Media Sosial Tiongkok Larang Influencer Memanfaatkan Agama Buddha
Bhagavant.com,
Beijing, Tiongkok – Sejumlah media sosial Tiongkok mengkritik dan melarang para influencer memanfaatkan Agama Buddha untuk meningkatkan peringkat media sosial mereka.

Belakangan ini di Tiongkok sejumlah influencer media sosial memanfaatkan Agama Buddha dan tradisinya untuk mendapatkan untung. Beberapa dari mereka (mayoritas perempuan) biasanya memposting foto sedang melakukan puja di hadapan rupaka Buddha, ada yang menulis teks-teks kitab suci pada kuku jarinya, dan ada yang menulis teks-teks keagamaan dengan urutan terbalik-balik.
Para influencer online tersebut merupakan bagian dari komunitas yang berkembang yang menggunakan Agama Buddha untuk meningkatkan peringkat media sosial mereka. Dikenal sebagai foyuan — yang secara bebas diterjemahkan menjadi “sosialita Buddhis perempuan” — para wanita tersebut biasanya memposting foto, sering dalam pose menggoda dan terkadang mengenakan pakaian terbuka, dengan beberapa berharap mendapat untung dari iklan dan menjual produk yang berkaitan dengan budaya Buddhis.
Tren tersebut muncul awal tahun ini di media sosial Tiongkok, yang juga tempat lahirnya kata kunci viral baru-baru ini seperti tang ping (躺平) — saat anak muda Tiongkok tidur telentang untuk menunjukkan gaya hidup minimalis — dan jing fen (精芬) — untuk kaum milenium yang mengidentifikasi diri mereka sebagai “Spiritually Finnish” (mengacu pada introvert atau bahkan canggung secara sosial).
Dan saat banyak tren online di Tiongkok yang sukses berkembang sebelum akhirnya diabadikan dalam ruang virtual, beberapa di antaranya ditenggelamkan — seperti halnya tren foyuan.
Pada hari Kamis (23/9/2021), platform media sosial terkemuka Douyin – TikTok versi Tiongkok – dan Little Red Book mengatakan bahwa mereka melarang beberapa akun influencer online yang dituduh mengklaim diri mereka sendiri sebagai sosialita Buddhis untuk tujuan pemasaran palsu. Platform tersebut juga menghapus lusinan posting dan video terkait yang melibatkan konten semacam itu.
Agama Buddha adalah salah satu dari lima agama yang diakui secara resmi di Tiongkok, tetapi komersialisasi Agama Buddha selama bertahun-tahun telah menyebabkan pengawasan yang lebih besar untuk mengakhiri praktik-praktik semacam itu. Pada tahun 2017, pihak berwenang Tiongkok melarang kegiatan keagamaan yang mencari untung, serta melarang operasi komersial dari tempat-tempat ibadah termasuk vihara.
Setelah tren sosialita Buddhis perempuan, saluran media pemerintah Tiongkok yang berpengaruh telah bersatu untuk mengecam perilaku tersebut. Sebuah komentar yang diterbitkan oleh stasiun televisi pemerintah China Central Television (CCTV) pada hari Kamis mengatakan bahwa sosialita Buddhis tidak hanya “menghancurkan suasana serius di tempat-tempat keagamaan,” tetapi juga diduga melanggar peraturan yang melarang promosi komersial atas nama agama.
“Meskipun tampaknya berdiri menjauhi dunia, mereka pada dasarnya materialistis,” kata sebuah komentar seperti yang dilansir Sixth Tone, Jumat (24/9/2021). “Buddha, bagi mereka, hanya berarti persona dan alat untuk menarik lalu lintas dan meraih keuntungan.”
Surat kabar The Workers’ Daily, yang didukung oleh Federasi Serikat Buruh Seluruh Tiongkok, juga mengecam tren online tersebut, dengan mengatakan, “Seekor rubah tidak dapat menyembunyikan ekornya dengan mengenakan kasaya,” mengacu pada jubah yang dikenakan oleh para bhiksu-bhiksuni.
Seorang pengguna Douyin dengan nama pengguna Chanchan termasuk di antara beberapa akun yang telah dihapus. Menanggapi kontroversi tersebut, dia mengatakan dia hanya berbagi rutinitas hariannya dengan lebih dari 300.000 penggemarnya di platform video pendek tersebut.
“Setelah basis penggemar saya tumbuh, saya mempromosikan produk dan merekomendasikan yang saya suka kepada netizen dan penggemar, yang menurut saya masuk akal dan sah,” katanya menggunakan akun Douyin terpisah.
Sementara beberapa orang menganggap foyuan sebagai tren yang digunakan oleh troll untuk menstigmatisasi semua wanita yang mempraktikkan Agama Buddha, para praktisi agama melihat mereka sebagai serangan langsung. Seorang wanita berusia 22 tahun bermarga Zhang, yang juga seorang Buddhis, mengatakan kepada Sixth Tone bahwa foto dan video online sama sekali tidak serius dan khidmat seperti Agama Buddha.
“Ketika saya menghadapi situasi yang membingungkan atau mengganggu saya, saya akan mengunjungi vihara dan merasa seperti berada di tempat yang murni di mana saya bisa mendapatkan kelegaan,” kata Zhang. “Foyuan bertindak terlalu jauh … Teman-teman saya dan saya tidak berpose untuk foto seperti mereka atau mengambil foto memuja Buddha hanya karena rupakanya terlihat bagus.”[Bhagavant, 25/9/21, Sum]
Kategori: Sosial,Tiongkok
Kata kunci: komersialisasi agama, media sosial
Penulis: