Kisah Dee Lestari Tertarik Meditasi Hingga Menjadi Buddhis

Bhagavant.com,
Jakarta, Indonesia – Dewi Lestari Simangunsong, penulis novel Supernova dan Rapijali, baru-baru ini mengungkapkan perjalanan spiritualnya memeluk Agama Buddha melalui ketertarikannya terhadap meditasi.

Foto: YouTube

Penulis yang dikenal dengan nama pena “Dee” tersebut, dalam konten YouTube Daniel Mananta Network, menceritakan bagaimana ia sempat tidak beragama sebelum akhirnya memutuskan untuk memeluk Agama Buddha melalui ketertarikannya terhadap meditasi.

Dalam babak pertama perjalanan spiritualnya, Dee yang sejak kecil memeluk Agama Kristen sempat merenungkan dan mempertanyakan keberadaan tuhan dan iblis serta mempertanyakan perilaku sekelompok orang yang saling membunuh atas nama tuhan, dan akhirnya membawa dirinya ke berbagai macam penelusuran spiritual.

Kemudian setelah mengalami percakapan batin, ia memutuskan untuk tidak beragama. Setelah itu Dee mulai membaca banyak buku dari beragam agama dari Agama Buddha, Hindu, Kejawen, Islam, Kong Hu Cu, serta berbicara kepada para tokoh agama. Pada masa-masa penelusuran spiritualitas inilah novel ‘Supernova’ muncul sebagai cerminan dari pertanyaan-pertanyaan dan jawaban Dee terhadap kehidupan yang ia hadapi saat itu.

Meskipun merasa lebih bebas setelah ia memutuskan untuk tidak beragama, namun Dee merasakan ada yang hilang, yaitu kebutuhan akan ritual sebagai ungkapan penghormatan kepada entitas yang lebih tinggi.

“Yang gua rasakan hilang adalah kebutuhan untuk punya ritual, karena tiba-tiba gua jadi mesti ngapain ya? Berdoa yang seperti biasa doesn’t work for me anymore gitu loh, terus ke gereja doesn’t work for me anymore, gua mesti ngapain?” ungkap Dee.

Untuk mengisi kekosongan akan ritual dan hanya untuk sesuatu yang dapat dikerjakan, Dee mengikuti kelas yoga. Namun kurang dari setahun ia memutuskan untuk tidak mengikuti kelas yoga karena alasan pindah rumah.

Menjadi seorang Buddhis

Setelah ia menikah dan memiliki Keenan Avalokita Kirana, putra pertamanya, Dee merasa untuk perlu beragama lagi.

“Jadi, gue punya Keenan saat itu dan gua mulai berpikir, ini Keenan pasti akan ditanya suatu hari, kalau dia masuk sekolah, ditanya agamanya apa. Dan di situ gua mulai yang, ‘Hm… wait…” Jadi, ketika gua menikah dengan cara Kristen, gua sama sekali gak ada masalah sama itu. Maksudnya, dengan posisi gua saat itu, tuh, gua malah merasa bisa get along sama siapa pun, sama agama apa pun. Gua berdoa, ya, gua berdoa,” kenang Dee.

“Saat itu ga berpikir, kan, di Indonesia ada saat itu lima agama yang diperbolehkan gitu dan waktu itu juga gua sudah baca buku-buku tentang meditasi. Somehow, gua merasa sangat tertarik dengan seni meditasi itu sendiri dan, dari lima agama yang ada, gua merasa yang paling sering gua temui berbicara tentang meditasi ataupun mendalami meditasi adalah Buddhism,” ujarnya.

“Sehingga akhirnya waktu itu gua berpikir, apa gua coba perlajari aja ya Buddha nih kaya apa nih, Agama Buddha. Dan gua mulai beli, gua banyak buku-buku tentang meditasi sebelumnya gitu, tapi belum pernah punya buku yang technical tentang Agama Buddha dari institusinya. Lalu gua beli sebuah buku, terus gua baca, terus kayanya gua merasa hm… kok gua masih bisa masuk nih gitu. Dan akhirnya gua memutuskan untuk pergi ke vihara (baca: wihara).”

Akhirnya Dee pergi ke vihara pada hari Minggu dan mengenang hal itu sebagai kejadian yang aneh dan tidak lazim.

“Terus gua akhirnya ketemu ada satu orang kaya mas-mas gitu, gua tanya, ‘Mas, saya mau jadi Buddhis, gimana caranya, ya? Saya mesti ketemu siapa?’ Gua bilang begitu,” kenang Dee.

“Terus, dia menatap gua dengan tatapan yang aneh gitu. ‘Eh, sebentar, ya.’ Terus, dia kayaknya pergi ke sebuah compound yang di situ ada bhante yang tinggal di sana. Ini sebuah vihara di Lembang, waktu itu kan gua masih tinggal di Bandung,” ingat Dee.

Setelah menunggu selama sekitar sepuluh menit akhirnya ada bhikkhu yang menemui dirinya. Kepada bhikkhu tersebut, Dee memperkenalkan diri dan menyampaikan maksud tujuannya untuk menjadi seorang Buddhis.

“Terus, dia melihat gua, ‘Mau jadi Buddhis? Saya rasa, kamu pikir-pikir dulu aja, deh. Enggak usah, kok, jadi Buddhis. Ya, coba direnung-renungkan saja dulu. Kalau memang merasa mantap, ya, kapan-kapan datang ke sini, ngobrol lagi.’ Terus, di situ gua yang, ‘Wow, so cool,’ gitu, kan, karena gua bayangin, kalau itu kejadian misalnya di tempat lain, barangkali, ‘Wah, mari-mari. Lu bisa bawa teman-teman lu enggak datang kemari? Gua kasih target.’ Ini, tuh, yang gua datang, minta, terus dia bilang ‘Pikir-pikir dulu aja.’ ‘Wah, ini kagak butuh umat, nih. Suka gua,'” jelas Dee.

“Akhirnya kita ngobrol-ngobrol, tapi intinya, apa yang gua dapat dari bhante saat itu adalah untuk menjadi Buddhis lu tidak perlu jadi Buddhis. Jadi, sebetulnya itu semua like way of life gitu ketimbang sebuah institusi di mana lu harus daftar secara formal gitu kan,” kata Dee.

“Tapi kayanya karena gara-gara itu gua jadi tertantang gitu loh, gua jadi semakin terpancing untuk tahu lebih jauh dan akhirnya… Jadi gua Buddhis itu bisa dibilang dari kelurahan dulu ya,” kata Dee sambil tertawa, “Ketika KTP gua habis gitu akhirnya gua ganti aja kolom Buddhis gitu.”

Setelah itu Dee mulai mengenal banyak para bhikkhu dan saat diwawancara ia mulai memberikan petunjuk bahwa dirinya sedang mempelajari Agama Buddha. Dia juga mulai terbuka kepada keluarganya bahwa dirinya mau memeluk Agama Buddha.

“Dan akhirnya, dari perkenalan dengan para bhante itu gua ketemu satu bhante namanya Bhante Pannya (Y.M. Paññavaro Mahāthera) gua sangat eh apa ya… respect dan beresonansi kuat sama beliau dan akhirnya gua waktu itu minta ke Bhante Pannya untuk di baptis,” kenang Dee.

“Dan sama Bhante Pannya pun mengatakan, di Mendut di viharanya, dia bilang, ‘Sebenarnya ini gak perlu loh gitu, kamu cukup menjadi Buddhis itu dengan menjalankan sila-sila.’ Yang sebenarnya isinya juga sangat general gitu ya, intinya lo jadi orang baik, hidup berkesadaran, sudah cukup.”

“‘Tapi kalau memang ini sesuatu yang kamu mau ya anggap saja ini adalah sebuah kenang-kenangan baik‘, gitu,” kata Dee mengingat perkataan Y.M. Paññavaro Mahāthera.

Akhirnya Dee melaksanakan upacara Visudhi Upasaka/Upasika dan mendapatkan nama Buddhis yaitu Siri Chandani.

“Ya udah sejak itu gua jalani, dan akhirnya ya kaya anak gua sekarang ketika dia masuk sekolah ya sudah jadi Buddhis, gitu. Tapi sejujurnya, gua kan bisa dibilang Buddhis bukan dari lahir ya, sehingga gua tidak terikat kepada ritualistiknya, gua enggak tahu cara menata altar saja gua enggak tahu, tapi yang saat itu sangat gua suka adalah seni meditasinya, kemudian anak gua malah bisa baca paritta karena dia akhirnya belajar kan,” jelas Dee.

I feel I’m Buddhist by heart at this moment gitu ya, cuma memang gua jadi tidak terikat kepada denominasi apa pun, Buddhis sendiri kan banyak alirannya, tapi itu membuat gua juga merasa nyaman karena saat gua kemudian diketahui oleh orang bahwa gua sekarang beragama Buddha gua jadi banyak dapat undangan untuk bicara-bicara di berbagai vihara, dan ini vihara yang mengundang macam-macam dari mulai berbagai macam aliran dan gua kenal dari berbagai macam bhante, bhiksu gitu, dan gua nyaman sekali dengan posisi itu, posisi yang membuat gua merasa tidak di mana-mana tapi ada di mana-mana, dan itu sesuatu yang memang menjadi aspirasi gua sejak dulu gitu,” papar Dee.

Pengalaman Meditasi

Perjalanan spiritual Dewi Lestari dalam memperdalam Agama Buddha mengenai meditasi dimulai pada tahun 2006 saat ia mulai mengikuti retret meditasi.

“Gua waktu itu baca banyak tentang meditasi, bahkan ketika gua memutuskan menjadi Buddhis pun itu lebih banyak gua membaca meditasi tapi belum praktik meditasi. Mulai tahun 2006 gua mulai kemudian ikut retret meditasi, karena banyak hal-hal tentang meditasi ketika gua baca gua penasaran, gua tertarik sama konsepnya, tapi little that I know bahwa membaca pengalaman meditasi itu berbeda jauh dengan experience it self,” jelas Dee.

Dengan bimbingan mendiang Romo Hudoyo Hupudio, Dee mulai bermeditasi dengan hanya mengamati sensasi yang muncul, termasuk fenomena percakapan batin.

“Gua kasih tahu kan fenomena yang gua alami gitu, gua mengalami percakapan itu, gua enggak tahu itu apa. Beliau hanya mengatakan satu hal, yang ini kayanya nasihat beliau seragam ke semua peserta dari tahun ke tahun ya gitu, termasuk apa pun pengalamannya lu mau lihat dewa apa kek, lu mau dibisikin apa. Hal yang dia sebut adalah ‘amati saja, amati saja.’ Jadi gua ngomong nih gua cerita gua mengalami ini ini ini ‘amati saja‘. Terus ada yang kasih tahu ‘saya mengalami mimpi‘ ‘amati saja‘. Terus gua… apa sih ini,” kata Dee mengingat perkataan Romo Hudoyo.

“Akhirnya sudah kan gua coba amati. Dan dia kasih semacam tips bahwa ‘oke ketika mau meditasi, kasih coba label, misalnya ada perasaan sedih, kamu merasa sedih, sudah sadari saja bahwa oke ini rasa sedih yang muncul. Lalu ada memori, ya sebut saja memori, kamu enggak usah bilang itu memori baik, buruk, menyenangkan, enggak, tapi memori, memori, akui itu sebagai memori. Lalu muncul sebuah ide, muncul, akui itu sebuah ide,'” kata Dee.

“Nah akhirnya gua duduk gua melabeli semuanya itu satu demi satu dan itu kan berhari-hari ya. Sampai pada suatu hari gua lagi meditasi dan tiba-tiba terdengar suara cicak. Dan… entah kenapa tiba-tiba, kaya apa ya… lu dengar suara cicak sama menyadari sepenuhnya suara cicak itu beda banget, dan di situ yang gua rasakan adalah tidak ada yang gua amati selain suara cicak, yang lain tuh kaya lenyap dari pengamatan gua, hanya cicak.”

“Setelah suara cicak itu muncul suara kendaraan, mulai muncul satu demi satu, termasuk gua kesemutan, gua kesemutan, dan apa yang terjadi? Hilang. Semua yang gua amati hilang, semua yang gua amati hilang, terus muncul yang namanya memori tadi yang tadinya gua kasih label tuh, memori, perasaan apa.”

“Begitu kekuatan pengamatan kita muncul sepenuh itu, sesadar itu, apa yang gua rasakan saat itu adalah ternyata tidak ada sesuatu pun yang permanen. Dan ketika gua sadar itu, gua euforia dong yang… ‘Haa, jadi ini!‘ gitu, rasa euforia itu juga hilang man! Setelah gua amati, pun hilang,” jelas Dee yang juga merasakan suara batin yang sering muncul pada dirinya da menjadi perhatiannya selama ini pun hilang setelah melakukan pengamatan dalam meditasi.

“Dan, saat itu ketika gua duduk gua benar-benar hanya menjadi… aliran sungai yang dilewati apa saja dia tidak menolak, mau ada batu lewat, mau ada sandal jepit lewat, mau ada embel plastik lewat, lewat aja sudah gitu.”

“Setelah itu gua duduk dua jam, gua belum duduk selama itu ya, gua duduk dua jam, dan termasuk sampai gua nangis, ya nangis terharu gitu ya sampai air mata gua kering sendiri karena habis itu ya udah dia hilang begitu saja, gitu loh.”

“Dan saat gua kasih tahu ke Pak Hudoyo mengenai apa yang gua alami dia baru bilang ‘nah itu.’ Jadi dia enggak bilang lagi ‘amati saja‘, ya itu dia.”

Dee mengatakan bahwa pengalaman meditasi tersebut benar-benar mengubah seluruh pandangannya mengenai kehidupan, mengenai apa pun yang ia lihat dan pegang selama ini ternyata tidak ada yang tetap, tidak permanen (Pali: anicca).

“Dan tidak berarti ketika lu mengalami itu kemudian hidup lu jadi gampang, enggak berarti kemudian hidup lu menjadi tidak punya kecacatan sama sekali, enggak, gua masih mengalami berbagai macam turbulensi dalam hidup setelah itu.”

Dee menyatakan bahwa apa yang dialaminya mengenai ketidakpermanenan bukan sebuah gagasan, bukan pengetahuan atau informasi dari bacaan, tetapi pengalaman langsungnya.

“Beda banget ketika lu sudah baca kutipan ‘tidak ada yang permanen dalam hidup ini‘, sama lu mengalami bahwa… deng… enggak ada yang permanen seindah apapun itu, sepahit apapun itu,” jelas Dee.

“Dari situ, yah… itulah kayanya barangkali ya titik fase yang bisa dibilang monumental dalam hidup gua gitu. Sekarang ini gua rasanya kaya ya sudah jalani day by day, doesn’t mean that I don’t have anymore aspiration, tentu masih ada, gua masih punya target dalam hidup, gua masih punya keinginan gitu, cuma hmm… notion itu saja sih yang kemudian enggak akan pernah hilang rasanya gitu”.

Saat ditanya mengenai keberadaan suara-suara batin yang sering ia alami, Dee menjawab bahwa suara-suara itu tetap ada tetapi dia tidak menjadikannya sesuatu yang dia lekati atau terikat padanya.[Bhagavant, 22/1/22, Sum]

Rekomendasikan:

Kategori: Indonesia,Meditasi,Tokoh
Kata kunci:
Penulis: