Dimensi Kebudayaan Poson
Sunday Times,
Jayawardenapura, Sri Lanka – Minggu ini, Buddhis di Sri Lanka merayakan Poson Poya. Bukanlah suatu hal yang berlebihan jika dikatakan bahwa kebudayaan Lanka dan Poson Poya adalah hal yang sama. Sejarah mengatakan bahwa pada hari Poson Poya, Arahat Mahinda, putra dari Raja Asoka yang agung dari India, dan sekelompok dhammaduta datang ke Sri Lanka untuk menyebarkan ajaran Sang Buddha.
Dulu, Asoka adalah seorang raja yang brutal. Ia terkenal di antara masyarakatnya sebagai “Chandasoka”, yang berarti ”Asoka yang kejam”, tetapi setelah memeluk Buddhisme ia kemudian dikenal sebagai ”Dharmasoka”. Ia menerima agama baru yang telah menyebar dengan cepat di tanah India, dan ia berharap untuk menyebarkan Buddha Dhamma di pulau yang berbatasan dengan negaranya.
Arahat Mahinda, setelah melakukan tes dengan beberapa pertanyaan kepada Raja Devanampiyatissa dan merasa puas dengan kebijaksanaan sang raja, kemudian memperkenalkan filsafat Buddhis kepada masyarakat Sri Lanka. Poson pada tahun ini menandakan tahun ke-2311 dari peristiwa bersejarah tersebut.
Raja Sinhala menerima Buddhisme, dan rakyat dari negara itu pun mengikutinya. Penerimaan ini mengakibatkan suatu revolusi budaya yang diwarnai oleh ajaran-ajaran dari Guru Agung, Sang Buddha. Dan sejak itu, kebudayaan Sinhala menjadi sebuah kebudayaan Buddhis. Pertemuan Raja Devanampiyatissa dan Arahat Mahinda di Mihintale (sekarang Missaka Pawwa), merupakan momen bearti dalam sejarah Sri Lanka.
Dari titik itulah, raja-raja di Sri Lanka memimpin dalam urusan keagamaan, dan pemerintahan mereka berdasarkan pada rangkaian kemoralan dari Buddhisme. Invasi-invasi asing lebih dari berabad telah gagal menghapus kebudayaan atau identitas keagamaan dari para Buddhis Sinhala. Adalah Buddhisme yang telah memelihara identitas budaya negara ini. Siapa pun yang menerapkan cara hidup masyarakat Sri Lanka akan secara naluri menghormati nilai-nilai Buddhis, mengabaikan perbedaan suku ataupun agama.
Invasi-invasi dan serangan-serangan asing, pada taraf tertentu, telah memodifikasi identitas Buddhis Sinhala, khususnya dalam bidang kelautan, sejak abad ke-15, cara hidup bangsa Portugal, Belanda, dan Inggris telah mempengaruhi kebudayaan lokal.
Adat istiadat Sinhala memiliki akar dalam Buddhisme. Konstitusi Sri Lanka menetapkan bahwa kepala negara haruslah seorang Buddhis. Dengan Poson, 2311 tahun yang lalu, Buddhisme dan kebudayaan Sinhala menjadi satu.
Peristiwa Poson membuat masyarakat Sri Lanka percaya bahwa Sang Buddha memilih Lanka sebagai tempat yang akan memelihara ajaran-ajaranNya. Masyarakat Lanka percaya bahwa bangsa itu dilahirkan kembali pada hari yang mulia itu.
Penghargaan non-Buddhis terhadap cara berpikir Buddhis akan memperoleh pengertian yang mendalam kepada kesukuan, kebudayaan dan karakter keagamaan negara. Kesadaran ini mengarahkan pada sebuah pemahaman yang mendalam terhadap negara. Hanya dengan melalui pemahaman yang demikianlah maka seluruh komunitas di Sri Lanka dapat hidup dalam damai dan harmoni.
Poson adalah sebuah kesempatan yang baik untuk mengembalikan keharmonisan antar agama, antar suku yang telah diperjuangkan oleh para pencinta kedamaian hampir tiga dekade.
Kategori: Asia Oseania,Asia Selatan,Seremonial,Sri Lanka
Kata kunci: Ashoka Agung, Jayawardenapura, poson poya, Raja Asoka, uposatha
Penulis: