Pesan Waisak 2561 EB/2017 Sangha Theravada Indonesia, Bahas Kebhinnekaan

Bhagavant.com,
Banten, Indonesia – Melihat kondisi bangsa Indonesia yang saat ini menghadapi masalah di dalam kebhinnekaan , Sangha Theravada Indonesia dalam Pesan Waisak 2561 EB/2017 memberikan perhatian khusus dan solusi untuk hal tersebut.

“Perbedaan selalu menjadi bagian dari dunia kehidupan sepanjang masa, baik perbedaan dalam kehidupan rumah tangga, sosial masyarakat, berbangsa dan bernegara, bahkan dalam kehidupan beragama dan kepercayaan. Perbedaan itu tidak dapat dihindari. Hal terpenting adalah menerima perbedaan karena ini merupakan kebutuhan bersama,” salah satu isi pesan Waisak 2561.

Sangha Theravada Indonesia yang tahun ini mengangkat tema Waisak 2561 EB/2017 yaitu ” Cinta Kasih Penjaga Kebhinnekaan”, menjelaskan bahwa sumber masalah dari retaknya  persaudaraan adalah kepentingan pribadi yang tidak bijak dan tidak terkendali.

Berikut isi Pesan Waisak 2561 EB/2017 dari Snagha Theravada Indonesia yang ditandatangani oleh Y.M. Bhikkhu Subhapañño, Mahāthera, sebagai Ketua Umum.

 

PESAN WAISAK 2561/2017

CINTA KASIH PENJAGA KEBHINNEKAAN

Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammāsambuddhassa

Na paro paraṁ nikubbetha,
Nātimaññetha katthaci naṁ kañci
Byārosanā paṭīghasaññā,
Nāññamaññassa dukkhamiccheyya
(Mettā Sutta)

Tak sepatutnya yang satu menipu yang lainnya,
tidak menghina siapapun di mana juga;
dan, tak selayaknya karena marah dan
benci mengharap yang lain celaka.

Hari Trisuci Waisak memperingati tiga peristiwa suci yang terjadi dalam kehidupan Guru Agung Buddha Gotama, yaitu: kelahiran Siddhartha Gotama calon Buddha, pencapaian Pencerahan Sempurna Buddha, serta kemangkatan Guru Agung Buddha. Tiga peristiwa suci tersebut terjadi pada hari dan bulan yang sama, yaitu hari purnama raya, bulan Waisak, dengan tahun yang berbeda-beda: kelahiran calon Buddha tahun 623 SM di Kapilavasthu, Nepal; Pencerahan Sempurna tahun 588 SM di Bodhgaya, India; dan Buddha Gotama mangkat tahun 543 SM pada usia 80 tahun, di Kusinara, India. Hari Trisuci Waisak 2561 jatuh pada tanggal 11 Mei 2017. Seluruh umat Buddha di dunia memperingati Trisuci Waisak dengan laku puja bakti, meditasi, pendalaman Dhamma ajaran Buddha, serta kegiatan-kegiatan sosial budaya Buddhis.

Saṅgha Theravāda Indonesia mengangkat tema Trisuci Waisak 2561/2017: Cinta Kasih Penjaga Kebhinnekaan. Tema itu sangat relevan untuk dihayati dalam rangka menghadapi berbagai persoalan dewasa ini, yang berkaitan dengan masalah-masalah kehidupan keluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Perbedaan Bukan Penghalang

Perbedaan selalu menjadi bagian dari dunia kehidupan sepanjang masa, baik perbedaan dalam kehidupan rumah tangga, sosial masyarakat, berbangsa dan bernegara, bahkan dalam kehidupan beragama dan kepercayaan. Perbedaan itu tidak dapat dihindari. Hal terpenting adalah menerima perbedaan karena ini merupakan kebutuhan bersama. Perbedaan yang ada bukan merupakan penghalang untuk hidup dalam persaudaraan dan persatuan. Persaudaraan retak disebabkan oleh perbedaan yang ada dipermasalahkan. Sumber masalah itu sendiri bermula dari kepentingan pribadi yang tidak bijak dan tidak terkendali. Dari sini, timbullah keserakahan ingin mendominasi, dengan keangkuhan merasa paling benar, dan paling penting diantara lainnya. Kemudian muncullah sikap eksklusif, yang pada akhirnya berkembang menjadi pikiran benci dan permusuhan. Hal itulah yang membuat orang-orang bertikai satu sama lain, saling menghina, saling mencaci maki, dan saling menyakiti. Akibat yang ditimbulkan sungguh memprihatinkan. Dengan berkembanganya pikiran marah, benci, dan permusuhan di sana sini, semua pihak pun sesungguhnya telah dirugikan. Fitnah dilontarkan, rekayasa, adu-domba satu dengan yang lainnya dilakukan, demi mengikuti hasrat diri sendiri, orang tertentu, ataupun kepentingan kelompok untuk berkuasa. Seringkali, tanpa mengindahkan norma- moral dan peraturan yang berlaku, hanya agar dirinya menang dalam sebuah kompetisi atau pertarungan untuk mendapatkan kedudukan dan jabatan, seseorang tidak segan-segan melakukan segala cara agar lawannya kalah. Padahal, selama seseorang hanya berpikir menang dan kalah pasti ada orang yang kecewa dan menderita.

Sejak lama perbedaan telah dijunjung tinggi oleh Mpu Tantular, pemuka agama Buddha yang hidup di abad ke-14 masa pemerintahan Raja Rajasanagara (Hayam Wuruk) di Kerajaan Majapahit, beliau adalah seorang pujangga Sastra Jawa ternama yang begitu menghargai perbedaan. Bahkan dalam buku Kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular terdapat satu syair yang memuat kalimat “Bhinneka Tunggal Ika”, yang artinya berbeda-beda, tetapi satu jua. Syair itu telah menjadi semboyan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Terbukti semboyan negara itu dapat memelihara keberagaman yang terdapat pada Bangsa Indonesia selama tujuh puluh dua tahun hingga saat ini, dan telah membuktikan kesaktiannya diakui dunia sebagai bangsa yang besar, makmur, dan beradab.

Guru Agung Buddha selalu melihat sisi keberagaman makhluk hidup sesuai dengan perbedaan karma dan akibat-karma setiap individu, serta menerima keberagaman siswa-siswi-Nya, baik yang hidup sebagai petapa /bhikkhu maupun sebagai perumah-tangga, tanpa membedakan dari mana asal-usul kelahiran, suku, dan kepercayaan sebelumnya. Guru Agung Buddha mendasarkan ajaran-Nya pada perbuatan; ia yang datang dari keluarga terhormat, namun karena perbuatannya buruk, maka ia tercela akibat keburukannya. Sebaliknya meskipun ia datang dari keluarga penyapu jalan (sudra) karena perbuatannya baik, maka ia layak dipuji oleh para bijaksanawan.

Cinta Kasih sebagai Penjaga Kerukunan

Cinta kasih adalah suatu kekuatan untuk memelihara dan menyatukan kita dalam keberagaman yang sesungguhnya. Pikiran cinta kasih yang dikembangkan memiliki kekuatan magnetis yang dapat mempengaruhi dan menarik simpati orang lain. Dengan cinta kasih terciptalah kebahagiaan hidup, kehidupan menjadi lebih cerah, lebih luhur, di samping pula memelihara kedamaian, bukan pertikaian satu dengan yang lainnya. Cinta kasih merupakan suatu pengharapan kesejahteraan dan kedamaian secara lahir maupun batin bagi semua bentuk kehidupan makhluk hidup, tanpa adanya sekat apapun. Mereka yang batinnya penuh cinta kasih tenggelam dalam persahabatan satu dengan lainnya, tanpa melihat dari mana asal-usul mereka sebelumnya, mereka hidup dalam persaudaraan sebagai teman, bukan lawan. Cinta kasih merupakan kekuatan mental yang aktif, setiap tindakan cinta kasih dilakukan dengan pikiran untuk membantu, mengasihi, menghibur dan membuat orang lain lebih tenteram.

Cinta kasih hendaknya dikembangkan sebagai cara untuk mengatasi kebencian dan membuang kebencian. Jika kebencian bersifat membatasi diri, cinta kasih justru sebaliknya, membebaskan dan menyatukan segala perbedaan, cinta kasih menghasilkan kedamaian. Cinta kasih melembutkan batin, menumbuhkan suasana persaudaraan, persatuan, dan tentunya sikap gotong royong. Gotong-royong merupakan budaya adiluhung yang menumbuhkan toleransi dan kebersamaan.

Cinta kasih berpasangan dengan welas asih, yaitu sifat luhur yang membuat orang mulia tergetar nuraninya, merasakan penderitaan makhluk lain. Welas asih laksana seorang ibu yang pikiran, ucapan, dan tindakannya hanya dicurahkan dan berkeinginan menyingkirkan kesulitan serta penderitaan dalam kehidupan anaknya. Demikianlah, kita hendaknya berpikir, berucap, dan bertindak untuk mengurangi derita orang lain dan semua makhluk hidup.

Sikap batin bijaksana juga perlu dikembangkan agar kita dapat mempertimbangkan sisi benar dan salahnya suatu pandangan ataupun informasi yang beredar, dan memahami sisi baik dan buruknya penyelesaian permasalahan yang dihadapi. Dengan demikian, kita tidak mengalami kebingungan yang menjerumuskan, tidak mudah marah, benci dan dengki, serta tidak sampai berpikir mengharap orang lain celaka. Orang bijaksana yang selalu sadar dan waspada dalam batinnya, senantiasa dapat mengendalikan pikiran, ucapan, dan tindakannya, serta menjadi teladan bagi yang lainnya.

Marilah umat Buddha sekalian, mengembangkan cinta kasih dan welas asih, disertai kebijaksanaan dalam diri masing-masing. Penerapan cinta kasih, welas asih, dan kebijaksanaan dapat menjaga kerukunan dalam keragaman, serta menerima perbedaan yang ada di dunia tanpa adanya perselisihan sehingga dapat menghindarkan diri dari segala tindakan kekerasan yang mengakibatkan kehancuran bagi semua. Terpeliharanya kerukunan di tengah-tengah keragaman dan terciptanya kepedulian antar sesama, dapat mewujudkan keutuhan. Hal ini sejalan dengan ide yang digagas oleh Bapak Presiden Joko Widodo yakni membentuk Dewan Kerukunan Nasional untuk mengedepankan musyawarah dalam mengatasi masalah, demi terwujudnya penyelesaian masalah kehidupan dalam berbangsa dan bernegara sehingga sesuai cita-cita luhur dan harapan kita semua.

Selamat Hari Trisuci Waisak 2561/2017.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa, Tiratana, selalu melindungi.
Semoga semua makhluk hidup berbahagia

Tangerang Selatan, 11 Mei 2017

SAṄGHA THERAVĀDA INDONESIA

Ttd.

Bhikkhu Subhapañño, Mahāthera

Ketua Umum / Saṅghanāyaka

Demikian Pesan Waisak 2561 EB/2017 dari Sangha Theravada Indonesia.[Bhagavant, 7/5/17, Sum]

Rekomendasikan:

Kategori: Asia Oseania,Asia Tenggara,Indonesia,Seremonial
Kata kunci: , , ,
Penulis: