Indonesia » Lingkungan Hidup

Kiamat Dunia Yang Tertunda

Bhagavant.com,
Jakarta, Indonesia – Ramalan mengenai kiamat dunia yang jatuh pada Jumat, 21 Desember 2012, terbukti tidak benar. Tepat seminggu dari tanggal yang diramalkan, bumi dan kehidupan di dalamnya masih terus berlangsung.

 Ilustrasi: Berakhirnya Bumi dengan 7 Matahari
Ilustrasi: Berakhirnya Bumi dengan 7 Matahari

Hari yang diramalkan sebagai hari kiamat oleh sebagian orang tersebut merupakan akibat salah penafsiran terhadap perhitungan penanggalan kalender kuno Suku Maya, suku yang tinggal di semenanjung Yucatan, Amerika Tengah.

Penanggalan Suku Maya yang menerapkan kalender perhitungan panjang berdasarkan siklus matahari yang berakhir setiap 5.125 tahun, menetapkan tanggal 21 Desember 2012 sebagai akhir dari siklus ke-4 dari putaran pertama yang ditetapkan berawal pada 12 Juli 18490 Sebelum Era Umum (SM). Dan tanggal 22 Desember 2012 merupakan awal dari siklus ke-5.

Siklus ke-4 yang jatuh pada 21/12/12 tersebut diramalkan sebagai kiamat dunia berdasarkan pada salah satu kepercayaan bahwa pada tanggal tersebut posisi Bumi, Matahari, dan pusat Galaksi Bimasakti akan membentuk 1 garis lurus sehingga energi yang terpancar dari pusat Bimasakti ke Bumi terhalang oleh Matahari, sehingga pada saat itu gaya gravitasi Bumi menjadi tidak memiliki pengaruh apapun sehingga diperkirakan akan menimbulkan masalah yang besar.

Penyebaran isu dari penafsiran yang salah terhadap kalender Suku Maya tersebut membuat beberapa orang menjadi paranoid dan panik.

Belasan sekolah di Michigan, Amerika Serikat, sempat meliburkan diri akibat rumor kekerasan terkait dengan tanggal tesebut. Di Perancis beberapa orang menunggu hari kiamat dengan mencari dengan harap sebuah pesawat ruang angkasa yang konon dipercaya tersembunyi di sebuah gunung di pegunungan Pyrenees, menunggu untuk mengangkut mereka saat hari kiamat datang. Dan di China, pemerintah menindak tegas sebuah kelompok pinggiran Kristen yang menyebarkan rumor mengenai kiamat dunia sambil mengabarkan bahwa Yesus telah muncul kembali sebagai seorang wanita di China tengah.

Lalu, bagaimanakah pandangan agama Buddha mengenai kiamat dunia? Kapan hal itu akan terjadi?

Salah satu ajaran dasar agama Buddha adalah mengenai ketidakkekalan/ketidaktetapan (anicca). “Sabbe sankhara anicca`ti, yada pannaya passati, atha nibbindati dukkhe, esa maggo visuddhiya.” – Segala sesuatu yang terbentuk dari perpaduan unsur adalah tidak kekal adanya. Apabila dengan kebijaksanaan orang dapat melihat hal ini; maka ia akan merasa jemu dengan penderitaan. Inilah Jalan yang membawa pada kesucian. (Dhammapada 277).

Oleh karena bumi terbentuk dari perpaduan unsur maka eksistensi atau keberadaan bumi ini juga mengalami perubahan, tidak kekal dan suatu saat pasti akan mengalami pelapukan dan akhirnya hancur.

Namun, kehancuran bumi ini bukan berarti akhir dari segalanya, bukan akhir dari alam semesta dan bukan akhir dari kehidupan di alam semesta seperti dalam pengertian kiamat dalam kepercayaan lain. Kehancuran bumi ini hanyalah merupakan salah satu mata rantai dari siklus keberadaan bumi.

Sebelum bumi ini ada, pada waktu lampau yang sangat lama, telah ada “bumi-bumi” lain yang terbentuk, berlangsung dan kemudian hancur. Dan setelah bumi ini hancur, dalam waktu yang sangat lama akan terbentuk kembali sebuah planet yang akan dihuni kembali oleh kehidupan manusia. Dengan kata lain, sebelum dan sesudah keberadaan bumi ini, telah ada dan akan ada “bumi-bumi” lainnya dengan kondisi yang berbeda-beda.

Berdasarkan kepustakaan Buddhis yaitu Aggañña Sutta (Digha Nikaya 27) yang terdapat di dalam Kanon Tipitaka Pali, dibabarkan oleh Sang Buddha bagaimana bumi ini terbentuk yang di dahului oleh musnahnya bumi lain yang ada sebelum bumi ini.

Tidak di tetapkan secara pasti tanggal ataupun hari dari berlangsungnya kehancuran bumi. Kepustakaan Buddhis, hanya menyampaikan bahwa kehancuran bumi akan terjadi di waktu mendatang yang sangat lama dengan menggunakan ukuran waktu yang disebut dengan Kappa/Kalpa yang berarti waktu yang sangat panjang sekali*. Dan kehancuran tersebut berlangsung secara bertahap dalam waktu yang lama.

Masa menuju kehancuran bumi akan didahului oleh tanda-tanda, salah satunya adalah kemerosotan moral manusia yang parah yang menyebabkan menurunnya usia-rata-rata manusia menjadi 10 tahun.

Dalam Sattasuriya Sutta (Anguttara Nikaya 7.62), Sang Buddha membabarkan bagaimana bumi ini pada waktu yang sangat lama di masa depan akan hancur diawali dengan tanda datangnya musim kemarau yang tidak menurunkan hujan sama sekali. Berselang waktu yang sangat panjang dari peristiwa tersebut, akan muncul matahari ke-2, dan berselang waktu yang sangat panjang kemudian matahari ke-3 muncul, demikian seterusnya setiap peristiwa berselang waktu yang sangat panjang hingga munculnya matahari ke-7. Saat kemunculan matahari ke-7 inilah bumi akan musnah.

Jadi, menurut pandangan agama Buddha, berdasarkan tanda-tanda yang disebutkan, kehancuran bumi tidaklah datang dalam waktu dekat ini.

Namun, ketika istilah “kiamat” diartikan sebagai proses berakhir atau berhentinya sesuatu yang diikuti oleh proses selanjutnya, maka kita telah mengalaminya setiap waktu. Setiap saat kita menarik nafas, pada saat tertentu kita akan berhenti menarik nafas yang kemudian dilanjutkan dengan menghembuskan nafas. Begitu juga saat kita menghembuskan nafas. Siklus ini terus kita alami selama kehidupan kita berlangsung.

Daripada memikirkan kehancuran bumi yang tidak diketahui secara pasti kapan terjadi, akan lebih bermanfaat untuk kita agar tetap memelihara bumi ini dengan tidak merusak alam sehingga terhindar dari kondisi-kondisi yang merugikan kehidupan di dalamnya, termasuk kehidupan manusia.[Bhagavant, 28/12/12, Sum]

Catatan:
*Dalam Pabbata Sutta (Samyutta Nikaya 15.5), Sang Buddha memberikan penjelasan mengenai lamanya masa 1 Kappa dengan perumpamaan waktu yang dibutuhkan seseorang untuk menggosok sebuah gunung batu yang memiliki lebar, panjang dan tinggi 1 yojana (antara 6-15 km) dengan kain halus sebanyak satu kali setiap 100 tahun hingga gunung batu tersebut terkikis habis.

Dalam Sasapa Sutta (Samyutta Nikaya 15.6), Sang Buddha memberikan penjelasan lamanya masa 1 Kappa dengan perumpamaan waktu yang dibutuhkan seseorang untuk mengambil biji sesawi yang memadati hingga penuh sebuah kota yang memiliki lebar, panjang dan tinggi 1 yojana sebanyak 1 butir setiap 100 tahun hingga biji sesawi tersebut habis.

Rekomendasikan:

Kategori: Indonesia,Lingkungan Hidup
Kata kunci:
Penulis:
REKOMENDASIKAN BERITA INI: