Cendekiawan Buddhis Bahas Penyalahgunaan Kesadaran Penuh

Bhagavant,com,
Sumatera Utara, Indonesia – Penyalahgunaan kesadaran penuh (perhatian penuh – mindfulness) menjadi salah satu permasalahan yang dibahas oleh para cendekiawan Buddhis dari Indonesia dan mancanegara dalam sebuah forum internasional.

Forum Upasaka-Upasika Internasional Ke-8 (8th International Lay Buddhist Forum - ILBF) di Padang Sidempuan, Sumatera Utara, Indonesia, pada 19 hingga 23 Agustus 2016.
Forum Upasaka-Upasika Internasional Ke-8 (8th International Lay Buddhist Forum – ILBF) di Padang Sidempuan, Sumatera Utara, Indonesia, pada 19 hingga 23 Agustus 2016. Foto: laybuddhistforum.wordpress.com

Dalam dasawarsa belakangan ini meditasi kesadaran penuh telah berkembang dan menjadi populer di seluruh dunia. Di Amerika Serikat misalnya, sekarang meditasi kesadaran penuh ada di mana-mana, di sekolah, biro hukum, bank, pemerintah, dan bahkan di militer A.S.. Mereka semua memberikan sesi meditasi kesadaran penuh kepada para stafnya.

Teknik meditasi kesadaran penuh sendiri dapat ditelusuri berasal dari teknik meditasi Buddhis yaitu meditasi Vipassanā (pandangan terang atau wawasan jernih atau insight) yang melatih seseorang untuk berkesadaran penuh dengan fokus pada kekinian alih-alih masa depan atau masa lalu, yang berujung pada muncul atau tercapainya pandangan terang.

Tapi sekarang muncul sebuah kekhawatiran terjadinya “sekularisasi” meditasi kesadaran penuh yang menjamur di negara-negara Barat yang sekuler yang dalam praktiknya sedikit memedulikan aspek moral dan etika.

Satu sisi meditasi kesadaran penuh menjadi obat mujarab untuk orang-orang Barat dan di seluruh dunia untuk mengatasi kehidupan yang penuh stres yang telah mereka ciptakan sendiri. Namun, di sisi lain meditasi tersebut dapat digunakan untuk tujuan yang salah seperti membuat perwira militer menjadi penembak jitu yang lebih baik dengan meningkatkan konsentrasi mereka atau para bos perusahaan yang mengeksploitasi tenaga kerja mereka untuk meningkatkan produktivitas.

Penyalahgunaan kesadaran penuh tesebut menjadi salah satu pembahasan para cendekiawan Buddhis dan para viharawan yang menghadiri Forum Upasaka-Upasika Internasional Ke-8 (8th International Lay Buddhist Forum – ILBF) di Padang Sidempuan, Sumatera Utara, Indonesia, pada 19 hingga 23 Agustus 2016 yang lalu.

“Secara pribadi saya bergembira atas fakta bahwa teknik kuno yang diwariskan oleh Buddha tersebut disebarkan di seluruh dunia,” kata Dr. Christie Yu-Ling Chang, Presiden ILBF. “Itu adalah sisi positifnya,” katanya seperti yang dilansir IDN-InDepthNews, Kamis (1/8/2016).

“Di sisi lain saya berbagai kekhawatiran (mengenai) penggunaan teknik tanpa memahami konteksnya. Jika Anda tidak memiliki prinsip-prinsip etika, kesadaran penuh akan disalahgunakan,” tambahnya.

Dr. Bee Scherer, Buddhis asal Jerman dari Universitas Gereja Kristus Canterbury di Inggris, yang juga seorang anggota komite eksekutif ILBF, dalam sebuah wawancara dengan Lotus News Features mengatakan, “Saya khawatir, jika kita mengeluarkan sila (moralitas) dari kesadaran penuh, ia bisa menjadi satu alat dalam menyempurnakan eksploitasi kapitalis sehingga membuat orang menjadi karyawan yang lebih baik dengan melakukan pekerjaan mereka lebih penuh kesadaran.”

Dr. Scherer, yang mempresentasikan makalah di Forum Buddhis tersebut mengenai kesadaran penuh sebagai suatu respons Buddhis untuk mengatasi ekses kapitalisme dan konsumerisme, berpendapat bahwa meditasi kesadaran penuh Buddhis tidaklah netral secara etika, untuk itu, berfokus hanya pada efek samping dari kesadaran penuh terkait terapi bisa mengalihkan perhatian dari tujuan utamanya dalam Buddhisme (Agama Buddha) yaitu mencapai pandangan terang dan pengembangan belas kasih.

“Kesadaran penuh dapat menentang nilai-nilai maksimisasi keuntungan, materialisme ekonomi, daya saing dan individualisme dengan menangkal keserakahan, kebencian dan kebodohan batin dari diri independen (seperti yang dipahami dalam Buddhisme),” katanya.

“Kesadaran penuh menjadi bagian dari penyakit yang sepatutnya disembuhkan. Ia dilihat sebagai sumber keunggulan kompetitif, upaya untuk kemajuan dalam hidup, sehingga kehilangan dasar rasionalnya,” jelasnya.

Sejak 2005, ada lebih dari 15 program diperkenalkan ke sistem sekolah umum A.S. untuk melatih para siswa dalam kesadaran penuh yang mengklaim untuk meningkatkan daya ingat, keterampilan sosial dan mengatur emosi untuk kepercayaan diri yang lebih baik.

Aplikasi sekulernya termasuk praktik meditasi kesadaran penuh yang biasanya terdiri dari mengarahkan perhatian pada fokus tertentu, seperti napas, sensasi atau perasaan. Di daerah perasaan inilah konsep Buddhis mengenai cinta kasih bisa masuk dalam suatu pengaturan yang sekuler.

Buddhisme adalah filsafat rasional yang tidak mengharuskan Anda untuk memiliki iman pada kekuatan ilahi. Tidak perlu untuk beralih keyakinan menjadi seorang Buddhis untuk berlatih ajaran-ajarannya yang dikenal sebagai ‘dhamma‘.

Seperti yang disampaikan Y.M. Bhiksu Nyanabhadra (Ñāṇabhadra/Jñānābhadra) dari Vihara Ekayana Arama Jakarta, yang telah mengajar meditasi kesadaran penuh di Perancis menjelaskan, “Banyak umat Katolik dan Muslim datang untuk berlatih kesadaran penuh … kata ‘meditasi’ tidak nyaman bagi mereka, tapi ketika saya mengatakan berkesadaran penuh mereka bersemangat dan (menerima secara) positif. Kami dapat berbagi praktik berkesadaran penuh tanpa menggunakan istilah Buddhis. Kami dapat berbagi praktik tanpa perlu mengalih keyakinan mereka ke Agama Buddha selama cara berpikir, ucapan, perilaku mereka sesuai dengan Dhamma tidak peduli apakah mereka Buddhis atau bukan.”

Dr. Scherer memperingatkan tentang penyalahgunaan kesadaran penuh untuk kejahatan, “Sebagai Buddhis kita harus mengatakan ‘adalah baik Anda ingin menggunakan teknik-teknik kami tapi tolonglah memahami apa dasar dari teknik-teknik ini’. Kesadaran penuh tanpa belas kasih bukanlah apa-apa. Ia dapat menjadi alat untuk kejahatan.”

“Sifat ganas dari kesadaran penuh harus dipahami dengan sangat saksama,” kata Gauthama Prabhu Nagappan, seorang tokoh pemimpin Buddhis asal India. “Dalam meditasi kesadaran penuh apa yang kita fokus adalah pada 5 rintangan (batin) dan jika 5 rintangan ini telah dipahami maka praktik kesadaran penuh Anda adalah bersifat murni (asli).”

Lima rintangan yang dimaksud Prabhu, termasuk nafsu indriawi, kelambanan dan kemalasan, kehendak jahat, keresahan dan kekhawatiran, serta keraguan. Rintangan tersebut perlu ditangani dengan mengembangkan cinta kasih. “Jika Anda tidak menyadari implikasi dari apa yang Anda lakukan, Anda akhirnya menjadi seperti mesin,” katanya berpendapat. “Setiap Muslim atau Kristiani bisa mempraktikkannya … esensi kesadaran penuh terletak pada penciptaan moralitas masyarakat yang harmonis.”

Dr. James Wong, pakar ilmu saraf asal Taiwan juga khawatir mengenai pendekatan satu dimensi untuk kesadaran penuh. “Kita tidak bisa mengatakan pelatihan apa pun adalah kesadaran penuh karena yang jadi perhatian dan maknanya sangat berbeda,” katanya kepada Lotus News Features. “Orang hanya menutup mata mereka dan tidak memikirkan apa-apa atau mengontrol pernapasan itu bukanlah kesadaran penuh.”

“Kesadaran penuh, adalah sesuatu yang positif … meditasi harus melibatkan memahami perasaan orang lain, itulah belas kasih … ketika Anda melakukan latihan penggambaran imajiner itu adalah suatu wilayah yang berbeda … penggambaran imajiner bukanlah kesadaran penuh,” kata Dr. Wong menambahkan.

Dr. Christie Yu-Ling Chang merasa senang bahwa popularitas kesadaran penuh di Barat membangkitkan minat kalangan pemuda Asia yang telah menyimpang jauh dari ajaran Buddha, dan yang melihat hal ini sebagai suatu yang tidak relevan dengan gaya hidup modern mereka.

“Mereka (di Barat) sangat terampil dalam menyusun sebuah paket untuk meringankan penderitaan pribadi. Masyarakat Asia dapat belajar dari pendekatan itu,” ujarnya berpendapat seraya bertanya, “Jika mereka menggunakan kesadaran penuh mengapa kita tidak melengkapinya?”

The pendidik Taiwan yang telah tinggal di AS untuk waktu yang lama menunjukkan bahwa alih-alih mengatakan Anda tidak melakukan hal yang benar; Asia dapat atas pada itu dengan memperkenalkan sutra Buddhis (khotbah Buddha) untuk muda Asia melalui praktik sadar.

Dr. Christie yang merupakan pakar pendidikan asal Taiwan yang pernah tinggal di A.S. untuk waktu yang lama menegaskan bahwa alih-alih mengatakan “Anda tidak melakukan hal yang benar”; masyarakat Asia dapat menambahkannya dengan memperkenalkan sutra-sutra (khotbah-khotbah Sri Buddha) kepada kaum muada Asia melalui praktik-praktik berkesadaran penuh.

“Banyak para siswa Amerika saya diperkenalkan dengan Buddhisme melalui kesadaran penuh …. Kita harus memperkuat praktik kesadaran penuh kita sendiri dan siap untuk berbagi ajaran Buddha di ranah umum … Hal itu ada di dalam tangan kita bagaimana kita bisa memberikan bantuan,” katanya berpendapat.

Selain membahas penyalahgunaan kesadaran penuh, dalam ILBF Ke-8 yang kali ini mengangkat tajuk “Caring for the past, safeguarding the future: Buddhism, Heritage and Sustainability” (Merawat masa lalu, menjaga masa depan: Agama Budddha, Warisan dan Keberlanjutan), juga membahas mengenai lingkungan hidup dan pelestarian peninggalan-peninggalan Buddhis.

Kegiatan pertemuan ILBF Ke-8 yang dihadiri oleh delegasi dari 12 negara tersebut diselenggarakan oleh organisasi Sarjana dan Profesional Buddhis Indonesia (SIDDHI).[Bhagavant, 7/9/16, Sum]

Rekomendasikan:

Kategori: Indonesia,Meditasi,Vipassanā
Kata kunci:
Penulis: