NDBF 3.0: Bahas Kalyanamitra dalam Sutra Gandavyuha di Relief Borobudur

Bhagavant.com,
Jakarta, Indonesia – Relief Candi Agung Borobudur tidak hanya menakjubkan dari segi teknis tetapi juga dari nilai spiritual yang di dalamnya terkandung ajaran Pencerahan yang tertuang dalam Sutra Gandawyuha.

Bedah buku daring “Harta, Takhta, Wanita, dan Gandawyuha: Kelana Pemuda Sudhana Mencari Pencerahan” di Nusantara Dharma Book Festival 3.0 pada Minggu (29/8/2021)

Sutra Gandavyuha (Gandawyuha) yang mendominasi relief Candi Borobudur menunjukkan bahwa Pencerahan bisa diraih dengan berbagai cara bersama kalyanamitra (rekan baik dalam spiritual). Sutra ini juga menunjukkan jalan pencerahan yang ditempuh leluhur bangsa kita, yaitu dengan memikirkan kebaikan semua makhluk.

Penjelasan ini disajikan oleh pemerhati sosiologi, antropologi, dan sejarah Buddhisme Stanley Khu, S.Ant., M.A. dalam bedah buku daring “Harta, Takhta, Wanita, dan Gandawyuha: Kelana Pemuda Sudhana Mencari Pencerahan” di Nusantara Dharma Book Festival 3.0 pada Minggu (29/8/2021) pekan lalu pukul 19.00 WIB.

Bedah buku ini merupakan acara penutup dari rangkaian Nusantara Dharma Book Festival 3.0 (NDBF 3.0) yang diselenggarakan oleh Yayasan Pelestarian dan Pengembangan Lamrim Nusantara (YPPLN/Lamrimnesia).

“Dari sekian Sutra, dia (Gandawyuha) salah satu yang paling menakjubkan,” tutur Stanley mengawali acara yang diikuti oleh 484 peserta terdaftar via situs ndbf.lamrimnesia.com.

“Saking menakjubkannya, Sutra ini dianggap begitu penting oleh Wangsa Shailendra yang mendirikan Candi Borobudur. Dari 84.000 ajaran Buddha, Gandawyuha dipilih untuk mengisi 3 dari 4 galeri di Candi Borobudur. Reliefnya sendiri terdiri atas 460 panel, panelnya jauh lebih banyak dibandingkan Sutra-Sutra lain seperti Karmawibhangga serta Jataka & Awadana,” jelasnya seperti dalam rilis pers dari Lamrimnesia yang diterima Bhagavant.com.

Stanley menjelaskan bahwa relief Karmawibhangga di dasar Candi Borobudur menggambarkan hukum mekanik atau hukum alam. Relief Jataka, Awadana, dan Lalitawistara di galeri pertama yang kemudian menggambarkannya Kebuddhaan dengan praktik hukum tersebut tercapai. Kemudian, cerita berlanjut menjadi lebih “tidak masuk akal” mulai dari galeri kedua yang berisi Gandawyuha. Hal-hal yang tampak buruk atau baik secara konvensional dijungkirbalikkan. Kita diajak untuk menyadari bahwa apa yang tampak oleh mata kita belum tentu merupakan esensi yang sesungguhnya.

Kalyanamitra

Inti dari Sutra Gandawyuha sendiri adalah kelana Sudhana mencari Pencerahan. Stanley menyarikan salah satu pesan yang sangat gamblang dari Sutra ini, yaitu bahwa setiap orang tidak dapat hidup sendiri. Sudhana mencari pencerahan dengan tujuan membalas jasa begitu banyak makhluk yang telah memberi manfaat bagi dirinya. Dalam pencariannya, Sudhana pun bertumpu pada bimbingan 53 orang kalyanamitra dari latar belakang yang beragam.

Buddha dalam riwayatnya menjalani praktik asketis. Beliau meninggalkan semua hal yang Dia miliki untuk menjalani hidup sebagai pertapa, bahkan sampai menyiksa diri secara ekstrem. Beliau belakangan menyadari bahwa itu tidak membawa hasil dan mulai makan dengan normal. Ketika telah mencapai Pencerahan, Buddha pun tidak kembali ke kehidupan mewah di istana. Beliau memilih terus menjalankan hidup yang bebas dari belenggu nafsu.

“Teladan Buddha adalah tidak punya uang,” kata Stanley, “Tapi apakah jalan tunggalnya harus seperti itu?”

Namun, Buddha paham tentang kompleksitas masyarakat, bahwa manusia memiliki berbagai macam kondisi sosial dan kecenderungan psikologi. Oleh karena itu, tidak mungkin semua orang dituntut untuk meraih pencerahan dengan satu cara yang sama. Praktisi spiritual dalam Gandawyuha pun digambarkan dengan segala keberagaman itu: ada yang merupakan pertapa seperti Sang Buddha, tapi ada juga yang merupakan pedagang-bankir (termasuk Sudhana sendiri), tabib, ratu, perumah tangga, dan sebagainya. Semuanya telah menapaki dan mencapai realisasi di jalan Pencerahan serta mampu membimbing Sudhana dengan caranya masing-masing.

Di relief-relief awal Candi Borobudur, kita melihat apa yang selama ini kita pahami, yaitu prinsip hukum karma dalam Karmawibhangga dan bagaimana prinsip itu dipraktikkan untuk mencapai Kebuddhaan dalam Jataka, Awadana, dan Lalitawistara. Kemudian, semakin tinggi kita menapaki tingkatan Candi Borobudur, kita akan bertemu dengan penalaran Buddhis yang semakin canggih pula. Penalaran-penalaran ini baru bisa dipahami saat kita sudah mencapai tingkatan spiritual yang lebih tinggi. Ini konsisten dengan temuan arkeolog bahwa di masa lampau, hanya orang tertentu yang diperkenankan naik ke atas candi.

Contoh penalaran ini sudah bisa kita kenali saat kita melihat relief Gandawyuha di galeri kedua, tiga, dan empat. Dalam Sutra ini, pemahaman konvensional kita dijungkirbalikkan lewat aktivitas dan latar belakang guru-guru Sudhana. Tujuannya adalah agar kita bisa menyadari bahwa apa yang kita lihat dan sepakati belum tentu benar-benar seperti itu. 

Dalam kasus Sudhana, Sudhana memerlukan 53 orang guru untuk mencapai Pencerahan. Tujuannya mencapai Pencerahan adalah agar bisa membantu orang lain mencapai pencerahan juga. Mengingat kita bisa hidup hari ini berkat kebaikan tak terhingga banyaknya makhluk, kita harus mencari cara untuk membalas kebaikan mereka. Caranya bisa seperti yang dilakukan oleh Sudhana dalam Gandawyuha, yaitu kita berguru, lalu sambil berguru kita ingat bahwa kita dan semua makhluk tidak terpisahkan, melainkan satu.

“Utang saya kepada semua makhluk itu banyak. Kalau saya tidak merangkul mereka untuk mencari Pencerahan, lah kan saya nggak tahu diri ya,” ujar Stanley.

Memikirkan makhluk lain memang merupakan jalan yang sulit, oleh karena itu Sudhana membutuhkan 53 guru untuk merealisasikannya. Karena itu jugalah leluhur kita mengukir 460 panel relief Gandawyuha di Candi Borobudur agar bisa membantu kita menapaki jalan itu di masa kini. 

Sebagai penutup, Stanley berpesan kepada peserta untuk mengaitkan Sudhana dengan diri sendiri saat ada kesempatan berkunjung ke Borobudur atau membaca Sutra Gandawyuha. Sudhana bukan tokoh yang hanya untuk dikagumi, tapi juga untuk diteladani. Kita semua bisa menjadi calon-calon Sudhana yang mencari pencerahan demi menolong banyak makhluk.

Dengan tema khusus “Membaca untuk Meningkatkan Ketangguhan Mental di Kala Pandemi”, NDBF 3.0 menghadirkan bazar buku, seminar, bedah buku, dan workshop yang bertujuan untuk meningkatkan minat baca generasi muda Indonesia. Seluruh acara diselenggarakan secara daring di situs ndbf.lamrimnesia.com dan media sosial Lamrimnesia.[Bhagavant, 5/9/21, Sum]

Rekomendasikan:

Kategori: Asia Tenggara,Indonesia,Pendidikan
Kata kunci:
Penulis: