Jejak Y.M. Gunavarman di Indonesia, Dharmaduta dari Kashmir
Bhagavant.com,
New Delhi, India – Y.M. Gunavarman, seorang dharmaduta dari Kashmir ternyata pernah menjadi seorang penasihat raja di Jawa dan menyebarkan Agama Buddha.
Sejarah kapan tepatnya Agama Buddha masuk di Tanah Jawa masih diliputi dengan misteri. Namun keberadaan masyarakat yang mempraktikkan Agama Buddha di Tanah Jawa diperkirakan sudah ada sejak akhir abad ke-4 atau awal abad ke-5.
Situs Batujaya di Karawang, Jawa Barat dan catatan perjalanan dari Y.M. Fa Hsien (337 – s. 422) dari Tiongkok, setidaknya membuktikan keberadaan masyarakat Jawa, khususnya Jawa Barat yang telah mempraktikkan Agama Buddha.
Perkembangan Agama Buddha di Tanah Jawa hingga akhirnya melahirkan sebuah mahakarya berupa monumen Buddhis terbesar di dunia yaitu Candi Borobudur tidak lepas dari peran para dharmaduta, di antaranya adalah Y.M. Gunavarman (367-431), seorang bhiksu dari Kashmir.
Dari bangsawan menjadi seorang bhiksu
Y.M. Gunavarman (baca: Gunawarman) lahir pada 367 M di Kashmir dalam keluarga kerajaan. Menurut manuskrip dari Tiongkok yaitu Memoar Para Bhiksu Terkemuka (Tionghoa: 高僧傳; pinyin: Gāosēng Zhuàn) karya Y.M. Hui Jiao dari Vihara Jiaxiang, Y.M. Gunavarman berasal dari keluarga penguasa yang pernah memerintah Kashmir. Kakeknya, Haribhadra, digulingkan dan dari kekuasaannya dan diasingkan karena ketidakcakapannya. Ayahnya, Sangghananda harus bersembunyi ke gunung dan lembah karena peristiwa tersebut sehingga tidak pernah menjadi penguasa.
Dalam catatan biografi tersebut disebut Y.M. Gunavarman menunjukkan kecenderungan ke arah spiritualitas semenjak masih anak-anak, tetapi keluarganya tidak menganggap ini serius. Para bhiksu di Kashmirlah yang memperhatikan kecerdasan Y.M. Gunavarman dan terkesan dengan sifatnya yang baik hati dan sederhana. Beliau meninggalkan rumahnya pada usia 20 tahun dan menjadi seorang bhiksu.
Dalam makalah penelitian berjudul “Gunavarman (367-431): A Comparative Analysis of the Biographies found in the Chinese Tripitaka,” sarjana Buddhis dan Indologi Jerman, Valentina Stache-Rosen mengatakan bahwa Y.M. Gunavarman memahami sembilan bagian Nikaya dan menguasai Agama. Beliau juga melafalkan lebih dari seratus kali, sepuluh ribu kata dari Sutra-sutra. Dia memahami bab-bab tentang disiplin (Vinaya) dan sangat terampil dalam memasuki meditasi.
Sepuluh tahun setelah Y.M. Gunavarman menjadi bhiksu, saat raja Kashmir, meninggal dunia tanpa meninggalkan pewarisnya beliau diminta oleh beberapa menteri untuk melepaskan kehidupan sucinya dan menerima tahta Kashmir, tetapi dia menolak. Dan beliau pun meninggalkan para guru dan komunitasnya untuk mengasingkan diri.
Sedikit yang diketahui tentang kehidupan Y.M. Gunavarman ketika beliau akhirnya melakukan perjalanan ke selatan. Apa yang diketahui adalah bahwa beliau menjadi terkenal ketika dia tiba di Sri Lanka beberapa tahun kemudian. Para bhikkhu di Vihara Abhayagiri dekat Anuradhapura berbicara tentang orang Kashmir yang tinggal di sana dan menjadi spesialis dalam Vinaya.
Menjadi Penasehat Raja Jawa
Y.M. Gunavarman berlayar dari Sri Lanka ke Sumatra dan kemudian menuju ke Tanah Jawa, di mana ia menjadi seorang penasihat dari raja Jawa yang disebut dalam catatan Tiongkok sebagai Raja P’o to chia (Po tuo jia) atau Raja Vadhaka (Badhaka). Masih belum diketahui secara pasti kerajaan mana yang diperintah oleh Raja Vadhaka, namun diperkirakan ia adalah salah satu dari penguasa Kerajaan Tarumanagara (kemungkinan ayah dari Purnawarman atau bahkan Purnawarman itu sendiri).
Sehari sebelum kedatangan beliau, ibu dari raja Jawa tersebut melihat dalam mimpinya seorang suci yang datang dengan menggunakan perahu terbang. Keesokan harinya, Y.M. Gunavarman benar-benar tiba di kerajaan itu.
Ibu suri memuliakannya dengan mengadakan upacara suci dan menerima lima sila. Ibu suri mengatakan kepada raja: “Kita adalah ibu dan anak karena jasa dari kehidupan sebelumnya. Saya telah menerima sila, tetapi kamu tidak (belum) percaya. Saya khawatir bahwa di kehidupan selanjutnya kita akan terputus dari pahala saat ini.” Terpengaruh oleh masihat ibunya, raja akhirnya dengan hormat menerima sila. Lambat laun raja terpengaruh dan saddhanya meningkat seiring berjalannya waktu.
Y.M. Gunavarman tidak hanya memberikan kesadaran dan pemahaman ajaran Buddha kepada penguasa tetapi juga mengalih keyakinan warga di sekitar.
Saat itu beberapa kerajaan kecil berebut kekuasaan di Nusantara. Sebagai seorang yang baru mendapat pemahaman Agama Buddha, raja yang telah bertekad untuk mempraktikkan tanpa kekerasan menghadapi ujian ketika sebuah kerajaan tetangga akan menyerbu kerajaannya.
“Jika saya melawan mereka, banyak orang pasti akan terluka dan terbunuh. Jika saya tidak melawan mereka, akan ada bahaya besar,” kata Raja Vadhaka kepada Gunavarman, menurut buku Gāosēng Zhuàn. “Sekarang saya berkeyakinan pada Anda, guruku. Saya tidak tahu harus memutuskan apa.” Y.M. Gunavarman mendorong raja untuk menyelamatkan kerajaannya dengan mengatakan: “Jika bandit kejam menyerang Anda, Anda harus membela diri. Tetapi Anda harus mengembangkan welas asih dalam pikiran Anda dan tidak mengembangkan pikiran kebencian.”
Setelah tentara musuh kalah dan melarikan diri, kaki raja terluka oleh panah yang salah sasaran, Y.M. Gunavarman menyembuhkannya dengan air suci dan setelah dua malam raja kembali membaik.
Keyakinan raja terhadap Agama Buddha menjadi begitu kuat sehingga suatu saat dia ingin melepaskan tahtanya dan menjadi seorang bhiksu, tetapi para menterinya memohon padanya untuk tidak turun tahta.
Raja Vadhaka akhirnya menyetujui untuk tetap menjadi raja dengan tiga syarat. “Keinginan pertama adalah bahwa setiap orang di dalam kerajaan harus menghormati gurunya (Y.M. Gunavarman),” tulis Stache-Rosen dalam makalahnya.
“Keinginan kedua adalah bahwa di seluruh negeri, rakyat harus menghindari pembunuhan. Harapan ketiga adalah bahwa harta yang disimpan harus dibagikan secara bebas kepada orang miskin dan sakit.” Para menteri merasa senang dan menyetujui tuntutan ini.
Kemudian raja membangun vihara untuk Y.M. Gunavarman. Raja sendiri ikut membawa bahan untuk mendirikan vihara tersebut dan melukai jari kakinya. Y.M. Gunavarrnan kembaliu menyembuhkannya dengan air suci, dan beberapa saat ia sembuh kembali.
Ketika popularitas Y.M. Gunavarman mulai menyebar ke seluruh Asia Tenggara dan Tiongkok, beliau menerima banyak pengunjung dari berbagai belahan benua.
Menjadi Dharmaduta ke Tiongkok
Utusan dari beberapa negara dikirim ke Jawa untuk mencoba dan membujuk Y.M. Gunavarman untuk pindah ke negara mereka dan memainkan peran yang mirip dengan apa yang dia lakukan di Jawa.
Dalam bukunya yang berjudul Saints and Sages of Kashmir, sarjana dan penulis asal Kashmir, Triloki Nath Dhar menulis bahwa bhiksu Tiongkok Houei-Kouan dan Houie-Tsong mendekati Kaisar Wen dari Dinasti Liu-Song dan menyarankan agar Y.M. Gunavarman diundang ke Kerajaan Song (Song Selatan) untuk menyebarkan ajaran Buddha. Pada titik ini dalam sejarah Tiongkok dikenal sebagai masa Dinasti Utara dan Selatan, masa ketika seni dan budaya berkembang dan Agama Buddha tradisi Mahayana mendapatkan popularitasnya.
“Menyetujui proposal mereka, Kaisar memerintahkan pejabat daerah Kiaotheu (Jiaozhou) untuk mengambil tindakan yang diperlukan,” tulis Dhar. “Akibatnya, beberapa bhiksu Tiongkok diutus ke Y.M. Gunavarman untuk dibawa ke Tiongkok.”
Saat utusan Tiongkok tersebut datang, Y.M. Gunavarma telah meninggalkan Jawa dan berlayar ke kerajaan lain. Namun, tanpa disangka angin yang membawa kapalnya justru mengarah ke Kanton (Guangdong), Tiongkok. “Mendengar berita kedatangannya, Kaisar Wen kembali mengeluarkan dekrit yang memerintahkan para pejabat daerah dan gubernur untuk mengirim beliau ke ibu kota,” tulis Dhar.
Di Tiongkok Y.M. Gunavarman diberi nama Ch’iu-na-pa-mo, yang berarti “zirah kebajikan”. Memoar Para Bhiksu Terkemuka karya Y.M. Hui Jiao menunjukkan bahwa Y.M. Gunavarman tiba di Tiongkok pada tahun 424 M. Beliau tinggal di negara itu selama tujuh tahun, di mana beliau menerjemahkan beberapa teks Buddhis ke bahasa Tionghoa.
Ada beberapa legenda yang terkait dengan bhiksu Kashmir di Tiongkok. Beberapa catatan menyebutkan beliau basah kuyup saat hujan atau menjadi kotor saat melintasi jalan berlumpur. Ia mendirikan sebuah vihara di Gunung Houche di Fujian, yang menurutnya mirip dengan Gādhrakūta atau Puncak Hering, tempat peristirahatan favorit Sri Buddha di Rajgir, Bihar. Gunung di Tiongkok tersebut adalah rumah bagi beberapa harimau pada saat vihara dibangun. Salah satu legenda mengatakan bahwa, suatu hari, Y.M. Gunavarman bertemu dengan seekor harimau. Setelah menyentuh kepalanya dengan tongkatnya, beliau membelai harimau itu dan melanjutkan perjalannnya.
Y.M. Gunavarman belajar tentang kepercayaan agama orang-orang di tempat tinggalnya dan menggunakan istilah Tao dan Konfusianisme untuk menjelaskan konsep Buddhis. Ajarannya mendapat resonansi di kalangan bangsawan Tiongkok, termasuk Kaisar Wen, yang memintanya untuk tinggal di Vihara Chi’ Huan dekat ibu kota Nanking.
“Di antara para pangeran dan cendekiawan, tidak ada seorang pun yang tidak menghormatinya,” tulis Stache-Rosen. “Pada hari beliau berkhotbah ada kepadatan kereta kuda di jalan raya. Penonton datang dan pergi, bahu saling bergesekan dan mengikuti satu sama lain. Gunavarman memiliki bakat alami yang luar biasa dan kefasihan yang menakjubkan.”
Catatan menunjukkan bahwa Y.M. Gunavarman menerjemahkan setidaknya 10 teks Buddhis utama dalam 18 volume ketika beliau tinggal di Tiongkok. Teks-teks ini berkisar dari ajaran dasar hingga sutra penting. Beliau juga membantu menerjemahkan teks-teks yang tidak lengkap yang sampai ke Tiongkok melalui Jalur Sutra. Cendekiawan Kashmir lainnya, Y.M. Dharmamitra, membantu Y.M. Gunavarman menerjemahkan beberapa teks.
Pada abad ke-5, relatif tidak ada hambatan bagi pergerakan orang dan ide. Y.M. Gunavarman didekati oleh Vihara Bhiksuni Ying Fu di Tiongkok untuk mengonfirmasi penahbisan ganda yang lebih tinggi oleh delapan bhiksuni dari Sri Lanka. Y.M. Gunavarman bersikeras bahwa setidaknya harus ada 10 bhiksuni sebelum mereka bisa melakukan penahbisan ganda. Beliau meminta para bhiksuni Sri Lanka tersebut untuk belajar bahasa lokal agar mereka bisa lebih terintegrasi dengan masyarakat. Beberapa tahun kemudian, tiga bhiksuni dari Sri Lanka datang ke Tiongkok selatan dan kelompok itu telah ditahbiskan oleh bhiksu India lainnya bernama Sanghavarman. Kemudian penahbisan ganda bhiksuni dapat diselenggarakan. Vihara Ying Fu menjadi yang pertama di Tiongkok yang melakukan penahbisan ganda untuk bhiksuni asing. Penahbisan terjadi pada tahun 433 M, dua tahun setelah Y.M. Gunavarman wafat.
Pada hari ke-28 bulan kesembilan tahun itu (431 M), ketika makan siang belum selesai, Y.M. Gunavarman bangun lebih dulu dan kembali ke kutinya. Ketika muridnya menyusul kemudian, ia menemukan bahwa Y.M. Gunavarman telah wafat secara tiba-tiba. Sebelum meninggal, beliau telah menyiapkan 36 syair wasiat, yang beliau minta untuk dibawa ke India oleh seorang murid untuk ditunjukkan kepada para bhiksu di sana.
Memoar Para Bhiksu Terkemuka mencatat bahwa penampilan dan warna kulit Y.M. Gunavarman tidak berubah setelah jenazahnya dibaringkan di tempat tidur anyaman, dan kondisinya menyerupai seseorang yang sedang dalam keadaan meditasi. Catatan itu juga menulis bahwa para bhiksu dan umat awam yang datang untuk memberikan penghormatan terakhir mencium bau harum seperti parfum yang keluar dari tubuhnya. Beliau dikremasi menurut adat India dan sebuah pagoda putih didirikan di tempat kremasinya.
Warisan Y.M. Gunavarman sebagian besar sudah dilupakan sekarang, tetapi sebagian besar karena perjalanannya ke Tiongkok, Agama Buddha disukai banyak orang di banyak bagian negara. Beliau tetap menjadi contoh hubungan budaya berusia ribuan tahun antara India, Asia Tenggara dan Tiongkok.[Bhagavant, 6/3/22, Sum]
Sumber: scroll magazine edisi 12/2/2022
Kategori: Tokoh
Kata kunci: sejarah Buddhis
Penulis: