Mengekstrak Nilai Buddha Dhamma dari Film Avengers: Endgame

Bhagavant.com,
Jakarta, Indonesia – Film Avengers: Endgame menjadi sebuah film fenomenal pada tahun 2019. Tetapi, pesan moral dan nilai Buddha Dhamma apa yang dapat diekstrak atau diambil khususnya oleh umat Buddhis dari film tersebut?

Poster Avengers: Endgame. Foto Youtube

Avengers: Endgame merupakan sekuel dari film-film Marvel Comics sebelumnya yaitu The Avengers (2012), Avengers: Age of Ultron (2015), dan Avengers: Infinity War (2018). Dan film ini merupakan film ke-22 dari Marvel Cinematic Universe (MCU).

Meskipun merupakan film fiksi, sama seperti film-film pahlawan super lainnya, Avengers: Endgame memiliki tema pergulatan antara kebaikan dan kejahatan. Ini berarti kita bisa menemukan pesan-pesan moral di dalam film tersebut.

Dan bukan hanya pesan moral umum yang dapat kita temukan dalam Avengers: Endgame, tetapi ternyata juga ada pesan dan nilai Buddha Dhamma yang dapat kita ekstrak.

Sebelum mengekstraknya, perlu diketahui (bagi yang belum tahu) bahwa Avengers: Endgame terkait dengan 22 film MCU lainnya, khususnya dengan film Avengers: Infinity War. Oleh karena itu, Membicarakan Avengers: Endgame maka sedikit banyak akan membicarakan film lainnya.

Realitas Dukkha

Alur cerita Avengers: Endgame tidak lepas dari konflik dan penderitaan sejak awal film hingga akhir.

Di awal film, sebagian pahlawan super mengalami penderitaan akan kekalahan dan kehilangan rekan-rekan mereka setelah raksasa ungu Thanos menjentikan jarinya.

Meskipun mereka akhirnya bangkit dari keterpurukan dan muncul kebahagiaan karena berhasil mengembalikan rekan-rekan mereka yang hilang, namun dalam prosesnya mereka pun harus mengalami penderitaan kembali.

Kematian Black Widow (Natasha Romanova) dan akhirnya kematian Iron Man (Tony Stark), tampaknya merupakan konsekuensi yang tidak dapat dihindari untuk merestorasi dunia dan mengalahkan Thanos.

Adegan kematian Iron Man (Tony Stark) di Avengers: Endgame. Foto: Youtube

Demikian pula dengan kehidupan nyata, di mana penderitaan merupakan realitas yang nyata dan bagian dari kehidupan yang tidak dapat dihindari.

Dalam Kebenaran Pertama dari Empat Kebenaran Mulia, umat Buddha diajarkan mengenai realitas dari penderitaan (Pali: dukkha) seperti berikut:

Kelahiran adalah dukkha, penuaan adalah dukkha, sakit adalah dukkha, kematian adalah dukkha, berkumpul dengan apa yang tidak menyenangkan adalah dukkha; berpisah dengan apa yang menyenangkan adalah dukkha; tidak mendapatkan apa yang diinginkan adalah dukkha; singkatnya, kelima kelompok unsur kehidupan yang melekat adalah dukkha.

Dhammacakkappavattana Sutta (Saṃyutta Nikāya 56.11)

Sebagian orang sering menyalahartikan Kebenaran Pertama ini dengan menyederhanakannya dengan mengatakan bahwa kehidupan itu dukkha sehingga yang ada hanyalah penderitaan. Padahal tidak demikian, karena dalam kehidupan pasti juga ada kebahagiaan.

Namun, Buddha Dhamma menyatakan bahwa semenjak segala yang terbentuk dari perpaduan (termasuk perasaan) memiliki sifat tidak kekal (Pali: anicca) dan akhirnya berpotensi menimbulkan penderitaan, maka kebahagiaan atau kegembiraan pun sifatnya tidak kekal dan berpotensi menimbulkan penderitaan.

Dalam kehidupan nyata, kegembiraan kita sebagai penonton saat mengetahui ada kesempatan mengembalikan para Avenger yang hilang, berbalik menjadi kesedihan saat Black Widow mengorbankan dirinya untuk mendapatkan Soul Stone.

Dan kegembiraan kita muncul lagi saat para Avenger yang hilang hadir kembali setelah Profesor Hulk menggunakan Infinity Stone dan menjentikan jarinya. Namun lagi-lagi kegembiraan kita tidak bertahan lama saat Tony Stark akhirnya harus tewas setelah merebut Infinity Stone dan menjentikan jarinya untuk menghilangkan Thanos dan pasukannya.

Bukan hanya terjadi saat kita menonton sebuah film, disadari atau pun tidak, kebahagiaan muncul namun cepat atau lambat selalu disusul oleh penderitaan. Dan, jika bisa dibilang sebuah keberuntungan, suatu penderitaan pun bersifat tidak abadi dan cepat atau lambat ia bisa lenyap.

Itulah apa yang selalu kita alami di dalam kehidupan di dunia ini. Inilah realitas penderitaan atau dukkha.

Dengan mengetahui apa itu penderitaan dan menerimanya sebagai realitas kehidupan, maka kita telah mengambil satu langkah lebih dekat dari akhir dari penderitaan.

Bagaimana seseorang dapat memetik sekuntum lotus jika ia tidak tahu ciri lotus itu seperti apa? Bagaimana seseorang dapat mengakhiri penderitaan jika ia tidak tahu ciri penderitaan itu seperti apa?

Sri Buddha saat pertama kali membabarkan Dhamma, mengajarkan untuk memahami apa itu penderitaan, apa saja yang termasuk di dalamnya dan apa ciri-cirinya sebagai awal untuk mengakhiri penderitaan secara total. Ia tidak mengajarkan untuk menghindari penderitaan yang sudah terjadi tetapi mengajarkan untuk memahami, menghadapi dan menaklukkannya.

Bersambung

Artikel ini merupakan bagian pertama dalam rangka menyambut Hari Suci Asalha 2563 EB/2019. [Bhagavant, 23/6/19, Sum]

Rekomendasikan:

Kategori: Indonesia,Seni dan Budaya
Kata kunci:
Penulis: