Bukan Fisik dan Usia, Ini Kriteria Pemimpin Menurut Ajaran Buddha

Bhagavant.com,
Jakarta, Indonesia – Dalam ajaran Buddha, bukan fisik yang menjadi kriteria utama dalam menentukan dan memilih seorang pemimpin. Berikut kriterianya.

Bukan Fisik, Ini Kriteria Pemimpin Menurut Ajaran Buddha

Memilih pemimpin merupakan langkah kritis dalam membentuk arah dan visi suatu kelompok, organisasi, atau negara. Proses ini melibatkan evaluasi teliti terhadap kualitas kepemimpinan, keahlian, dan integritas calon pemimpin.

Pemimpin yang bijak memerlukan pemahaman mendalam terhadap tugas, tanggung jawab, dan tantangan yang dihadapi, sekaligus mengakui keterlibatan dan kebutuhan seluruh anggota (masyarakat dalam negara) dalam konteks tersebut.

Selain kecakapan intelektual, kepekaan terhadap nilai-nilai moral dan etika juga sangat penting, karena pemimpin yang baik tidak hanya efektif dalam mencapai tujuan tetapi juga menginspirasi dan memotivasi orang-orang di sekitarnya.

Tujuan memilih pemimpin yang beretika dan bermoral

Mengapa masyarakat khususnya umat Buddha perlu memilih pemimpin yang mengedepankan etika dan moral dan tidak meremehkannya?

Umat Buddha perlu memilih pemimpin yang mengedepankan etika dan moral karena etika dan moral merupakan hal yang penting dalam ajaran Agama Buddha. Etika dan moral dalam Agama Buddha mengajarkan manusia untuk berbuat baik, jujur, adil, dan bertanggung jawab, yang semuanya akan berakhir pada berkurangnya penderitaan dan munculnya kebahagiaan.

Pemimpin yang mengedepankan etika dan moral akan memimpin dengan cara yang baik dan benar, sehingga akan membawa kesejahteraan bagi yang dipimpinnya.

Sri Buddha, Teladan Sebagai Pemimpin Terunggul

Bagi umat Buddha, Sri Buddha adalah teladan utama dari seorang pemimpin yang terunggul khususnya dalam spiritual. Beliau memiliki visi dan misi yang jelas sebagai pemimpin spiritual. Dengan visinya yaitu terbebasnya semua makhluk dari penderitaan, Beliau menjalankan misi dengan menuntun semua makhluk untuk bebas dari penderitaan melalui Dhamma dan Vinaya (Aturan Disiplin). Ini adalah visi dan misi yang berdasarkan pada cinta kasih universal dan kebijaksanaan universal.

Sebagai pemimpin spiritual, semua tindakanNya sesuai dengan yang diucapkanNya. Beliau tidak mengucapkan “A” namun bertindak “Z”, yang dalam perumpamaan kekinian mengibaratkan pengendara mobil yang menyalakan lampu sein ke kanan tapi ia justru berbelok ke kiri.

Beliau juga tidak pernah murka saat cacian dan fitnahan ditujukan kepadaNya. Bahkan Beliau tidak menjadi sombong dan angkuh saat pujian ditujukan kepadaNya. Beliau tidak pernah merundung bahkan menindas mereka-mereka yang tidak sepaham denganNya dengan alasan telah banyak orang yang memuji kehebatanNya.

Meskipun umat Buddha menganggap Sri Buddha sebagai pemimpin, namun Beliau tidak pernah menganggap diriNya sendiri sebagai pemimpin; sebaliknya Beliau meminta untuk menjadikanNya sebagai anggota masyarakat sangha. Beliau tidak pernah mengklaim diriNya sebagai penyelamat; sebaliknya Beliau menampilkan diriNya hanya sebagai pembimbing atau guru.

Menjelang akhir kehidupanNya, alih-alih menunjuk seseorang seperti asisten utamaNya yaitu Bhikkhu Ananda, atau Y.A. Mahakassapa yang unggul dalam petapaan sebagai penerus kepemimpinanNya, Beliau justru menunjuk Dhamma dan Vinaya sebagai pemimpin dari komunitas yang telah Beliau bentuk.1

Beliau juga tidak menjadi baper (terbawa perasaan), melekat dan takut kehilangan atas pencapaian-pencapaian baik yang telah Beliau raih dan wujudkan sepanjang hidupNya sehingga harus mewariskannya kepada kerabat atau Siswa UtamaNya.

Dengan tanpa beban dan tanpa melekat kepada apa pun, Beliau menyelesaikan tugas-tugas muliaNya serta terbebas dari ketercelaan dalam akhir masa hidupNya.

Kriteria Pemimpin Menurut Ajaran Buddha

Lalu bagaimana menurut ajaran Buddha mengenai kriteria pemimpin yang sepatutnya dipertimbangkan oleh umat Buddha awam (perumah tangga) saat hendak memilih pemimpin?

Dalam memilih pemimpin organisasi hingga negara, ajaran Buddha tidak mengedepankan fisik atau tubuh sebagai kriteria utama. Ajaran Buddha tidak mengedepankan fisik seseorang itu muda atau tua, berbadan gemuk atau kurus, berperawakan tinggi atau pendek.

Ada banyak sumber teks-teks ajaran Buddha yang membahas mengenai kriteria kepemimpinan yang baik yang semuanya tidak mengedepankan fisik sebagai sesuatu yang diutamakan, tetapi etika dan moral sebagai hal yang diutamakan.

Tertuang dalam Kisah Jataka Angsa Agung ayat 3782 terdapat 10 Jenis Kebenaran Pemimpin (Pali: dasavidha rājadhamma) yang perlu ada di dalam kriteria seorang pemimpin, yaitu:

1. Dāna (berderma)
Seorang pemimpin perlu memiliki sifat kedermawanan dengan memberikan materi maupun non materi bagi mereka yang membutuhkan.

2. Sīla (kemoralan)
Seorang pemimpin perlu memiliki sikap yang baik dengan menjunjung tinggi aturan etika dan moralitas.

3. Pariccāga (berkorban)
Seorang pemimpin perlu rela mengorbankan kesenangan atau kepentingan pribadinya demi kepentingan orang banyak.

4. Ājjava (kejujuran)
Seorang pemimpin perlu memliki kejujuran, transparansi (keterbukaan), ketulusan sikap baik dalam pikiran dan perbuatan.

5. Maddava (ramah)
Seorang pemimpin perlu memiliki watak lemah lembut, bersikap ramah, simpatik dan menjaga sopan santun melalui pikiran, ucapan dan perbuatan.

6. Tapa (terkendali dan sederhana)
Seorang pemimpin perlu terkendali sikap dan inderanya, membiasakan dirinya hidup dalam kesederhanaan.

7. Akkodha (tanpa kemarahan)
Seorang pemimpin perlu memiliki sifat tanpa kemarahan dalam menghadapi berbagai permasalahan, menjauhi permusuhan, dan memaafkan.

8. Avihimsa (tanpa kekerasan)
Seorang pemimpin perlu menjauhi segala sikap kekerasan, penindasan dan penghancuran hidup.

9. Khanti (kesabaran)
Seorang pemimpin perlu memiliki kesabaran saat menghadapi permasalahan, hinaan dan celaan, sehingga dapat fokus dalam menjalankan tugasnya untuk mengabdi pada kepentingan umum.

10. Avirodhana (tidak bertentangan dengan kebenaran)
Seorang pemimpin perlu untuk tidak bertentangan dengan kebenaran, selaras dengan apa yang baik dan benar-benar bermanfaat bagi orang lain, menghindari prasangka dan meningkatkan perdamaian dan ketertiban umum.

Selain itu, dalam Kisah Jataka Angsa Kecil ayat 3523 yang diperjelas dalam Saṅgahavatthu Sutta4 menjelaskan empat cara pemimpin yang baik untuk merangkul (saṅgaha) dan memelihara hubungan baik dengan mereka yang dipimpinnya (bawahan, anggota, rakyat). Keempat cara tersebut adalah:

  1. Berderma (dāna)
  2. Ucapan yang lembut, tidak menyakiti orang lain (peyyavajja)
  3. Tindakan yang bermanfaat (athacariyā)
  4. Perlakuan yang sama (samānattatā)

Bagaimana sebaiknya Buddhis memilih pemimpin?

Bagi umat Buddha khususnya perumah tangga, dewasa ini mungkin sulit untuk melihat dan menemukan kriteria pemimpin yang ideal secara Dhamma yang telah diungkapkan di atas. Namun, bukan berarti tidak ada pemimpin yang memiliki kriteria yang mendekati kriteria ideal tersebut.

Untuk itu, membuka mata dan telinga sebaik-baiknya untuk melihat dan mendengar rekam jejak (apa yang telah dilakukan) dari seorang calon pemimpin menjadi suatu keharusan saat hendak memilih pemimpin.

Lakukan penyelidikan sendiri (bukan berdasarkan kata orang lain – ingat prinsip di dalam Kalama Sutta)5 dan jangan terbuai dengan gimik-gimik (gerak-gerik tipu daya) yang memoles citra seseorang yang muncul dalam waktu-waktu tertentu saja.

Cari tahu sendiri bagaimana calon pemimpin tersebut menempatkan posisinya yang sekarang, apakah diraih dengan kemampuannya sendiri dengan proses yang benar, sesuai dengan peraturan, moral dan etika, atau justru sebaliknya tanpa proses yang benar, melanggar etika dan moral seperti nepotisme.

Mencari tahu rekam jejak calon pemimpin merupakan sebuah tantangan, namun di era globalisasi kemajuan teknologi informasi saat ini, hal ini dapat dilakukan lebih mudah, meskipun perlu kewaspadaan karena tetap adanya ketidakbenaran informasi yang ditampilkan – untuk itu perlunya cek silang dengan sumber informasi lain.

Mencari tahu rekam jejak calon pemimpin meskipun merupakan suatu yang menantang – beberapa orang menganggapnya sukar dan buang-buang waktu – akan menjadi layak saat menemukan calon pemimpin yang mendekati kriteria yang ideal.

Saat memilih pakaian atau makanan atau dokter, seseorang tentu menimbang dan memilih yang terbaik, begitu juga sewajarnya saat memilih seorang pemimpin.

Dengan menemukan calon pemimpin yang mendekati kriteria yang ideal, berarti menemukan seseorang yang dapat memimpin ke arah kekehidupan yang lebih baik, secara langsung maupun tidak langsung.

Kesimpulan

Dalam penjelasan di atas jelas bahwa kriteria fisik tidak termasuk dalam kriteria pemimpin yang sepatutnya dipertimbangkan. Ajaran Buddha lebih mengedepankan sikap dan perilaku seseorang yang beretika dan bermoral untuk menjadi kriteria sebagai pemimpin yang baik.

Ajaran-ajaran Buddha mengenai kepemimpinan yang baik ini merupakan ajaran yang dapat dipraktikkan secara universal, tidak hanya berlaku untuk umat Buddha saja, tetapi untuk semua lapisan masyarakat baik tua maupun muda, dan berlaku di mana pun dan untuk zaman kapan pun .

Mencari tahu rekam jejak calon pemimpin merupakan keharusan sebagai upaya menentukan dan memilih pemimpin yang memiliki kriteria yang mendekati ideal.

Dan bagi umat Buddha yang berkeinginan menjadi seorang pemimpin, perilaku Sri Buddha merupakan teladan untuk menjadi pemimpin yang baik.[Bhagavant, 28/1/24, Sum]

Catatan

  1. Mahāparinibbāna Sutta; Dīgha Nikāya16; Tipitaka Pali ↩︎
  2. Mahāhaṃsa-Jātaka; Kitab Jataka Vol. 5 No. 534; Khuddaka-Nikaya; Tipitaka Pali ↩︎
  3. Cullahaaṃsa-Jātaka; Kitab jataka Vol. 5 No. 533; Khuddaka-Nikaya; Tipitaka Pali ↩︎
  4. Aṅguttara Nikāya 4.33; Tipitaka Pali ↩︎
  5. Kalama Sutta (Kesamutti Sutta); Aṅguttara Nikāya 3.65; Tipitaka Pali ↩︎
Rekomendasikan:

Kategori: Indonesia,Pendidikan,Sosial
Kata kunci:
Penulis: