Antara Festival Kue Bulan dengan Kisah Jataka Kelinci Bijak
Bhagavant.com,
Jakarta, Indonesia – Apa hubungannya antara Festival Kue Bulan dengan kisah Jataka Kelinci yang Bijak dalam kepustakaan Buddhis?
Setiap tanggal 15 bulan 8 penagggalan Tionghoa, sebagian masyarakat Asia Timur dan Asia Tenggara merayakan Festival Bulan (Festival Kue Bulan) atau Festival Pertengahan Musim Gugur.
Perayaan ini disebut Zhongqiu Jie (Hokkian: Tiong ciu) di Tiongkok Daratan, Chuseok di Korea, Tsukimi di Jepang, Tet Trung Thu di Vietnam, dan Bon Om Touk di Kamboja.
Inti dari perayaan ini adalah merayakan masa panen dan bersyukur terhadap panen yang ada. Dalam perayaan ini, membawa dan memasang lentera (lampion) sebagai simbol penerang jalan kemakmuran, serta memakan “Kue Bulan” (Yuèbǐng – 月餅) sebagai simbol panjang umur dan hamoni.
Di balik meriahnya Festival Bulan terdapat sebuah kisah tradisi Tiongkok mengenai Dewi Bulan Chang’e dan Kelinci Bulan Yu Tu. Meskipun kedua entitas ini sering digambarkan secara bersama-sama, namun memiliki kisah yang berbeda.
Kisah Dewi Bulan Chang’e sendiri adalah kisah tradisi asli Tiongkok yang terkait dengan kisah mitos istri dari Hou Yi yang memanah 10 Matahari bernama Chang’e. Sedangkan kisah Kelinci Bulan Yu Tu (Kelinci Giok) merupakan adaptasi dari kisah Buddhis yang tertuang dalam Kitab Jātaka No. 316 yang berjudul Sasa Jataka (Sasa Paṇḍita Jātaka – Kisah Kelahiran Kelinci yang Bijak).
Kisah Kelinci Giok
Dalam Kisah Kelinci Giok versi Tiongkok, dikisahkan mengenai kelinci, kera dan rubah yang diuji oleh Kaisar Giok (Yu Huang Da Di, Hokkien: Giok Hong), penguasa langit yang sedang mencari peracik pil obat keabadian. Dengan menyamar sebagai orang tua yang kelaparan, Kaisar Giok menguji ketiga hewan tersebut.
Kera dan rubah mendapatkan makanan dari hutan untuk diberikan kepada orang tua tersebut. Sedangkan sang kelinci yang tidak menemukan makanan apa pun akhirnya menerjunkan diri ke dalam api agar dirinya dapat dimakan oleh orang tua tersebut. Tergugah dengan pengorbanan sang kelinci, Kaisar Giok membawanya ke surga dan menjadikannya peracik pil obat keabadian. Karena kemahirannya dalam meracik, Kaisar Giok menganugerahkannya cahaya giok putih (白玉 -Báiyù) pada tubuhnya, yang menjadikan namanya sebagai Kelinci Giok. Dan dalam kisah selanjutnya ia pergi ke Bulan untuk menjadi pendamping bagi Dewi Bulan Chang’e.
Kisah Kelinci yang Bijak
Sedangkan dalam versi kisah Buddhis yang tertuang dalam Kitab Jātaka No. 316, dikisahkan tentang seekor kelinci, kera, serigala, dan berang-berang yang bersahabat memutuskan untuk mempraktikkan kebajikan di saat Hari Uposatha (hari memurnikan diri atau puasa) dengan memberi makan orang yang datang kepada mereka.
Saat ketiga sahabatnya dapat memberikan makanan kepada seorang petapa yang kelaparan yang tidak lain adalah Dewa Sakka (Skt: Sakra) pemimpin para dewa, yang sedang menyamar, sang kelinci yang tidak memiliki apa pun memutuskan mengorbankan dirinya untuk dimakan oleh sang petapa dengan masuk ke dalam api. Namun, api yang telah disiapkan oleh petapa itu tidak dapat membakar sang kelinci.
Setelah mengungkap siapa sebenarnya dirinya, Dewa Sakka memuji kebajikan sang kelinci. Dan untuk mengenang kebajikan sang kelinci, Dewa Sakka meremas sebuah gunung dan mengambil sarinya untuk membuat gambar seekor kelinci di bagian tengah Bulan.
Dalam Kitab Jātaka No. 316 dijelaskan bahwa sang Kelinci Bijak tidak lain adalah kelahiran sebelumnya dari Buddha Gotama yang pada saat itu statusnya sebagai bodhisatta (Skt: bodhisattva) atau calon Buddha.
Dari perbandingan tersebut jelas bahwa kisah Kelinci Giok muncul belakangan setelah adanya kisah Dewi Bulan Chang’e. Kelinci Giok yang berasal dari kisah Buddhis ini kemudian baru diadaptasi, dipersandingkan dan dijadikan sebagai teman atau pendamping dari Dewi Bulan setelah Agama Buddha menyebar ke Tiongkok.
Gambar kelinci di Bulan
Saat melihat Bulan, terutama dengan menggunakan teleskop yang memadai, permukaan Bulan akan lebih mudah dilihat termasuk untuk melihat mare (dataran basalt yang luas dan gelap di Bulan) yang menurut para pakar astronomi terbentuk dari aliran magma pada sekitar 4 miliar tahun yang lalu. Dan daerah cakupan mare tersebut, dari Bumi dapat terlihat menyerupai gambar seekor kelinci.
Apakah bentuk mare yang menyerupai kelinci tersebut adalah hasil dari sari gunung yang diremas Dewa Saka? Apakah sari gunung yang dimaksud itu adalah magma?
Terlepas dari penafsiran apakah sari yang diambil dari gunung oleh Dewa Sakka adalah magma gunung berapi di Bulan seperti yang dikatakan sains atau bukan, dan terlepas apakah gambar kelinci itu hanyalah sebuah pareidolia atau bukan, kisah Kelinci Giok dan Kelinci yang Bijak sama-sama memberikan pesan moral yang luhur yaitu belas kasih dan pengorbanan.
Tidak ada larangan bagi umat Buddha untuk merayakan tradisi Festival Kue Bulan dengan menyantap kue bulan seraya memandang Bulan Purnama. Namun, adalah hal yang baik untuk juga memahami makna dari kisah-kisah yang ada khususnya mengenai Kelinci Bulan. Seraya memandang Bulan ingatlah untuk selalu memunculkan belas kasih kepada semua makhluk.
Dan yang juga perlu diingatkan adalah bahwa selain Festival Bulan yang jatuh pada Bulan Purnama, pada setiap Bulan Purnama pun umat Buddha melakukan puasa. Dan dalam tradisi Buddhis khususnya tradisi Theravada, Festival Bulan bertepatan dengan Hari Bhikkhuni, hari memperingati terbentuknya sangha bhikkhuni untuk pertama kalinya.[Bhagavant, 17/9/24]
Kategori: Asia Timur,Tradisi dan Budaya
Kata kunci: Bhikkhuni, festival
Penulis: