Supermoon dan Legenda Buddhis Gambar Kelinci di Bulan
Bhagavant.com,
Jakarta, Indonesia – Menjelang akhir bulan September 2015, blood supermoon atau Bulan super darah mewarnai langit pada Senin (28/9/2015) Waktu Indonesia Barat, sebuah fenomena langka yang tidak terjadi selama 32 tahun lalu dan juga tidak akan terjadi 18 tahun kemudian.

Sehari setelah etnis Tionghoa di seluruh dunia menyambut perayaan tradisi Zhongqiu Jie (Hokkian: Tiong ciu) atau Festival Musim Gugur yang juga dikenal dengan Festival Kue Bulan, dan saat umat Buddha di Asia Selatan dan Tenggara merayakan Hari Raya Purnama Madu (Skt: Madhu Purnima) dan Hari Bhikkhuni, Bulan purnama menampakkan dirinya dengan ukuran yang lebih besar dari biasanya yang disebut sebagai supermoon.
Supermoon tahun ini diikuti pula dengan gerhana Bulan total saat bayangan bumi menimpa permukaannya, sehingga terjadi fenomena yang disebut gerhana supermoon. Namun, meskipun tertutup sepenuhnya dengan bayangan bumi, sedikit sinar matahari fajar dan senja yang meluncur dan dibelokkan melalui atmosfir bumi ke arah Bulan membuatnya berwarna kemerahan. Karena berwarna kemerahan maka disebut sebagai blood supermoon.
Sayangnya peristiwa gerhana supermoon September ini hanya dapat terlihat di Amerika Utara dan Selatan, Eropa, Afrika, sebagian dari Asia Barat dan Pasifik bagian timur. Ini berarti masyarakat Indonesia tidak bisa melihat fenomena langka tersebut. Hal tersebut terjadi karena fenomena itu terjadi pada pagi pukul 2.50 UTC atau pagi pukul 9.50 WIB.
Meskipun fenomena gerhananya tidak terlihat, namun supermoon masih dapat dinikmati keindahannya saat dini hari terutama dengan menggunakan teleskop. Dengan menggunakan teleskop yang memadai permukaan Bulan akan lebih mudah dilihat termasuk untuk melihat mare (dataran basalt yang luas dan gelap di Bulan) yang seluruh cakupan bentuknya dapat dilihat dan diterjemahkan menyerupai gambar kelinci.

Menurut sains, mare (jamak: maria) yang menyerupai gambar kelinci tersebut dibentuk oleh pembekuan banjir magma dari proses erupsi vulkanis (gunung berapi) purba di Bulan beberapa miliar tahun yang lalu. Dan Agama Buddha memuat kisah legenda sarat dengan nilai moral di balik peristiwa terbentuknya gambar kelinci di Bulan tersebut.
Kisah legenda yang termuat dalam Kitab Jātaka No. 316 yang berjudul Sasa Jataka (Sasa Paṇḍita Jātaka – Kisah Kelahiran Kelinci yang Bijak), menceritakan kisah lampau tentang seekor kelinci, kera, serigala, dan berang-berang yang bersahabat memutuskan untuk mempraktikkan kebajikan di saat Hari Uposatha (hari memurnikan diri atau puasa) dengan memberi makan orang yang datang kepada mereka.

Saat ketiga sahabatnya dapat memberikan makanan kepada seorang petapa yang kelaparan yang tidak lain adalah Dewa Sakka (Skt: Sakra) yang sedang menyamar, sang kelinci yang tidak memiliki apa pun memutuskan mengorbankan dirinya untuk dimakan oleh sang petapa dengan masuk ke dalam api. Namun, api yang telah disiapkan oleh petapa itu tidak dapat membakar sang kelinci. Setelah mengungkap siapa sebenarnya dirinya, Dewa Sakka memuji kebajikan sang kelinci. Dan untuk mengenang kebajikan sang kelinci, Dewa Sakka meremas sebuah gunung dan mengambil sarinya untuk membuat gambar seekor kelinci di bagian tengah Bulan.
Terlepas dari penafsiran apakah sari yang diambil dari gunung oleh Dewa Sakka adalah magma pada gunung berapi seperti yang dikatakan sains atau bukan, dan terlepas apakah gambar kelinci itu hanyalah sebuah pareidolia atau bukan, kisah Jataka ini membawa pesan moral mengenai tekad yang kuat dalam menjalankan sila dan melakukan kebajikan terutama berdana. Dan dengan demikian diharapkan umat Buddha akan selalu mengingat kebajikan saat memandang Bulan.[Bhagavant, 27/9/15, Sum]
Kategori: Asia Tenggara
Kata kunci: astronomi
Penulis: