Festival Bulan, Jelang Kathina dan Kisah Kelinci yang Bijak

Bhagavant.com,
Jakarta, Indonesia – Masa vassa (retret musim hujan) bagi para bhikkhu akan berakhir dan disusul dengan perayaan Kathina. Tahun ini awal Kathina 2561 EB yang jatuh pada 6 Oktober 2017 di dahului oleh perayaan Festival Bulan masyarakat Tionghoa pada 4 Oktober 2017.

Ilustrasi kisah kelinci yang bijak. Festival Bulan, Jelang Kathina dan Kisah Kelinci yang Bijak
Ilustrasi kisah kelinci yang bijak. Gbr: pathgate

Meskipun awal perayaan Kathina dan Festival Bulan sama-sama tiba saat munculnya Bulan Purnama, namun keduanya memiliki maksud dan tujuan yang berbeda.

Festival Bulan atau Festival Pertengahan Musim Gugur (Zhongqiu Jie; Hokkien: Tiong ciu) dirayakan pada tanggal 15 bulan ke-8 penanggalan Tionghoa. Berdasarkan tradisi Tionghoa, festival ini berawal dari perayaan panen di pertengahan musim gugur. Seperti namanya festival ini tidak lepas dari Bulan dan penghormatan kepada Chang’e, Dewi Bulan kepercayaan rakyat Tiongkok.

Sedangkan awal perayaan Kathina adalah masa awal perayaan dari berakhirnya retret musim hujan (vassa) para bhikkhu selama tiga bulan sebelumnya. Perayaan Kathina sendiri berlangsung selama sebulan penuh. Pada masa ini umat Buddhis memiliki kesempatan berdana kepada Sangha (komunitas para bhikkhu) yang telah melatih diri selama vassa.[Baca: 5 Hal Tentang Kathina yang Mungkin Belum Anda Ketahui]

Terkait kehadiran Bulan Purnama pada kedua perayaan tersebut, terselip kisah Buddhis yang dapat memberikan teladan dalam melakukan perbuatan baik.

Kisah Buddhis yang termuat dalam Kitab Jātaka No. 316 yang berjudul Sasa Jataka (Sasa Paṇḍita Jātaka – Kisah Kelahiran Kelinci yang Bijak), menceritakan kisah lampau tentang seekor kelinci, kera, serigala, dan berang-berang yang bersahabat memutuskan untuk mempraktikkan kebajikan di saat Hari Uposatha (hari memurnikan diri atau puasa) dengan memberi makan orang yang datang kepada mereka.

Saat ketiga sahabatnya dapat memberikan makanan kepada seorang petapa yang kelaparan yang tidak lain adalah Dewa Sakka (Skt: Sakra) yang sedang menyamar, sang kelinci yang tidak memiliki apa pun memutuskan mengorbankan dirinya untuk dimakan oleh sang petapa dengan masuk ke dalam api.

Namun, api yang telah disiapkan oleh petapa itu tidak dapat membakar sang kelinci. Setelah mengungkap siapa sebenarnya dirinya, Dewa Sakka memuji kebajikan sang kelinci. Dan untuk mengenang kebajikan sang kelinci, Dewa Sakka meremas sebuah gunung dan mengambil sarinya untuk membuat gambar seekor kelinci di bagian tengah Bulan.[Baca: Supermoon dan Legenda Buddhis Gambar Kelinci di Bulan]

Kisah Jataka kelinci bijak dalam panel relief Candi Borobudur. Foto: tripadvisor.ie
Kisah Jataka kelinci bijak dalam panel relief Candi Borobudur. Foto: tripadvisor.ie

Kelinci tersebut tidak lain merupakan kelahiran lampu dari Bodhisatta sebelum Ia mencapai Pencerahan dan menjadi Buddha Gotama.

Kisah tersebut nampaknya menjadi populer dan beradaptasi dalam cerita-cerita rakyat di berbagai negara Asia. Salah satunya terdapat dalam cerita Kelinci Giok yang menemani Dewi Bulan Chang’e yang ada dalam kepercayaan masyarakat Tiongkok.

Dalam salah satu versi kisah Kelinci Giok, kelinci, kera dan rubah diuji oleh Kaisar Giok (Yu Huang Da Di, Hokkien: Giok Hong), penguasa langit yang sedang mencari peracik pil obat keabadian. Dengan menyamar sebagai orang tua yang kelaparan, Kaisar Giok menguji ketiga hewan tersebut. Kera dan rubah mendapatkan makanan dari hutan untuk diberikan kepada orang tua tersebut. Sedangkan kelinci yang tidak menemukan makanan apa pun akhirnya menerjunkan diri ke dalam api agar dirinya dapat dimakan oleh orang tua tersebut.

Tergugah dengan pengorbanan sang kelinci, Kaisar Giok membawanya ke surga dan menjadikannya peracik pil obat keabadian. Karena kemahirannya dalam meracik, Kaisar Giok menganugerahkannya cahaya giok putih (白玉 -Báiyù) pada tubuhnya, yang menjadikan namanya sebagai Kelinci Giok. Dan dalam kisah selanjutnya ia pergi ke Bulan untuk menjadi pendamping bagi Dewi Bulan Chang’e.

Dari dua versi kisah kelinci yang bijak tersebut membawa pesan moral mengenai tekad dan pengorbanan dalam melakukan kebajikan terutama berdana.

Setidaknya saat Bulan Purnama muncul atau perayaan Festival Bulan tiba, umat Buddhis tidak hanya menatap Rembulan sambil menikmati kue bulan, tapi juga mempraktikkan kebajikan berdana. Dan kesempatan terbaik untuk berdana akan segera tiba saat perayaan Kathina.[Bhagavant, 4/10/17, Sum]

Rekomendasikan:

Kategori: Asia Oseania,Seni dan Budaya,Seremonial
Kata kunci:
Penulis: