Kamboja Terapkan Terapi Testimoni Berbasis Buddhis untuk Trauma Genosida

Bhagavant.com,
Phnom Penh, Kamboja – Ajaran Agama Buddha digunakan untuk terapi testimoni untuk trauma masa lalu dari kekejaman rezim Khmer Merah.

Kamboja Terapkan Terapi Testimoni Berbasis Buddhis untuk Trauma Genosida
Foto: Extraordinary Chambers in the Courts of Cambodia

Di sebuah persidangan, para bhikkhu berkumpul untuk melantunkan paritta. Cahaya lilin dan aroma dupa menciptakan suasana sakral, kontras dengan suasana sidang kejahatan terhadap kemanusiaan pada umumnya. Dan di akhir sidang, dengan memadukan spiritualitas dan keadilan, mereka mengenang para korban kekejaman rezin Khmer Merah dan menegaskan pentingnya keadilan.

Dewan Luar Biasa di Pengadilan Kamboja (ECCC) dibentuk sebagai tanggapan atas kekejaman yang dilakukan oleh rezim Khmer Merah. Selama kurun waktu 16 tahun, dengan sidang yang berakhir pada tahun 2022, ECCC telah mengawasi serangkaian proses “pertama” yang signifikan.

Salah satunya adalah dengan diterapkannya praktik penyembuhan berdasarkan ajaran Buddha, dengan menggabungkan meditasi dan spiritualitas dengan perhitungan hukum pidana internasional atas kejahatan kekejaman massal. Ini menjadi sebuah warisan dari pengadilan internasional pascaperang yang pertama kali dilakukan di Asia.

Rezim Khmer Merah bertanggung jawab atas atas kematian dua juta Kamboja demi mewujudkan masyarakat agraris dan homogen. Peristiwa yang terjadi pada akhir tahun 1970an melibatkan penganiayaan sistematis dan kerja paksa dari berbagai kelompok. Dan saat itu, negara yang mayoritas penduduknya beragama Buddha menyaksikan eksekusi para bhikkhu, pernikahan paksa, dan penghancuran warisan budaya secara luas, yang menghancurkan kesadaran kolektif masyarakat Kamboja.

Setelah jatuhnya Khmer Merah pada tahun 1979, banyak korban yang selamat beralih ke institusi Buddhis untuk mendapatkan bimbingan dalam menghadapi luka psikologis mendalam akibat kekerasan massal.

Selaras dengan ajaran Theravada, para bhikkhu memperkenalkan kembali Karma, mendorong para korban untuk mempertimbangkan tindakan mereka sebelumnya, siklus penderitaan, dan mengakhiri penderitaan. Para bhikkhu juga memimpin praktik meditasi Samadhi dan Vipassana yang meningkatkan perhatian, kedamaian batin, dan kesadaran diri.

Menyadari kompleksitas Agama Buddha dan populasi masyarakat Kamboja yang multi-agama, penerapan yang luas dari prinsip-prinsip umum ini di antara populasi korban, membuat lembaga-lembaga Buddhis sebagai pemangku kepentingan utama dalam pemulihan negara tersebut pasca-genosida.

Salah satu ciri khas ECCC adalah dikeluarkannya reparasi kolektif dan moral oleh Majelis Pengadilan, termasuk terapi testimonial. Terapi testimonial merupakan suatu bentuk psikoterapi individu yang dirancang untuk para penyintas dengan mengungkapkan kebenaran dan menceritakan pengalaman traumatis. Di ECCC, terapi testimonial seringkali terdiri dari ritual pemurnian secara simbolis dan suatu bentuk pelepasan spiritual, yang memungkinkan para korban memulihkan martabat mereka.

Di Provinsi Takeo, ECCC bermitra dengan kelompok Buddhis setempat untuk memfasilitasi terapi testimoni ini. Dipandu oleh seorang terapis, pengalaman traumatis peserta diakui, yang berpuncak pada kesaksian formal yang disampaikan selama ritual dan disampaikan kepada seorang bhikkhu. Pemberkatan yang diberikan oleh bhikkhu tersebut sangat memberdayakan peserta, “memberikan kembali” narasi tersebut kepada para korban. Para korban merasakan sesi ini bermanfaat dalam menangani gangguan stres pasca-trauma dan kemudian diintegrasikan dengan psikoterapi klinis.

Terapi testimoni atau kesaksian bahkan diterapkan pada para korban “Ladang Pembantaian” yang terkenal kejam, di mana mereka yang selamat mengingat kembali kenangan Khmer Merah mereka di tengah kuburan massal.

Upacara diawali dengan puja bakti si stupa. Para peeserta berlutut di hadapan para biksu, melakukan puja bakti, membakar dupa, menerima berkah, dan mendengarkan kesaksian. Setelah pengalaman emosional di Ladang Pembantaian, rasa ketenangan menyelimuti stupa. Para penyintas berpuja di depan rupaka Buddha, dan para penasihat merangkum kesaksian mereka sebelum membacanya. Para bhikkhu memurnikan dokumen, mengikat benang, dan memberkati orang-orang penyintas tersebut. Upacara diakhiri dengan pemberkatan para bhikkhu dan percikan air suci, untuk menanamkan rasa pemurnian.

Pada saat yang sama, pengadilan memfasilitasi Dhammayatra, suatu bentuk perjalanan yang dipimpin oleh bhikkhu, di mana para penyintas berjalan bersama ke tempat-tempat suci dan menemukan penghiburan dalam trauma bersama sambil melantunkan paritta dalam bahasa Pali dan Sansekerta bersama dengan bahasa Khmer. Konsep menyikapi masa lalu melalui terapi testimonial ditunjukkan oleh Ksem Ksan Association, sebuah kelompok masyarakat sipil Buddhis. Di S-21, sebuah bekas ruang penyiksaan, Y.M. Chum Mey, seorang bhikkhu yang juga salah satu dari sedikit orang yang selamat dari fasilitas tersebut, menyatakan:

“Kami mengadakan upacara Buddhis di S-21, dan ide mengadakan upacara di sana adalah untuk memperingati mereka yang meninggal di S-21. Kami ingin orang-orang yang meninggal mengetahui bahwa kami akan mencari keadilan bagi mereka.”

ECCC kemungkinan merupakan pengadilan internasional pertama yang mengarahkan praktik-praktik tersebut sebagai upaya hukum internasional, yang merupakan upaya untuk tidak hanya meminta pertanggungjawaban individu secara pidana namun juga memulihkan martabat para korban. Meskipun hanya sedikit kelompok sipil yang mendapatkan terapi testimonial, terapi ini diterima dengan baik, hal ini menunjukkan manfaat lebih lanjut dalam proses penyembuhan di masa depan bagi komunitas yang terkena dampak di masyarakat pasca-konflik.[Bhagavant, 23/9/23, Sum]

Rekomendasikan:

Kategori: Asia Tenggara,Kamboja,Penyembuhan dan Spiritualitas
Kata kunci:
Penulis: