Menelaah Nilai Luhur Buddhis di Garuda Pancasila NKRI
Bhagavant.com,
Jakarta, Indonesia – Berbicara mengenai Garuda Pancasila sebagai lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), tidak dapat dilepaskan dari semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Namun ada kisah dan nilai-nilai luhur yang sering luput dari pandangan banyak orang mengenainya.
Tidak jarang yang tidak tahu bahwa semboyan Bhinneka Tunggal Ika pada Burung Garuda Pancasila merupakan penggalan kalimat yang diambil dari kitab Kakawin Sutasoma yang bernafaskan Agama Buddha karya seorang Buddhis bernama Mpu Tantular yang hidup pada masa kerajaan Majapahit di abad ke-14.
Penggalan kalimat Bhinneka Tunggal Ika (bhinneka: beraneka + tunggal: utuh/satu + ika: itu), yang berarti beraneka/berbeda itu adalah satu, terdapat dalam pupuh 139, bait 5 dari Kakawin Sutasoma yang lengkapnya berbunyi: “Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa” yang berarti beraneka itu adalah satu juga, tidak ada dualitas dalam dharma (kebenaran).
Kalimat tersebut merupakan kesimpulan dari pandangan pribadi Mpu Tantular yang menilai adanya kebenaran dalam ajaran Buddha dan Shiva (Hindu) yang para pemeluknya hidup berdampingan pada masa itu.
Kemudian penggalan kalimat itu dijadikan semboyan bagi kehidupan yang bertoleransi yang tertera pada pita yang dicengkram oleh Burung Garuda sebagai lambang NKRI.
Masuk lebih dalam, ada makna yang luhur lainnya dari Bhinneka Tunggal Ika terkait sikap toleran (sikap peduli terhadap kebutuhan orang lain dan menimbang perasaan orang lain). Dan itu tertuang dalam kisah Sutasoma.
Kakawin Sutasoma merupakan gubahan kisah oleh Mpu Tantular yang diambil dari bagian kitab suci Agama Buddha yaitu kitab Jataka (kisah kelahiran). Hal ini diakui sendiri olehnya dalam kitab tersebut pada pupuh ke-148, yang menyatakan: “Nâhan tântyanikang kathâtiçaya Boddhacarita ng iniket” – Demikianlah akhir dari cerita indah yang digubah dari kisah Sri Buddha.
Kisah Jataka yang diambil tepatnya berasal dari kisah yang berjudul Mahā-Sutasoma Jātaka yang terdapat dalam kitab komentar dari salah satu syair dalam kitab suci Agama Buddha. Saat ini kisah tersebut masih dapat dibaca lengkap dalam Kisah Jātaka No.537 yang bersumber di Tipitaka Kanon Pali, di bagian Suttapiṭaka di dalam Khuddaka Nikaya.
Dalam Jataka, kisah Sutasoma sendiri dikisahkan oleh Sri Buddha di Hutan Jeta setelah beberapa waktu Ia menundukkan dan mengalihkan keyakinan Angulimala, seorang penyamun kejam, tanpa menggunakan kekerasan, tetapi dengan cinta kasih dan kebijaksanaan.
Meskipun ada perbedaan, namun secara singkat dan garis besar, baik Kakawin dan Jataka mengisahkan tentang Pangeran Sutasoma yang kemudian menjadi Raja Sutasoma, dengan tanpa kekerasan menyadarkan seorang raja penggemar makan daging yang menjadi seorang pejahat kanibal yang menculik 100 orang raja untuk dimakan. Selain menyadarkan raja kanibal tersebut, Sutasoma juga berhasil melepaskan 100 raja tersebut juga tanpa melalui kekerasan.
Sikap peduli Sutasoma terhadap penderitaan orang lain dan menimbang perasaan orang lain terpapar jelas dalam kisah tersebut.
Di akhir kisah, diungkapkan bahwa Raja Sutasoma tidak lain adalah Sri Buddha sendiri dalam kehidupan yang lampau, dan raja kanibal adalah kelahiran sebelumnya dari Angulimala.
Cinta kasih dan kebijaksanaan menjadi inti ajaran luhur yang ada di balik kisah Sutasoma. Menimbang perasaan orang lain (toleransi) tidak akan ada jika tidak ada cinta kasih dalam diri seseorang. Dan nilai-nilai luhur ini berlaku secara universal, untuk siapa saja, terlepas dari suku, ras dan agama.
Bangsa Indonesia sudah selayaknya bersyukur, mempraktikkan, mempertahankan nilai-nilai luhur yang diturunkan dari pemikiran bijak nenek moyang bangsa yang bersifat universal yang ada pada Garuda Pancasila, bukan justru berusaha menggantinya dengan ideologi sempit dari dan untuk satu kelompok semata.[Bhagavant, 1/6/17, Sum]
Kategori: Asia Tenggara,Indonesia
Kata kunci: Garuda Pancasila
Penulis: