Manuskrip 2.000 Tahun Bisa Ungkap Ajaran Buddha Periode Awal

Bhagavant.com,
New South Wales, Australia – Sejumlah manuskrip berusia 2.000 tahun yang kini dalam penyelidikan para pakar, dapat mengungkap ajaran Agama Buddha periode awal.

Setelah lebih dari 2.000 tahun, gulungan kulit pohon betula ini mudah hancur berkeping-keping. Foto abc.net.au

Sejumlah teks-teks Buddhis tertua di dunia tersebut dalam kondisi rapuh, cenderung bisa hancur berkeping-keping kapan saja. Bahkan para konservator tidak dapat menyentuh mereka dengan tangan kosong.

Sebelum mereka ditemukan, naskah tertua yang dapat dipelajari para cendekiawan adalah teks-teks dari Sri Lanka, Myanmar dan Thailand yang baru berusia beberapa ratus tahun dan sering rusak oleh iklim tropis.

Dr. Mark Allon, salah satu dari 20 orang di dunia yang dapat membaca bahasa kuno gulungan itu, mengatakan artefak kulit kayu betula 2.000 tahun yang rapuh tersebut membuat para peneliti “kembali ke waktu yang sangat lampau”.

“Itu membawa kita sangat dekat, lebih dekat dengan Sri Buddha,” katanya seperti yang dilansir ABC News (16/6/2019).

Dr. Allon memimpin tim di University of Sydney yang mendigitalkan beberapa manuskrip berusia 2.000 tahun tersebut, yang baru-baru ini dibuka.

Melalui karyanya, masyarakat akan segera dapat melihat manuskrip tersebut secara online dan memahami ajaran di dalamnya.

Menangani peninggalan yang rapuh

Sekitar 200 gulungan ini ditemukan pada pertengahan tahun 1990-an di sepanjang perbatasan utara Afghanistan dan Pakistan.

Mereka datang dari kerajaan kuno Gandhara, yang berkembang antara 100 SM dan 200 M dan bertindak sebagai pintu gerbang bagi Agama Buddha untuk melakukan perjalanan dari India ke Tiongkok.

Banyak gulungan ditemukan di gua-gua di provinsi Bamiyan di Afghanistan, ketika Taliban menghancurkan rupaka Buddha Gandhara kuno yang diukir pada batu.

Gulungan-gulungan itu selama dua milenium tersimpan terlipat menjadi dua, dikubur dalam pot tanah liat.

Bentuknya yang panjang dan caranya digulung yang membedakannya dari artefak lain di daerah tersebut.

“Mereka seperti cerutu … mereka sangat rapuh. Anda perlu memaparkannya pada kelembaban selama beberapa hari dan kemudian perlahan-lahan membersihkan lapisan-lapisannya,” jelas Dr. Allon.

“Mereka sangat terpecah-pecah. Mereka dalam bentuk berkeping-keping.”

Manuskrip tersebut berisi teks puja, kisah-kisah kehidupan lampau Sri Buddha, aturan pelatihan keviharaan, dan wacana filosofis.

Manuskrip itu, dari perbatasan utara Afghanistan dan Pakistan, berasal dari abad pertama SM. Foto: abc.net.au

Menghidupkan Agama Buddha awal

Dr. Allon telah menghabiskan beberapa dekade bersama teks-teks ini dalam bahasa aslinya.

Dia mengikuti rasa kemandiriannya ketika dia masih mahasiswa dengan memilih untuk belajar bahasa kuno sehingga dia bisa membaca ajaran Buddha yang dia minati.

Dia belajar bahasa Sansekerta, Tibet, beberapa bahasa Tionghoa dan Pali, bahasa liturgi kanon Buddhis Theravada, yang dipraktikkan di Asia Tenggara.

Kecintaannya akan gagasan-gagasan Buddhislah yang mengilhami ketertarikannya pada Gandhara, katanya, “dan satu-satunya cara saya bisa mendapatkannya adalah melalui studi bahasa”.

Dr. Allon terpesona oleh perpindahan ajaran Buddha dari tradisi lisan ke dalam tulisan.

Dia memuji para bhikkhuni dan bhikkhu yang setia karena melakukan yang terbaik dalam mencatat doktrin dan mengembangkan berbagai narasi untuk mengungkap makna pada inti tulisan tersebut.

Menjadi lebih dekat dengan Buddha

Meskipun gulungan-gulungan ini adalah karya Agama Buddha yang paling awal yang diketahui, mereka tentunya tidak menempatkan para peneliti dalam kontak langsung dengan kata-kata Sri Buddha.

“Tulisan tidak digunakan sampai ratusan tahun kemudian,” kata Dr. Allon. Dia menggambarkan naskah tersebut sebagai sesuatu “sangat tersusun, terstruktur dan berulang, sehingga … gagasan tersebut telah ditransmisikan dengan penuh ketaatan”.

Cara naskah-naskah ini disimpan mengingatkan kembali pada praktik penguburan peninggalan-peninggalan yang bersinggungan dengan Sri Buddha sendiri, yang dikutip dengan mengatakan: “Siapa pun yang melihat ajaran Saya (Dhamma – ed) melihat Saya, dan siapa pun yang melihat Saya melihat ajaran Saya (Dhamma – ed).”

Ajaran ini, menurut Dr. Allon, mendorong para bhikkhu dan bhikkhuni untuk mengubur rambut, gigi, dan mangkuk dana di dalam monumen-monumen Gandhara.

Dhamma atau peninggalan ajaran seperti itu “memberikan tempat kekuatan”, kata Dr. Allon. “Sri Buddha hadir, ajaranNya hadir.”

Dan terlepas dari penelitiannya selama puluhan tahun, Dr. Allon mengatakan dia masih harus belajar lebih banyak.

“Saya masih sangat tertarik secara pribadi, tapi tentu saja (penelitian) ini hanyalah sebuah lubang tanpa dasar. Anda terhisap di dalamnya.”[Bhagavant, 21/9/19, Sum]

Rekomendasikan:

Kategori: Arkeologi,Australia,Seni dan Budaya
Kata kunci:
Penulis: