Arkeolog: Gajah Mada Dipercaya Beragama Buddha
Bhagavant.com,
Jakarta, Indonesia – Arkeolog mengatakan bahwa Kerajaan Majapahit merupakan kerajaan bercorak Hindu-Buddha, dan Mahapatihnya yang terkenal, Gajah Mada dipercaya beragama Buddha.
Belakangan muncul perbincangan di media sosial mengenai sejarah tentang landasan agama yang dianut oleh Kerajaan Majapahit hingga nama asli Gajah Mada dan agamanya.
Segelintir orang mengklaim bahwa Kerajaan Majapahit adalah kerajaan Islam dan Mahapatih Gajah Mada beragama Islam dengan nama Gaj Ahmada.
Terkait hal itu, dalam diskusi di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada Kamis (22/6/2017), para arkeolog menepis klaim tersebut dan menjelaskan bahwa jika tak memahami sejarah dan arkeologi, sangat memungkinkan bagi masyarakat memiliki kesimpulan yang salah tentang Majapahit.
Hasan Djafar, seorang arkeolog dari Universitas Indonesia, mengatakan artefak berbau Islam dari masa Majapahit memang banyak ditemukan.
Meski ada artefak berbau Islam, para arkeolog tetap berkeyakinan bahwa kerajaan Islam pertama di Nusantara adalah Samudera Pasai, bukan Majapahit. Koin dengan tulisan Arab, nisan dengan kalimat syahadat tidak cukup menjadi bukti keislaman kerajaan yang berpusat di Trowulan itu.
“Majapahit tetap bercorak Hindu-Buddha, tercermin dalam peraturan perundang-undangan dan sistem teologinya. Saya tidak melihat benih-benih Islam sedikit pun,” tegas Djafar seperti yang dilansir Kompas.com edisi Kamis (22/6/2017).
Sementara, Agus Aris Munandar, seorang arkeolog dan penulis buku “Catuspatha: Arkeologi Majapahit”, mengungkapkan keyakinan bahwa Majapahit merupakan kerajaan Hindu-Buddha didasarkan pada sumber-sumber arkeologi yang sebenarnya punya peringkat tersendiri.
“Sumber peringkat pertama atau yang paling bisa dipercaya adalah prasasti yang sezaman. Lalu prasasti yang terkait dengan prasasti sezaman itu,” kata Agus.
Sumber pada peringkat berikutnya adalah data arkeologis berupa monumen, fitur, dan artefak bergerak. Karya sastra yang sezaman dan yang lebih muda berada pada peringkat yang lebih rendah. Hal lain yang bisa jadi sumber arkeologi adalah berita asing, legenda, mitos, dongeng, dan pendapat para ahli.
“Kalau ada artefak koin dengan tulisan Arab, itu tidak bisa langsung menghapus kekuatan sumber prasasti lalu dijadikan dasar mengatakan Majapahit kerajaan Islam,” ungkapnya.
Agus menjelaskan lebih lanjut identitas agama Gajah Mada dan Majapahit bisa dilihat dari prasasti dan hingga sistem pemerintahan seperti gelar raja.
“Raden Wijaya bergelar Krtarajasa Djayawarddhana Anantawikramotunggadewa. Djayawardhana itu sudah jelas Hindu karena artinya keturunan Dewa Wisnu yang bertahta,” jelas Agus.
“Nama pejabat tinggi dalam Majapahit juga menunjukkan corak Hindu dan Buddha. Misalnya, ada Dharmmadyaksa ring Kasaiwan dan Dharmmadyaksa ring Kasogatan. Kasogataan artinya Kebuddhaan. Tidak ada Dharmmadyaksa ring Muslimah atau lainnya,” kata Agus.
Dalam Prasasti Waringin Pitu (1447) istilah Dharmmadyaksa ring Kasogatan disebut sebagai salah satu dari dua jabatan pengurus agama di Majapahit.
Istilah kasogatan sendiri berasal dari kata dalam bahasa Sankserta yaitu saugata yang berarti Buddhis atau Buddhistik (berkenaan dengan Agama Buddha). Istilah ini berhubungan dengan kata sugata yang berarti “Yang Pergi Bahagia”, sebuah sebutan atau gelar untuk Sri Buddha.
Bukti lain bahwa Majapahit bercorak Hindu-Buddha ialah penataan kota Majapahit yang memperhatikan letak gunung yang dipercaya sebagai tempat suci dan corak prasasti.
Agama Gajah Mada sendiri dipercaya bergama Buddha. Hal ini dibuktikan dalam kitab Kakawin Nagarakretagama pada pupuh 19 yang menyebut bahwa Gajah Mada dianugerahi dukuh kasogatan atau dusun Buddhis yang bernama Madakaripura. Lokasi tanah itu berada di selatan Pasuruan.
Selain Kakawin Nagarakretagama, terdapat Prasasti Singhasari (1351) yang berisi mengenai pembangunaan caitya oleh Gajah Mada.
Gajah Mada yang disebut dengan nama Sang Rakryan Mapatih Mpu Mada membangun sebuah caitya pada bulan Waisaka (Waisak).
Caitya (cetiya) sendiri yang berasal dari bahasa Sanskerta berarti “pengingat” atau “pengenang” merupakan bangunan yang biasanya didirikan oleh umat Buddha untuk mengenang mendiang tokoh-tokoh penting yang dihormati.[Bhagavant, 24/6/17, Sum]
Kategori: Arkeologi,Seni dan Budaya
Kata kunci: perkembangan Buddhisme
Penulis: