Terkait Persekusi Terhadap Bhikkhu, KASI Kecam Aksi Intoleran

Bhagavant.com,
Jakarta, Indonesia – Peristiwa persekusi terhadap bhikkhu dan sejumlah pemuka agama lainnya yang terjadi balakangan ini membuat Konferensi Agung Sangha Indonesia (KASI) memberikan pernyataan sikapnya.

Konferensi Agung Sangha Indonesia
Konferensi Agung Sangha Indonesia

KASI, organisasi dewan para bhikkhu/bhiksu Indonesia lintas tradisi ini menyoroti peristiwa persekusi terhadap Bhikkhu Adhikakaro (Mulyanto Nurhalim) oleh sekelompok orang di Desa Babat, Kecamatan Legok, Kabupaten Tangerang, Banten, pada Minggu (4/2/2018).

Dalam pernyataan sikapnya, KASI mengatakan aksi intoleransi tersebut dilandasi oleh kesalahpahaman yang terkait dengan penolakan penggunaan simbol-simbol keagamaan (baik di ranah pribadi maupun publik).

KASI menyatakan, rasa takut terhadap simbol-simbol agama lain yang dianggap sebagai aksi syiar atau misionarisasi untuk mengajak orang lain berpindah agama, adalah suatu bentuk nalar yang salah.

KASI juga menyayangkan kasus pengusiran bhikkhu di Legok tersebut bisa terjadi.

“Kasus di Legok sebenarnya tidak perlu terjadi kalau kita punya pemahaman yang tepat dalam menyikapi keberagaman kehidupan beragama di Indonesia,” isi pernyataan sikap yang ditandatangani oleh Sekretaris Jenderal KASI, Y.M Bhiksu Bhadraruci, pada Selasa pekan lalu (13/2/2018).

Pengusiran Bhikkhu Adhikakaro oleh sekelompok warga karena menggunakan simbol agama Buddha di kediamannya, dipertanyakan oleh KASI.

“Apakah seorang warga negara yang sah di Indonesia tidak dijamin haknya untuk beribadah di rumah pribadinya menurut cara-cara yang diyakininya? Umat Buddhis jamaknya berdoa dengan memakai perantara patung Buddha, sebagai caranya untuk mendekatkan diri dengan Yang Maha Esa,” kata KASI.

“Umat Buddhis berdoa dengan memakai perantara patung Buddha, sebagai cara untuk mendekatkan diri dengan Yang Maha Kuasa. Kata ‘perantara’ itu bermakna fungsi patung Buddha adalah semata-mata menjadi cara umat Buddhis menjalin komunikasi dengan Yang Maha Esa. Patungnya itu sendiri bukanlah Tuhan yang diberhalakan,” jelas KASI.

“Dengan demikian, melihat patung Buddha di rumah seorang Buddhis tidak ada bedanya dengan melihat kayu salib di rumah seorang Kristen atau kaligrafi lafadz Allah di rumah seorang Muslim,” lanjut pernyataan tersebut.

KASI juga mempertanyakan jika setiap simbol keagamaan dari kelompok lain lantas diasosiasikan sebagai aksi syiar agama, maka akan seperti apa nasib Bhikkhu Adhikakaro (Mulyanto Nurhalim) yang dengan statusnya sebagai bhikkhu diwajibkan untuk senantiasa memakai jubah ke mana-mana?

Jika dibiarkan, tidak tertutup kemungkinan bahwa kelak di masa depan seorang individu dapat dituduh mengajak orang lain pindah agama hanya karena busana yang dikenakannya, jelas KASI.

Terdapat delapan poin dalam penyataan yang disampaikan KASI di antaranya KASI menyerukan bahwa hak beribadah adalah hak dasar yang dijamin oleh konstitusi, UUD 1945, dan deklarasi HAM PBB yang telah disepakati.

Selain itu, KASI juga menyerukan bahwa tidak ada satu orang atau kelompok pun yang berhak mengatur atau mendominasi orang atau kelompok lainnya di dalam menjalankan keyakinan dan kepercayaan yang dianut.

KASI juga mengecam keras upaya pelemahan tegaknya hak asasi manusia untuk beribadah, serta mengecam kekerasan terhadap tokoh pemuka agama yang belakangan terjadi.

KASI mengajak segenap bangsa Indonesia, khususnya umat Buddhis di Indonesia, untuk tetap tenang dan bersikap bijak dalam menyikapi provokasi yang dimunculkan oleh oknum-oknum pemecah-belah bangsa.

Pernyataan KASI terkait persekusi terhadap bhikkhu tersebut diakhiri dengan mengutip ayat 5 Dhammapada, “Kebencian tidak akan pernah berakhir apabila dibalas dengan kebencian; kebencian hanya akan berakhir apabila dibalas dengan cinta kasih.”[Bhagavant, 21/2/18, Sum]

Rekomendasikan:

Kategori: Indonesia,Sosial
Kata kunci: ,
Penulis: