Ilmuwan Selidiki Kondisi Meninggal dalam Meditasi Tukdam, Apa Hasilnya?

Bhagavant.com,
Wisconsin, Amerika Serikat – Ilmuwan multidisiplin baru-baru ini menyelidiki kondisi meninggal dalam meditasi yang dalam Agama Buddha tradisi Vajrayana (Tibet) disebut dengan tukdam. Apa hasilnya?

Ilmuwan Selidiki Kondisi Meninggal dalam Meditasi Tukdam, Apa Hasilnya?
Foto; shutterstock

Dalam Agama Buddha tradisi Vajrayana ada konsep yang dikenal sebagai “thukdam” atau “tukdam,” yaitu praktik dan pengalaman meditatif yang sering digunakan untuk merujuk pada periode setelah kematian klinis seorang guru, dan selama waktu itu kesadarannya terserap dalam kecermelangan. Otak diyakini “mati”, tidak mampu merekam kesan sensorik, namun beberapa kedipan kesadaran tetap ada di dalam tubuh.

Sesuai tradisi, penguasaan tukdam dapat membantu meditator memperpanjang proses kematian. Setelah memasuki keadaan tukdam, seseorang dapat dinyatakan meninggal secara, tetapi tubuh akan tetap duduk tegak, kulitnya tetap kenyal dan cerah. Dalai Lama, pemimpin spiritual rakyat Tibet, mengatakan: “Individu di dalam tukdam… dapat tetap dalam keadaan ini selama seminggu atau bahkan sebulan sesuai keinginan mereka sendiri.”

Hal ini mungkin tidak terdengar seperti domain khas sains, tetapi fenomena ini telah menarik perhatian banyak ahli saraf, dokter, psikolog, antropolog, dan filsuf Barat dalam beberapa tahun terakhir.

Awal tahun ini, tim multidisiplin dari Center for Healthy Minds di University of Wisconsin–Madison menerbitkan makalah penelaahan sejawat (peer-review) pertama tentang fenomena tukdam.

Dalam penemuan mereka yang dilaporkan di jurnal Frontiers in Psychology, para peneliti berusaha mempelajari aktivitas otak dari 14 praktisi meditasi jangka panjang (sebagai dasar yang sehat) dan membandingkannya dengan 13 praktisi yang baru saja meninggal yang dikatakan telah memasuki keadaan tukdam.

Dan apa yang mereka temukan? Tidak banyak. Para peneliti tidak mendeteksi aktivitas otak yang terukur pada 13 orang yang meninggal. Namun, mereka mencatat bahwa rekaman paling awal hanya dapat dicapai 26 jam setelah kematian mereka. Adapun laporan bahwa jenazah tetap “segar” setelah apa yang tampaknya menjadi kematian mereka, hal ini masih belum dikonfirmasi.

Namun demikian, para peneliti tidak putus asa dengan temuan mereka. Medis Barat biasanya melihat kematian sebagai keadaan biner, seperti mode “hidup” dan “mati”. Namun, beberapa penelitian terbaru telah membantu untuk menantang pandangan ini.

Awal tahun ini, penelitian lain di New England Journal of Medicine melihat para ilmuwan memantau dengan cermat tanda-tanda vital lebih dari 600 pasien yang sakit parah saat mereka sedang dicabut alat bantu hidupnya.

Temuan kuncinya adalah bahwa jantung seringkali dapat berhenti dan berdetak kembali beberapa kali selama proses kematian sebelum benar-benar berhenti untuk selamanya. Meskipun ini masih jauh dari ide-ide yang lebih spiritual tentang saat-saat terakhir kehidupan, ini menunjukkan bahwa kematian bukanlah sesuatu mendadak, tetapi mungkin sebuah proses.

“Dalam medis Barat, kematian dikonseptualisasikan dalam keadaan biner – baik Anda hidup di satu saat atau mati di saat lain,” Richard Davidson, penulis penelitian tersebut baru-baru ini dan direktur Center for Healthy Minds, mengatakan dalam sebuah pernyataan. “Namun proses biologis tidak bekerja dengan cara yang sederhana. Mereka lebih bertingkat. Kami berharap penelitian ini mengkatalisasi percakapan seputar proses kematian dan menimbulkan pertanyaan tentang kematian sebagai proses dan bukan saklar biner.”

Penelitian ini sekaligus memperkuat ajaran dalam Agama Buddha mengenai kematian yang merupakan proses terurai dan padamnya jasmani dan batin (kesadaran) seperti yang tercantum dalam teks-teks Abhidhamma.[Bhagavant, 2/10/21, Sum]

Rekomendasikan:

Kategori: Sains
Kata kunci: ,
Penulis: