Y.M. Dalai Lama Bahas Jataka Mala Bersama 1000 Pelajar Indonesia

Bhagavant.com,
Dharamsala, India – Y.M. Tenzin Gyatso, Dalai Lama Ke-14 membahas Jataka Mala bersama 1.000 pelajar Indonesia secara virtual pada Rabu (11/8/2021) pukul 10.30 WIB.

Y.M. Dalai Lama Bahas Jataka Mala Bersama 1000 Pelajar Indonesia
Y.M. Dalai Lama Ke-14 dari kediamannya di Dharamsala, India melakukan dialog secara virtual bersama 1.000 pelajar Indonesia dengan moderator Dewi Lestari pada Rabu (11/8/2021)

Dengan moderator Dewi Lestari (Dee), penulis novel Supernova dan Rapijali, Y.M. Dalai Lama menghadiri dialog interaktif secara virtual dalam acara Grand Buddha Goes to School yang merupakan salah satu rangkaian acara dari Nusantara Dharma Book Festival 3.0 (NDBF 3.0.)

Kegiatan yang diselenggarakan oleh Yayasan Pelestarian dan Pengembangan Lamrim Nusantara (YPPLN) tersebut diawali dengan tradisi persembahan mandala (simbol alam semesta) kepada guru dharma dalam rangka memohon dharmadesana (pengajaran/arahan.)

Persembahan mandala dilakukan oleh oleh Morgan Oey, aktor sekaligus mantan anggota grup SM*SH, yang kali ini dipercaya sebagai chanting master.

Setelah mengucapkan selamat pagi kepada para audiensi, Y.M. Dalai Lama menyampaikan penantiannya untuk berdiskusi dengan para pemuda Indonesia secara umum dan khususnya mereka yang tertarik terhadap Buddha Dharma.

“Saya seorang praktisi Buddhis, dan salah satu komitmen saya adalah untuk mempromosikan kerukunan antar umat beragama,” kata Y.M. Dalai Lama yang melanjutkan bahwa semua tradisi agama yang berbeda membawa pesan yang sama yaitu pesan cinta kasih. Beliau juga menyampaikan rasa senangnya bertemu saudara dan saudari dari negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia.

Y.M. Dalai Lama menanggapi adanya minat khusus beberapa masyarakat Indonesia terhadap 34 kisah dari Jataka Mala (Untaian Kisah Kelahiran) yang menceritakan kehidupan sebelumnya dari Sri Buddha.

Menurut Y.M. Dalai Lama, penulis Jataka Mala yaitu Aryashura, pada mulanya bukan seorang Buddhis, tetapi seorang sarjana yang cerdik dari tradisi kepercayaan lain. Pada saat itu para cendekiawan Universitas Nalanda merasa khawatir terhadap Aryashura yang mungkin akan mengalahkan mereka dalam debat sehingga mereka meminta bantuan Nagarjuna yang berasal dari India Selatan.

Nagarjuna mengirim salah satu siswanya yang paling terampil yaitu Aryadeva, yang meyakinkan Aryashura tentang validitas ajaran Buddha. Selanjutnya, di akhir hidupnya, Aryashura, yang juga seorang penyair terkenal, menyusun ‘Kisah Jataka Mala’ ini dalam bahasa Sansekerta yang indah.

“Kisah Buddha ini sangat indah, tapi saya merasa ‘kisah adalah kisah’, khususnya salah satu kisah guru (atau) lama mereka, mungkin sedikit berlebihan,” jelas Y.M. Dalai Lama sambil tertawa kecil.

Namun, beliau menjelaskan, poin penting yang perlu diperhatikan adalah moral cerita, yang dicontohkan oleh Bodhisattva tentang kesempurnaan, kedermawanan, etika, dan kesabaran. Yang mendasari semua kisah ini adalah konsep India kuno tentang ‘karuna’ dan ‘ahimsa’ – belas kasih dan tanpa kekerasan. Tema-tema ini, kata beliau, umum untuk sebagian besar agama, tetapi apakah kita mengikuti tradisi agama atau tidak, kita semua harus memiliki hati yang hangat dan belas kasih jika kita ingin bahagia.

Menjawab pertanyaan awal dari seorang siswi dari Bogor mengenai apakah mungkin kita sekarang melakukan hal yang sama seperti Boddhisatva yang mengorbankan tubuhnya dalam kisah Jataka, Y.M. Dalai Lama menjelaskan bahwa mengorbankan hidup kita demi orang lain, seperti yang dilakukan Bodhisattva dalam beberapa kisah, adalah bermanfaat jika menghasilkan manfaat yang nyata untuk diri sendiri dan banyak makhluk. Beliau menambahkan, dibutuhkan kecerdasan dan pikiran yang jernih untuk menilai manfaat apa yang akan didapat.

Terkait dengan kesulitan kritis yang dihadapi dunia saat ini, pandemi virus corona dan pemanasan global, ada beberapa langkah yang bisa kita lakukan untuk mengurangi kegawatannya.

“Jadi saya sangat menghargai dan mengagumi dokter-dokter, perawat-perawat, mereka benar-benar menolong orang-orang yang sakit, luar biasa! Karena sesuatu telah terjadi Anda tidak boleh putus harapan, kita harus membuat kemajuan dan harapan sehingga bisa mengatasinya. Jika Anda tetap putus harapan maka ini adalah kegagalan yang nyata. Semakin banyak kesulitan, semakin kuat tekad, maka selalu ada kemungkinan untuk mengatasinya. Kisah saya sendiri, dalam masa kehidupan saya, banyak pemasalahan, saya tidak pernah putus harapan, saya selalu mencoba, mencoba, mencoba. Jadi setidaknya secara mental, Anda dapat menjaga harapan dan kedamaian,” jelas Y.M. Dalai Lama menjawab pertanyaan siswa dari Ubud, Bali yang mengajukan pertanyaannya dalam bahasa Tibet.

Y.M. Dalai Lama menjawab pertanyaan siswa dari Ubud, Bali yang mengajukan pertanyaannya dalam bahasa Tibet

Y.M. Dalai Lama mengenang bahwa dia telah mengunjungi Borobudur, saat pertanyaan ketiga diajukan. Beliau menggambarkan Borobudur sebagai vihara yang indah dan penting, tetapi beliau menyatakan bahwa yang lebih penting adalah vihara batin dari hati kita di mana kita memupuk belas kasih dan cinta kasih. Jika kita menggabungkannya dengan kecerdasan manusia kita yang luar biasa, kita dapat menciptakan dunia yang lebih bahagia, tidak hanya dengan berpuja, tetapi dengan melakukan tindakan praktis.

“Vihara yang kosong tidak banyak artinya, vihara sesungguhnya, vihara yang hidup ada di dalam diri kita sendiri, itulah yang sangat penting.”

Beliau menolak untuk mengatakan mana dari ‘Kisah Jataka’ yang menurutnya paling menginspirasi, saat pertanyaan ditanyakan oleh salah satu siswi. Poin kuncinya, tegas beliau, adalah mengakui kesatuan kemanusiaan; untuk menyadari bahwa kita semua sama dalam menjadi manusia. Dari sudut pandang praktis, kita semua bergantung satu sama lain dan kita dapat melayani satu sama lain atas dasar itu.

Menanggapi pertanyaan bagaimana komunitas Buddhis di Indonesia sebagai minoritas menyikapi dan menghadapi kelompok ekstremis agama yang menyerang agama lain, Y.M. Dalai Lama menyarankan agar umat Buddhis di Indonesia menunjukkan kepada kelompok ekstremis bagaimana umat Buddhis yang minoritas bisa tetap berkomitmen menjaga keharmonisan beragama di Indonesia. Beliau memberikan contoh masyarakat Tibet yang merupakan pengungsi di India tetap berkomitmen secara penuh terhadap keharmonisan beragama.

“Kelompok minoritas Buddhis Indonesia Anda dapat menunjukkan kepada saudara-saudari Muslim Anda khususnya mengenai masyarakat Tibet sebagai pengungsi di negara ini (India) yang tetap berkomitmen secara penuh terhadap keharmonisan beragama. Jadi Anda dapat membagikan (contoh ini kepada) beberapa saudara-saudari Muslim yang berpikiran sempit,” jelas Y.M. Dalai Lama.

Menanggapi pertanyaan mahasiswa yang menanyakan mengapa sulit mencapai kondisi pencerahan saat ini dibanding saat zaman kehidupan dulu yang langsung dapat mencapai pencerahan hanya mendengar ajaran Buddha, Y.M. Dalai Lama menyatakan bahwa beliau tidak percaya bahwa seseorang menjadi tercerahkan secara spontan ketika ia mendengarkan Sri Buddha.

Beliau menunjukkan bahwa Sri Buddha sendiri telah menghabiskan enam tahun dalam meditasi yang ketat sebelum mencapai Kebuddhaan. Beliau menyarankan agar orang mendengarkan apa yang Buddha katakan dan merenungkannya akan meningkatkan pemahaman mereka. Kemudian mereka harus bermeditasi pada apa yang telah mereka pahami, menerapkan konsentrasi (samatha) dan pandangan terang (vipasanna), yang memungkinkan mereka melakukan transformasi batin.

Y.M. Dalai Lama menyarankan bahwa Jalan Tengah (Madhyamaka) adalah cara yang ampuh untuk mengurangi pandangan salah. Beliau mengatakan, pikirkan tentang bagaimana kita memikirkan ‘tubuh aku’, ‘ucapan aku’ dan ‘pikiran aku’, dan kemudian tanyakan pada diri sendiri di mana ‘Aku’ yang memiliki fitur-fitur ini.

Beliau menegaskan bahwa setiap hari beliau bertanya pada dirinya sendiri di mana ‘Aku’ dan tidak dapat menemukan kehadiran ‘diri’ yang independen (berdiri sendiri), yang inheren (tidak dapat dicerai-beraikan). Tindakan ini memiliki efek yang kuat untuk mengurangi kemarahan dan kemelekatan beliau. Beliau mengutip tiga ayat dari Madhyamakavatara (Memasuki Jalan Tengah) karya Chandrakirti yang memberinya dorongan bahwa beliau berada di jalur yang benar.

Demikian, diterangi oleh sinar cahaya kebijaksanaan,
Bodhisattva melihat dengan jelas seperti sebuah amalaki (malaka) di telapak tanganNya yang terbuka
bahwa ketiga alam secara keseluruhan tidak terlahirkan sejak awal,
dan melalui kekuatan saṁvṛti-satya (kebenaran konvensional/umum/relatif), Ia melakukan perjalanan menuju penghentian.
6.224

Meskipun pikiranNya dapat selalu diam dalam penghentian,
Ia juga membangkitkan belas kasih kepada para makhluk yang kehilangan perlindungan.
Kemudian, melalui kebijaksanaanNya Ia juga akan lebih bersinar
dari semua sravaka dan para pratyekabuddha.
6.225

Dan seperti raja angsa yang terbang di depan angsa-angsa ulung lainnya,
dengan sayap putih saṁvṛti-satya dan paramārtha-satya (kebenaran absolut/hakiki) yang terbentang luas,
didorong oleh angin kebajikan yang kuat, Bodhisattva akan berlayar ke pantai jauh yang unggul, di samudera para Penakluk.
6.226

Menjawab pertanyaan siswa mengenai bagaimana kita menghadapi orang-orang yang gagal memenuhi harapan kita, Y.M. Dalai Lama mengungkapkan bahwa Sri Buddha menjelaskan bahwa semua makhluk hidup memiliki sifat Kebuddhaan. Fisik merupakan hal yang kurang penting, kata beliau, batinlah yang penting. Di dalam batin terdapat berbagai tingkat kesadaran. Karena setiap orang memiliki sifat Kebuddhaan, maka pada akhirnya semua orang dapat mencapai Kebuddhaan.

Pertanyaan terakhir dalam dialog ini diajukan oleh Dewi Lestari sebagai moderator mengenai praktik sederhana dan sehat bagaimana kita tetap memiliki pikiran yang sehat dan tajam seperti Y.M. Dalai Lama.

Beliau menjawab bahwa kita menghabiskan banyak waktu karena terganggu oleh dominasi kesadaran indra untuk itu hendaknya kita tidak menjadi ‘budak’ dari organ-organ sensorik ini. Sebaliknya, kita perlu untuk memperhatikan enam landasan indra/enam kesadaran (kesadaran penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecapan, sentuhan dan pemikiran) kita dan mendapatkan pengalaman tentang sifat pikiran.

“Saat semua organ sensorik ini ditutup (diredam), dan pikiran tetap memperhatikan enam landasan indra, enam kesadaran, maka saat Anda mendapatkan pengalaman meditasi yang lebih mendalam pada enam keadaran, maka organ-organ sensorik ini akan hampir sepenuhnya ternetralisir,” jelas Y.M. Dalai Lama mengacu pada teknik meditasi.

Saat kita mengembangkan ketenangan dan konsentrasi melalui meditasi samatha, maka menjadi lebih mudah untuk kita menerapkan pikiran untuk menganalisis di mana ‘Aku’ dan apa emosi negatif melalui meditasi vipasanna. Saat kita mengembangkan kekuatan batin, kita mencapai kedamaian pikiran yang lebih kuat. Dan saat kita mendapatkan pengalaman pikiran yang lebih dalam dan tingkatnya yang lebih halus, pikiran dengan cahaya jernih akan terwujud. Pikiran halus dari sifat Kebuddhaan itulah yang pada akhirnya menjadi pikiran Sri Buddha.

Dalam pesan terakhirnya, Y.M. Dalai Lama menyoroti kesempatan khusus yang dimiliki pendengar umat Buddhis Indonesia untuk berbagi gagasan tentang cinta kasih, yang merupakan sesuatu yang kita semua butuhkan.

“Umat Buddhis Indonesia, saya pikir Anda memiliki sejumlah kesempatan khusus di negara Muslim terbesar. Pertama, Anda dapat membagikan tentang kehangatan hati dan hal-hal ini juga yang dibutuhkan saudara-saudari Muslim untuk dipraktikkan. Jadi, membagikan pengetahuan mendalam ini dan berbicara mengenai belas kasih, memaafkan, dan kemudian Anda dapat mengembangkan kepada saudara-saudari Muslim untuk bagaimana hidup harmonis, bagaimana mengembangkan masyarakat, masyarakat yang berbelas kasih,” jelas beliau.

“Dengan demikian Anda memberikan kontribusi tertentu terhadap kerukunan umat beragama. Terima kasih,” kata Y.M. Dalai Lama mengakhiri dialog.

Sebelum acara berakhir Y.M. Dalai Lama secara spontan mengajak para audensi untuk bermeditasi karuna (belas kasih) selama satu menit. Dan setelah para audensi mempersembahkan khata secara virtual, Y.M. Dalai Lama memuji kebajikan dari kesadaran bodhicita dan manfaatnya yang luar biasa.

Beliau mengatakan, kita butuh belas kasih untuk bisa membantu orang lain. Kita membutuhkan belas kasih untuk memurnikan negativitas kita dan mengumpulkan energi positif. Semua perbuatan altruistik yang dijelaskan dalam ‘Kisah Jataka’ berakar pada bodhicita, aspirasi untuk mencapai Kebuddhaan untuk membantu orang lain.

Y.M. Dalai Lama mengutip syair-syair dari Bodhisattvacaryāvatāra (Memasuki Jalan Bodhisattva) karya Shantideva, yang memuji praktik menyamakan dan menukar diri sendiri dan orang lain.[Bhagavant, 13/8/21, Sum]

Rekomendasikan:

Kategori: Asia Tenggara,Indonesia,Pendidikan
Kata kunci: , ,
Penulis: