Serangan Teroris “Rohingya”, Ribuan Warga Rakhine Mengungsi ke Vihara dan Sekolah

Bhagavant.com,
Rakhine, Myanmar – Sepekan serangan teroris “Rohingya” terbaru di Negara Bagian Rakhine, Myanmar (Birma), membuat ribuan warga dari sejumlah etnis mengungsi termasuk ke vihara-vihara dan sekolah.

Warga Rakhine mengungsi di vihara di Sittwe setelah terjadi serangan teroris Rohingya di Maungdaw, Jumat (25/8/2017).
Warga Rakhine mengungsi di vihara di Sittwe setelah terjadi serangan teroris Rohingya di Maungdaw, Jumat (25/8/2017). Foto: Eleven Myanmar

Seperti dalam penyataan Komite Anti-Terorisme Myanmar, kelompok yang mengklaim diri sebagai Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) menyerang 30 pos penjaga di Kotapraja Maungdaw pada Jumat pekan lalu (25/8/2017).

Serangan itu menewaskan 10 polisi, 1 tentara, dan 1 pihak imigrasi serta melukai 9 petugas keamanan dan sejumlah warga sipil. Hingga kini keadaan masih tidak aman di sejumlah daerah membuat ribuan warga di Rakhine khususnya di desa-desa kotapraja mengungsi. Informasi terakhir korban berjumlah 100 orang dari pihak keamanan, warga sipil dan teroris.

Hingga kini sekitar lebih dari 600 orang pengungsi dari Kotapraja Maungdaw berlindung di Kotapraja Sittwe di Negara Bagian Rakhine, menurut sejumlah organisasi sosial.

Sebagian besar pengungsi berasal dari desa-desa kotapraja di selatan Maungdaw. Mereka berlindung di vihara-vihara di Kota Sittwe, Rakhine.

May Thet Soe, seorang warga desa Khayaymyaing mengatakan mereka khawatir akan adanya serangan dari warga etnis Benggala / Bengali (mengacu pada mereka yang mengklaim diri sebagai Rohingya).

“Kami mengungsi ke Sittwe karena kami tidak berani lagi tinggal di sana. Teroris dari desa-desa Benggala terdekat telah mengancam untuk menyerang kami setiap hari,” kata May Thet Soe seperti yang dilansir Eleven Myanmar, Rabu (30/8/2017)

“Kami khawatir keamanan kami karena desa kami memiliki jumlah anggota polisi yang lebih sedikit. Kami mengungsikan diri ke Sittwe karena kami akan lebih aman di sini,” jelas May.

Sekitar 200 korban berlindung di Vihara Dhamayarma, sekitar 200 di Vihara Mahazeyathedi dan lainnya di rumah kerabat mereka di Kota Sittwe. Sementara sejumlah warga juga mengungsi di Vihara Shwekyin di Buthidaung, masih di Rakhine. Mayoritas warga pengungsi adalah wanita dan anak-anak.

“Sebagian besar berasal dari daerah Maungdaw dan juga dari kotanya. Daftar yang diambil pagi ini di Sekolah Dhammayarma, berjumlah sekitar 220 orang. Saya dengar ada lebih banyak lagi yang tiba sehingga sekarang lebih dari 300 orang,” kata Aung Naing Lin, ketua relawan pelayanan pemakaman Sittwe.

“Kami telah mengumpulkan sumbangan untuk menutupi setidaknya untuk konsumsi makanan mereka. Tapi kami tidak yakin untuk jangka panjang. Ada banyak orang yang mengungsi ke Sittwe. Ada lebih banyak warga di sekolah dan vihara lain. Saya dengar yang dekat kuburan itu menampung sekitar 100 orang, sementara Sekolah Adihtar menampung lebih 200 orang,” kata Naing Lin.

Seorang anggota staf Palang Merah yang bekerja di Sittwe mengatakan, “Jumlah total pengungsi yang datang sekarang jumlahnya ribuan. Tapi ada yang datang ke sini dan tidak berencana untuk tinggal di sini karena mereka memiliki saudara di tempat-tempat seperti Kyauktaw, Mrauk-U, Minbya, Ponnar dll. Banyak upaya dilakukan untuk menyiapkan tempat-tempat baru di Sittwe untuk mengakomodasi para pengungsi.”

Serangan teroris “Rohingya” telah membuat ribuan warga di Rakhine mengungsi, bukan saja warga etnis Rakhine saja, tetap juga warga etnis lainnya termasuk mereka yang mengklaim diri sebagai Rohingya.

Serangan teroris di Rakhine adalah untuk kedua kalinya setelah serangan di perbatasan Myanmar dan Bangladesh di Kota Maungdaw dan Rathedaung, 9 Oktober 2016.

Yang harus dipahami

Negara Bagian Rakhine menjadi perhatian internasional sejak tahun 2012 setelah terjadi konflik antar etnis, antara etnis Rakhine dengan etnis Benggala yang mengklaim diri sebagai etnis Rohingya.

Etnis Rohingya tidak terdapat dalam daftar resmi kelompok etnis di Myanmar. Tetapi Pemerintah Myanmar secara resmi telah menetapkan kata “Benggala” untuk mereka dan untuk memeriksa hak-hak warga negara, sehingga mereka yang menyebut diri mereka sebagai etnis Benggala perlu diperiksa terlebih dulu. Faktanya, mereka yang mengklaim sebagai Rohingya memang masuk dalam etnis ras Benggala.

Jika mereka ingin menjadi warga negara Myanmar, mereka harus membiarkan diri mereka disebut sebagai orang Benggala. Jika menggunakan istilah Rohingya, mereka akan ditinggalkan. Semua yang ingin menjadi warga Myanmar akan diputuskan oleh Undang-Undang Kewarganegaraan Myanmar tahun 1982.

Sayangnya banyak dari mereka yang mengklaim diri sebagai etnis Rohingya tidak mengakui dan tidak mau disebut sebagai Benggala, sehingga mereka tidak bisa dimasukan sebagai warga negara dan mendapatkan fasilitas layaknya warganegara.

Bangladesh, negara yang mayoritas penduduknya etnis Benggala dan juga merupakan wilayah asli etnis Benggala juga menolak keberadaan Rohingya, sehingga hingga kini mereka yang mengklaim diri sebagai Rohingya menjadi tanpa kewarganegaraan.

Hingga sekarang masyarkat dan media Myanmar menggunakan kata “Benggala” untuk merujuk pada mereka yang mengklaim sebagai Rohingya.

Konflik etnis ini menjadi pelik dengan banyaknya informasi yang bias dan tidak berimbang yang dilakukan oleh media-media utama, hoax-hoax yang beredar, serta kepentingan politik asing. Pemulihan keadaan yang sedang dilaksanakan oleh Pemerintah Myanmar kini menjadi terganggu dengan adanya aksi teroris ini.[Bhagavant, 1/9/17, Sum]

Rekomendasikan:

Kategori: Asia Tenggara,Birma,Sosial
Kata kunci:
Penulis: