan yang menyediakan layanan seperti pemakaman dibebaskan dari kewajiban membayar pajak. Bisnis lain, seperti restoran atau hotel yang beroperasi di properti keagamaan, juga dapat memperoleh keuntungan dari tarif pajak yang lebih rendah. Akibatnya, properti-properti ini menjadi menarik bagi pembeli yang ingin menghindari pajak atau bahkan terlibat dalam pencucian uang.

Meskipun minat terhadap penjualan ini terus meningkat, beberapa pemimpin agama, seperti Suzuki, tetap berkomitmen untuk melestarikan tempat ibadah mereka. Suzuki menekankan bahwa ia tidak berniat menjual dan malah berupaya mencari cara untuk mengumpulkan dana guna memelihara cetiyanya. “Cetiya adalah tempat bagi masyarakat setempat untuk berkumpul dan menjalin hubungan. Kita tidak bisa begitu saja menyingkirkan mereka,” katanya seperti yang dilansir VOA, Rabu (4/9/2024)

Konstitusi Jepang menjamin kebebasan beragama, sehingga sulit bagi pemerintah untuk memberlakukan peraturan yang lebih ketat terhadap penjualan properti keagamaan. Mengubah undang-undang yang mengatur pembelian situs keagamaan dapat dianggap melanggar hak-hak konstitusional ini, suatu kekhawatiran yang membuat para pejabat ragu untuk mengambil tindakan legislatif lebih lanjut.

Saat Jepang menghadapi tantangan ini, masa depan tempat ibadahnya masih belum pasti. Saat upaya dilakukan untuk mengekang pembelian yang tidak beritikad baik, permintaan terhadap properti keagamaan terus meningkat, dengan pembeli yang lebih memperhatikan keuntungan finansial daripada makna spiritualnya.[Bhagavant, 29/9/24, Sum]

Rekomendasikan:

Kategori: Jepang
Kata kunci:
Penulis: