Peneliti Berusaha Petakan Aktivitas Otak Para Bhiksu Saat Debat
Bhagavant.com,
Tibet, Tiongkok – Sekelompok peneliti asal Amerika Serikat berusaha memetakan aktivitas otak para bhiksu Tibet saat mereka melakukan kegiatan debat.

Para peneliti dari Science for Monks, sebuah lembaga sains yang berbasis di AS, dan dari Universitas Negeri Kent, Ohio, melakukan pengamatan saksama terhadap para bhiksu yang sedang melakukan debat serius mengenai perhatian penuh di laboratorium kecil kampus Universitas Keviharaan Sera Jey di Tibet.
Tampak di laboratorium tersebut dua orang bhiksu sedang melakukan debat. Pekikan keduanya bergema di ruangan kecil itu. Saat suara mereka bertabrakan, mereka menepuk telapak tangan mereka dan mengentakkan kaki pada lantai.
“Kami di sini untuk memetakan aktivitas otak para bhiksu saat mereka berdebat. Kami ingin memahami apa yang terjadi di otak mereka dan saat neuron melakukan sinkronisasi,” kata Bryce Johnson, Presiden dan CEO Science for Monks, seperti yang dilansir Times of India, Senin (14/8/2017).
Bagi para bhiksu Tibet, berdebat bukan sekadar latihan akademis. Ini adalah sebuah cara memahami sifat alami realitas dan mendapatkan pengetahuan, melalui analisis cermat terhadap fenomena dunia nyata yang biasa.
“Tujuan pentingnya adalah menerapkan pengetahuan pada situasi praktis. Yang Mulia Dalai Lama sering menekankan bahwa pembelajaran belaka tidak bermanfaat seperti penerapan pengetahuan secara praktis,” kata Y.M. Geshe Ngawang Norbu, kepala Sentra Sains Sera Jay.
Dilengkapi dengan tutup kepala elektroda putih yang menangkap aktivitas otak, penantang (berdiri) dan pembela (duduk) berdebat mengenai topik seputar kekosongan hingga kosmologi sementara komputer mencatat pembacaan EEG (elektroensefalografi). EEG membantu mempelajari aktivitas otak dengan mendokumentasikan aktivitas berulang dari neuron, yang disebut osilasi saraf.
“Para bhiksu melihat hal ini sebagai penguatan Agama Buddha. Ini merupakan bagian dari tradisi Nalanda kuno … Data kami menunjukkan bahwa saat debat berlangsung, tingkat konsentrasi mereka meningkat,” kata Johnson.
Sembilan bhiksu dipilih untuk kegiatan pemetaan selama 15 hari pelaksanaan yang berakhir pada 12 Agustus 2017. Biasanya, penantang mengajukan pertanyaan dan pembela menjawabnya. Begitu penantang menyelesaikan pertanyaannya, ia secara dramatis menepuk telapak tangan – memberi tanda tangan pada kedatangan belas kasih (tangan kanan) dan kebijaksanaan (tangan kiri) secara bersamaan – dan mengentakkan kaki kirinya. Penantang kemudian memegang lengan kirinya dan menggunakan tangan kanannya untuk menaikkan mala (tasbih) nya yang melingkar di tangan kirinya.
“EEG menangkap momen di otak para bhiksu saat mereka terlibat dalam perdebatan. Kapan terjadi sinkronisasi neuron? Apa kualitas perhatian selama perdebatan tersebut? Jika ada sinkronisasi antara dua bhiksu, kapan itu terjadi? Inilah yang kita cari tahu,” kata David M Fresco, profesor ilmu psikologis di Universitas Negeri Kent, Ohio.
Penerapan ini juga bertujuan untuk memahami perbedaan aktivitas otak para bhiksu senior dan junior. Para peneliti akan segera menyusun pembacaan EEG untuk memahami fenomena perdebatan tersebut.
Tahun 2004, para periset dari Universitas Wisconsin mempelajari para bhiksu Tibet dalam keadaan meditasi dan menemukan tingkat gelombang gamma (diketahui sebagai frekuensi tertinggi) dari aktivitas ekektrik di neuron. Tingkat ini terlihat pada beberapa bhiksu bahkan ketika mereka tidak bermeditasi, ini menunjukkan bahwa meditasi bertahun-tahun telah menyebabkan neuroplastisitas – kemampuan otak untuk mengubah struktur dan fungsinya setelah pengalaman baru.
Studi selanjutnya menunjukkan bahwa aliran darah ke otak lebih tinggi di antara para meditator jangka panjang sementara mereka juga memiliki materi abu-abu lebih besar di beberapa wilayah yang terkait dengan regulasi pikiran.
“Tujuan jangka panjangnya adalah untuk membuat Sains Buddhis, sains pikiran dari tradisi Nalanda kuno, yang dapat diakses untuk kemanusiaan yang lebih besar dengan menggunakan sains modern sebagai media. Utamanya untuk mempromosikan nilai dan belas kasih manusia secara sekuler,” Kata Y.M. Geshe Ngawang Norbu.
Dalai Lama menyimpulkannya, dengan mengatakan, “Saat sains telah mengembangkan pemahaman yang dalam dan sangat kompleks dari dunia material, tradisi Buddhis telah mengembangkan pemahaman mendalam tentang dunia batin dari pikiran, emosi dan cara untuk mengubahnya.” Dan di titik temu dalam penelitian tentang aktivitas otak tersebut, adalaj untuk memahami Agama Buddha melalui sudut pandang sains.
Para peneliti tersebut mengatakan bahwa penelitian tersebut menunjukkan bahwa para bhiksu ingin berada di abad ke-21 dan tidak ingin tetap menjadi bhikkhu yang hanya bermeditasi. “Ini akhirnya membuat hubungan antara tradisi dan dunia modern,” kata salah satu dari mereka.
Science for Monks sendiri merupakan lembaga sains atau ilmu pengetahuan yang didirikan pada 2001. Program-programnya berdasarkan inspirasi dari ketertarikan Dalai lama Ke-14 terhadap sains.[Bhagavant, 22/8/17, Sum]
Kategori: India,Psikologi,Sains
Kata kunci: neurosains, Tibet
Penulis: