Belajar Akhiri Dukkha dari Film Avengers: Endgame

Bhagavant,com,
Jakarta, Indonesia – Klimaks adegan dalam film Avengers: Endgame adalah saat Tony Stark menghilangkan Thanos dengan menjentikkan jarinya yang menggunakan Infinity Stone.

Belajar Akhiri Dukkha dari Film Avengers: Endgame

Film tersebut berakhir dengan tidak terduga dan dramatis dengan gugurnya Tony Stark. Setelah upacara pemakamannya, sebuah pesan hologram darinya dimainkan.

Everybody wants a happy ending. Right? But it doesn’t always roll that way.” (Semua orang menginginkan sebuah akhir yang bahagia. Benarkan? Tetapi hal itu tidak selalu berjalan seperti itu).

Jika kita membandingkan pesan wasiat Tony di jelang akhir film tersebut dengan kehidupan nyata, kita akan setuju bahwa dalam kehidupan nyata, tidak selamanya sebuah peristiwa berakhir dengan kebahagiaan.

Dan saat setelah menyaksikan tokoh Tony Stark yang harus gugur, tidak sedikit penonton yang merasa sedih dan kecewa. Ini mengingatkan kita bahwa meskipun hanya menonton film, kita pun mengalami kesedihan, kekecewaan, keluh kesah, yang kita tidak sadari sebagai bagian dari penderitaan (dukkha). Mengapa hal itu terjadi?

Seperti yang telah dibahas sebelumnya, bahwa penderitaan itu ada dan memiliki penyebabnya yaitu kehausan/ketagihan (Pali: taṇhā; Skt: tṛṣṇā) salah satunya terhadap kenikmatan indra. Dan menonton dan menikmati film merupakan salah satu kenikmatan indra (terutama indra penglihatan, pendengaran, dan pikiran).

Ketika kita tanpa disadari ketagihan melihat sesuatu yang indah, mendengar suara yang merdu, dan berpikir yang baik-baik saja. Dan ketika suatu saat sesuatu tersebut hilang atau berubah, maka kita tidak bisa menerimanya, kita menjadi sedih dan kecewa. Ketika kita melekat terus akan kisah yang happy ending dan namun disuguhkan gugurnya tokoh favorit kita, maka perasaan kecewa dan sedih pun muncul.

Everybody wants a happy ending. Right? But it doesn’t always roll that way. (Semua orang menginginkan sebuah akhir yang bahagia. Benarkan? Tetapi hal itu tidak selalu berjalan seperti itu).

Tony Stark – Avengers: Endgame

Akhir Penderitaan

Lalu apakah kita bisa tidak mengalami kesedihan, kecewaan, penderitaan dalam hidup, termasuk setelah menonton sebuah film? Jawabannya ya bisa. Penderitaan akan berakhir ketika ketagihan atau tanha sebagai penyebabnya juga diakhiri.

Namun, menurut Buddha Dhamma, berakhirnya penderitaan bukan berarti munculnya kebahagiaan, tetapi munculnya kedamaian dari hasil keseimbangan batin.

Dalam Kebenaran Ketiga dari Empat Kebenaran Mulia, menyatakan bahwa yang disebut akhir dari penderitaan adalah peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya ketagihan itu, lepas dan ditinggalkannya ketagihan itu, bebas dan tidak bergantung pada ketagihan.

Ketika kita mengakhiri ketagihan terhadap kenikmatan indra seperti ketagihan terhadap kisah yang happy ending maka dengan sendirinya kita tidak lagi mengalami kesedihan, kekecewaan, keluh kesah, ketika film yang kita tonton berakhir dengan bad ending.

Mengakhiri ketagihan atau tanha tidak hanya untuk mengatasi kesedihan, kekecewaan, keluh kesah dalam menonton film, tetapi lebih luas dari itu yaitu untuk mengatasi penderitaan di dalam kehidupan ini.

Berdamai dengan diri sendiri

Keberadaan ketagihan atau tanha sebagai sebab penderitaan membuat kita melekat pada sesuatu (bisa berbagai hal) sehingga kita tidak mau menerima jika sesuatu itu lepas, berpisah, atau tidak sesuai dengan harapan kita. Tidak mau menerima inilah yang merupakan konflik di dalam batin kita.

Endgame dengan alur yang mengejutkan dan dramatis juga mengandung pesan moral berupa berdamai dengan diri sendiri. Salah satunya di cerminkan dalam karakter Hulk yang merupakan alter ego dari Dr. Robert Bruce Banner.

Bukan hanya menerima kenyataan atas peristiwa menyakitkan yang menimpa para Avanger, Hulk juga berdamai dengan dirinya sendiri terhadap masa kecilnya yang kelam. Hal itu dibuktikan dengan penampilan Hulk yang berbeda dari penampilannya di film-film MCU sebelumnya.

Hulk tidak lagi ditampilkan beringas dan penuh amarah yang bertolak belakang dengan ego utamanya, yaitu Bruce Banner. Sifat pemarah, sensitif dan brutal merupakan dampak psikologi dari kekerasan oleh ayahnya yang dialaminya pada masa kecil. Meski bertubuh raksasa hijau, kini ia menjadi karakter yang ramah dan bersahabat dengan kualitas kecerdasan Bruce Banner. Sehingga kini ia disebut sebagai Profesor Hulk.

Dalam dunia nyata, kita sering tidak bisa move on dari apa yang telah terjadi. Perasaan marah, sedih, kecewa yang muncul karena ketagihan kita pada sesuatu tidak terpenuhi membuat diri kita bergejolak dan tidak damai, dan akhirnya muncul keluh kesah atau penderitaan.

Untuk mengakhiri penderitaan tersebut, Buddha Dhamma mengajarkan kita untuk berdamai dengan diri sendiri dengan cara tidak melekat, mengikis habis tanha pada sesuatu dan mau menerima secara bijak sesuatu yang telah terjadi, serta memahami ketidakkekalan dari segala sesuatu.

Dan bentuk praktik latihan dan jalan hidup agar tidak melekat dan bebas dari penderitaan adalah dengan menjalankan Jalan Utama Berunsur Delapan (Pali: ariyo aṭṭhaṅgiko maggo; Skt: ārya aṣṭāṅga mārga).[Lebih lengkapnya]

Dengan mengikuti secara utuh Jalan Utama Berunsur Delapan yang juga disebut sebagai Jalan Tengah, seseorang dapat memadamkan tanha dan akhirnya cepat atau lambat akan terbebas dari penderitaan secara total.

Endgame

Artikel ini merupakan bagian ketiga dari “Mengekstrak Nilai Buddha Dhamma dari Film Avengers: Endgame” dalam rangka menyambut Hari Suci Asalha 2563 EB/2019.

Rekomendasikan:

Kategori: Indonesia,Seni dan Budaya
Kata kunci:
Penulis: