Serangan Teroris, Ratusan Warga Rakhine Mengungsi ke Vihara

Bhagavant.com,
Rakhine, Myanmar – Ratusan warga etnis Rakhine di negara bagian Rakhine, Myanmar (Birma) mengungsi ke vihara-vihara setelah serangan teroris yang terjadi di perbatasan Myanmar dan Bangladesh di Kota Maungdaw dan Rathedaung, pada Minggu (9/10/2016) dini hari.

Helikopter militer membawa warga lokal Rakhine menuju ke pengungsian pada Kamis (13/10/2016)
Helikopter militer membawa warga lokal Rakhine menuju ke pengungsian pada Kamis (13/10/2016). Foto: mizzima.com/Myanmar Military/EPA

Warga etnis Rakhine pindah ke kota-kota besar setelah terjadi bentrokan berkelanjutan antara pihak keamanan dan kelompok bersenjata yang terjadi di Maungdaw, sementara beberapa warga harus menjaga desa-desa mereka sendiri.

Banyak warga termasuk 15 pria dan 22 wanita dari Desa Aung Mingalar dan 4 pria dan 5 wanita dari Desa Aung Zayya datang ke Vihara Thudamayone di Buthidaung pada Rabu (12/10/2016).

Wanita, anak-anak dan orang tua dari Desa Aung Zayya yang paling dekat dari markas Kyeekanpyin dipindahkan ke Buthidaung dengan dua truk di pagi hari Kamis (13/10/2016) sementara para pria tetap tinggal untuk menjaga keamanan desa.

“Kami sedang menuju ke Buthidaung meskipun tidak ada kerabat yang kita miliki di sana. Kami mengetahui bahwa ada orang jahat di desa-desa tempat orang (etnis) Bengali/Benggala. Bentrokan ini tidak sama dengan krisis 2012. Bahkan, warga Bengali menggunakan senjata dan menyerang,” kata May Win Sein, seorang warga dari Desa Aung Mingalar, seperti yang dilansir Eleven Myanmar, Jumat (14/10/2016).

Etnis Bengali adalah etnis yang berasal dari wilayah yang berada di sekitar yang sekarang ini disebut sebagai Bangladesh. Belakangan ini sejumlah etnis Bengali yang tinggal Rakhine (berbatasan dengan Bangladesh) di Myanmar mengklaim diri mereka sebagai etnis Rohingya.

“Kami tidak bisa tinggal di sana. Beberapa dari kami telah pindah. Kami (yang tersisa) tertinggal di sini karena kami tidak memiliki cukup kendaraan. Kami juga akan pergi ketika kendaraan kembali,” tambahnya.

Para warga desa menyatakan bahwa mereka pindah karena kurangnya keamanan dan keselamatan. Mereka takut karena sejumlah tentara militer dan polisi tewas dalam bentrokan tersebut. Hanya 60 orang yang tersisa di Desa Aung Mingalar dari jumlah total penduduk 580 orang. Demikian juga, lebih dari 50 orang telah pergi dari Desa Aung Zayya yang jumlah total penduduknya 474 orang; dan diperkirakan 200 orang telah meninggalkan Desa Aung Tharyar yang jumlah total penduduknya 449 orang.

“Kami masih tetap di desa karena kami tidak bisa pergi ke mana pun karena kami tidak memiliki kerabat di tempat lain. Saya punya banyak anak dan daerah di sekitarnya adalah desa-desa tempat warga (etnis) Bengali. Saya meminta jangan mengabaikan saya,” kata Cho Hnin Si dari Desa Aung Tharyar.

Demikian juga, penduduk dari Desa Mawrawaddy dan dua desa lainnya yang dekat dengan serangan teroris di Desa Alethankyaw pada Rabu (12/10/2016) telah meninggalkan desa mereka.

Lebih dari seratus orang warga etnis Rakhine yang mengungsi di Vihara Ahlotawpyae (Alo Taw Pyae) di Kota Maungdaw. Kebanyakan warga yang melarikan diri tersebut adalah para orang lanjut usia, anak-anak, wanita hamil dan penderita keterbatasan diri.

Sehari setelah peristiwa tersebut, Senin (10/10/2016), Myint Kyaing, sekretaris tetap Kementerian Tenaga Kerja, Imigrasi dan Penduduk, mengatakan, “Para penyerang meneriakkan nama ‘Rohingya’. Sejak zaman kolonial pada tahun 1921, negara kami tidak ada (etnis) Rohingya – hanya ada (etnis) Bengali. Menurut sensus yang dikumpulkan setelah negara mendapatkan kemerdekaannya, tidak ada (etnis) Rohingya – hanya (etnis) Bengali. Kami berasumsi bahwa para penyerang meneriakkan nama ‘Rohingya’ atas hasutan dari beberapa organisasi.”

Jendral Senior Min Aung Hlaing, kepala komandan dinas pertahanan, pada Rabu (12/10/2016) mengatakan, “Konflik tersebut terjadi bukan karena agama tetapi karena hasutan. Mematuhi hukum adalah sangat penting. Tatmadaw (Pasukan Pertahanan Myanmar) melindungi kehidupan dan harta benda warga Myanmar. Warga adalah prioritas utama. Tatmadaw akan terus bekerja sama dengan masyarakat internasional sesuai dengan prosedur internasional.”

Jenderal Hlaing juga mengatakan bahwa etnis “Bengali” yang ada di wilayah Rakhine sekarang berasal dari wilayah yang sekarang disebut Bangladesh. “Muslim Rohingya” menolak (sejarah) dan nama “Bengali”, dengan mengatakan mereka keturunan pedagang Arab dan telah berada di daerah itu selama berabad-abad.

Ia menambahkan bahwa mereka (imigran etnis Bengali) tersebut tidak pernah kembali ke Benggala (Bangladesh), dan memulai konflik dengan warga etnis Rakhine. Warga etnis Rakhine tidak menerima warga “Bengali” karena mereka tidak mengikuti tradisi dan kebiasaan mereka.

“Para ‘Bengali’ tidak mau menerima pengawas kewarganegaraan dari pihak berwenang di bawah Undang-Undang Kewarganegaraan tahun 1982. Yang paling penting adalah para ‘Bengali’ tersebut tidak menginginkan pengawasan kewarganegaraan yang legal. Mereka yang sesuai dengan hukum harus memperoleh hak-haknya. Mereka yang menentang hukum harus ditangani di bawah program [badan pengungsi PBB] UNHCR. Tatmadaw harus memberikan bantuan kepada mereka yang melaksanakan tugas-tugas tersebut sesuai dengan undang-undang,” kata Jenderal Hlaing.

Pemerintah Myanmar dalam rilis persnya, seperti yang dilansir Eleven Myanmar, Sabtu (15/10/2016) mengatakan bahwa serangan yang terjadi Minggu pekan lalu terhadap 3 pos penjaga perbatasan dan menewaskan 9 orang polisi, dilakukan oleh organisasi teroris Islam ekstemis yang berhubungan dengan Rohingya Solidarity Organization (RSO). Hal ini diketahui setelah pihak keamanan berhasil menangkap dua orang penyerang dan menemukan spanduk, dokumen, senjata rakitan dan peluru di sebuah rumah dalam pencarian mereka terhadap para penyerang tersebut.

Hingga saat ini jumlah pengungsi dari etnis Rakhine di Kota Maungdaw ke Kota Sittwe, ibukota Rakhine, mengalami peningkatan.

Para pengungsi akan berlindung di Kota Sittwe, Kyauktaw dan Mrauk U. Saat ini total ada 104 rumah tangga yang berlindung di Vihara Ahlotawpyae. Dan saat ini, kamp-kamp pengungsi sedang dibuka di Kota Buthidaung.

Sejumlah guru, tenaga departemen dan penduduk setempat yang tinggal di Taung Pyowae dan desa-desa di dekat daerah yang diserang di Kota Maungdaw, diterbangkan ke tempat aman dalam beberapa kali perjalanan dengan helikopter militer, media pemerintah melaporkan pada Kamis (13/10/2016).

Di antara mereka termasuk seorang bhikhu, 114 guru, 50 staf departemen dan 16 warga setempat, seluruhnya berjumlah 181, menuju ke Buthidaung. Di luar dari kelompok itu, 27 guru dan penduduk setempat kemudian dikirim ke Sittwe dengan helikopter.[Bhagavant, 15/10/16, Sum]

Rekomendasikan:

Kategori: Asia Tenggara,Birma,Fokus,Sosial
Kata kunci:
Penulis: