Debut Rupaka Buddha Kuno 1.000 Tahun dari Mes Aynak di Museum Kabul

Bhagavant.com,
Kabul, Afghanistan – Sebuah rupaka Buddha kuno berusia lebih seribu tahun dan dalam keadaan hampir utuh, untuk pertama kalinya diperlihatkan di Museum Kabul, Afghanistan.

Rupaka Buddha dari Mes Aynak dari abad ke-3 atau ke-5 dengan pengaruh gaya Yunani.
Rupaka Buddha dari Mes Aynak dari abad ke-3 atau ke-5 dengan pengaruh gaya Yunani. Foto: tangkapan layar Youtube AFP

Setelah mengalami berbagai terpaan dari waktu, kondisi alam, penjarahan, dan perang, sebuah rupaka Buddha dalam kondisi menakjubkan telah diperbaiki dan dipindahkan dari daerah paling berbahaya di Afghanistan, diperlihatkan untu pertama kalinya di museum nasional di negara itu.

Menurut para arkeolog yang menemukannya, rupaka yang menggambarkan Sri Buddha berjubah cokelat kemerahan dengan tangan seperti memegang pata (mangkuk) tersebut, telah terpendam di bawah lapisan tanah dan lumpur sejak antara abad ketiga dan kelima.

Rupaka yang ditemukan dalam kondisi terawat sangat baik dengan warna-warna yang masih cerah tersebut ditemukan pada 2012 di situs Mes Aynak sekitar 40 kilometer sebelah tenggara dari Kabul, di Provinsi Logar yang sekarang dipenuhi Taliban.

Penemuannya ini menjadi mungkin setelah sebuah konsorsium asal Tiongkok mulai menggali sebuah tambang tembaga masif yang menemukan sebuah kompleks vihara kuno yang membentang di atas area seluas empat kilometer persegi.

“Rupaka itu hampir utuh saat ditemukan, dengan ada kepalanya, yang jarang terjadi, “kata Ermano Carbonara, seorang pakar restorasi asal Italia, seperti yang kutip dan dilansir AFP, Jumat (17/3/2017).

“Rupaka itu ditempatkan di tengah sebuah ceruk yang didekorasi dengan bunga-bunga yang dicat, di tengah pusat sebuah area yang digunakan untuk puja bakti.”

“Lebih baik untuk memindahkannya dari situs tersebut untuk melindunginya,” kata Ermano menambahkan.

Tanah liat yang dipergunakan pada rupaka tersebut berasal dari sungai Mes Aynak dan sangat sensitif dengan kelembaban.

“Hujan malam bisa menghancurkannya,” kata Ermano, yang menjelaskan rincian wajah, rambut hitam ikal Sri Buddha, pipi merah muda dan mata biru menunjukkan sebuah “teknik yang benar-benar canggih” dari keperajinan.

Rupaka tanpa kepala

Nafsu untuk menjarah di negara yang telah didera oleh kekacauan selama empat dekade terakhir menyisakan sedikit pilihan bagi Ermano, yaitu kepala rupaka Buddha, yang merupakan bagian paling berharga di pasar gelap, sudah sering berjatuhan – baik karena ketidaksengajaan terusak oleh alat gali ekskavator, atau upaya aal dari penjarahan.

“Kami menemukan banyak rupaka tanpa kepala. Jika kita meninggalkannya, kepalanya tidak akan berlangsung lama,” kata Julio Bendezu, direktur Delegasi Arkeologi pemerintah Perancis di Afghanistan (DAFA).

Setelah berada di Kabul, tim pekerja dari Italia, Perancis dan Afghanistan telah melekatkan kembali kepalanya dan menempatkan kembali rupaka Buddha itu ke ceruk, bersama dengan salah satu dari dua karakter yang menyertainya, yang tampaknya sebagai bhikkhu atau penyokong. Karakter kedua telah ada di museum dan juga akan dikembalikan ke tempat asalnya.

“Seringkali, mereka yang membiayai pembangunan rupaka dan tempatnya, menginginkan diri mereka terwakilkan di sisi rupaka itu,” jelas Bendezu.

Restorasi yang juga memungkinkan para ahli untuk mempelajari struktur dalam patung yang terdiri dari jerami dan kayu tersebut, mengungkapkan pengaruh Yunani yang dibawa oleh Alexander Agung ketika pasukannya menduduki wilayah tersebut sekitar 330 SM.

Rupaka Buddha tersebut meninggalkan bengkel DAFA awal pekan ini di bawah pengawalan militer dan dibawa ke Museum National Afghanistan dalam persiapan untuk diperlihatkan kepada publik.

Sebuah ruangan yang luas telah disiapkan untuk hasil penggalian dan harta dari Mes Aynak, yang merupakan saksi masa lalu masa pra-Islam di Afghanistan.

Antara Mei 2010 dan Juli 2011 para arkeolog menggali sekitar 400 benda; lebih banyak dari apa yang dimiliki Museum Nasional Afghanistan sebelum perang terjadi.

Situs Mes Aynak mencakup luas sekitar 400.000 meter persegi, meliputi beberapa vihara dan area komersial yang terpisah. Tampaknya umat Buddha yang mulai menetap di daerah tersebut hampir dua ribu tahun yang lalu ditarik oleh ketersediaan tembaga yang ada di sana.

Kini, ketersediaan tembaga di daerah tersebut justru mengundang bencana bagi peninggalan Buddhis karena kehadiran perusahaan-perusahaan penambang tembaga yang tidak memperdulikan kelestarian warisan bernilai sejarah tersebut. [Bhagavant, 18/3/17, Sum]

Rekomendasikan:

Kategori: Afghanistan,Arkeologi,Asia Selatan
Penulis: