Amerika Serikat » Psikologi » Sains

Penelitian: Ajaran Buddha Aktifkan Toleransi dan Prososial

Bhagavant.com,
California, Amerika Serikat – Kekerasan atas nama agama ataupun yang terinspirasi oleh ajaran agama merupakan hal yang nyata terjadi dewasa ini. Hal ini diakibatkan tidak ada atau kurangnya rasa toleransi dan sikap prososial (perilaku sosial yang baik dan menguntungkan) terhadap sesama. Sering terjadinya hal tersebut menyebabkan masyarakat mempertanyakan apakah agama yang dianut si pelaku kekerasan tersebut memang mengonsepkan ataupun mengajarkan kekerasan dan ketidaktoleransian, atau justru sebaliknya.

Buddhism
Ajaran Buddha dapat mengaktifkan toleransi.

Sebagian orang secara gegabah menganggap bahwa agama dari pelaku kekerasan memang mengajarkan kekerasan dan ketidaktoleransian. Bahkan ada yang beranggapan bahwa semua agama adalah buruk setelah melihat aksi kekerasan atas nama agama terjadi di mana-mana. Anggapan tersebut tentu saja tidak benar, karena sifat ajaran suatu agama tidaklah selalu tercermin pada perilaku pengikutnya yang tidak mempraktikkan ajaran agamanya. Butuh pengkajian untuk mengetahui sifat dari suatu ajaran agama, apakah mengonsepkan atau mengajarkan kekerasan dan ketidaktoleransian, atau sebaliknya.

Lalu, bagaimana dengan ajaran Agama Buddha (Buddhisme)?

Berdasarkan penelitian yang baru-baru ini dilakukan oleh Magali Clobert, seorang peneliti pascadoktoral pendatang di Departemen Psikologi Universitas Stanford, Amerika Serikat, dan tim penelitinya mengungkapkan bahwa gagasan-gagasan yang ada dalam ajaran Agama Buddha mengajarkan toleransi dan tidak mementingkan diri sendiri.

“Berdasarkan bukti lintas budaya dan lintas agama, mungkin berbeda dari gagasan Kristiani, kami menghipotesiskan bahwa gagasan-gagasan Buddhis mengaktifkan tidak hanya prososial tetapi juga toleransi,” demikian yang ditulis dalam ikhtisar penelitian yang dipublikasikan di Personality and Social Psychology Bulletin. “Subliminal priming (penambahan informasi di bawah ambang kesadaran) gagasan-gagasan Buddhis, dibandingkan dengan gagasan netral atau Kristiani, telah secara eksplisit menurunkan prasangka buruk terhadap etnis, ideologi, dan moral dari kelompok lain, di kalangan umat Buddhis Barat yang menghargai keuniversalan.”

Sebanyak tiga eksperimen dilakukan dalam penelitian yang melibatkan 355 partisipan lintas budaya dan agama yang dilakukan di tempat berbeda.

Eksperimen atau percobaan pertama
Dilakukan terhadap 116 orang Buddhis Barat yang telah bergabung dengan sentra-sentra Buddhis di Belgia. Mereka diminta untuk menyelesaikan satu dari dua versi permainan teka-teki mencari kata. Di dalam salah satu versi terdapat 10 istilah yang berkitan dengan Agama Buddha termauk kata “Dharma” dan “Sutra“, versi lainnya berisi 10 kata bersifat positif yang tidak berkaitan dengan agama seperti kata “kebebasan” dan “bunga”.

Kemudian mereka mengisi serangkaian pertanyaan jajak pendapat yang berkaitan dengan prasangka, mereka ditanya apakah mereka akan suka memiliki seseorang dari anggota kelompok minoritas tertentu (termasuk Muslim, ateis, dan gay) sebagai pasangan, tetangga, atau perwakilan politik.

“Setelah dipriming dengan kata-kata Buddhis, para peserta dilaporkan mengalami penurunan sikap negatif secara eksplisit terhadap semua jenis kelompok luar,” kata laporan penelitian yang juga dikutip Pacific Standard, Kamis (19/2/2015).

Eksperimen kedua
Dilakukan terhadap 117 orang mahasiswa Universitas Katolik Louvain di Belgia dengan mayoritas menganut Agama Katolik dan ateis. Mereka menyelesaikan sebuah “tugas keputusan leksikal” (prosedur dasar yang mencakup pengukuran seberapa cepat orang mengklasifikasikan stimulus sebagai kata-kata atau bukan) yang di dalamnya termasuk istilah-istilah Buddhis seperti “Buddha“, “bhiksu” dan “kelahiran kembali“, istilah-istilah Kristiani seperti “Yesus“, “Gereja” dan “Alkitab“, istilah-istilah yang netral.

Kemudian mereka melakukan dua Tes Asosiasi Implisit yang dirancang untuk mengungkapkan prasangka mendasar terhadap orang-orang Afrika dan Muslim. Terakhir, mereka menyelesaikan survei untuk mengukur sejauh mana mereka memiliki sifat-sifat psikologis tertentu, termasuk sifat religi dan otoriter.

Eksperimen kedua ini menemukan bahwa memaparkan gagasan-gagasan Buddhis, dibandingkan dengan gagasan netral dan Kristiani, telah mengaktifkan penurunan prasangka buruk terhadap etnis dan agama terutama pada orang-orang yang memiliki nilai rendah dalam keotoriteran.

Eksperimen ketiga
Dilakukan terhadap 122 orang mahasiswa dari Universitas Nasional Taiwan di Taipei yang di antara mereka hanya 8,5 persen yang mengaku sebagai Buddhis sedangkan mayoritas adalah penganut kepercayaan rakyat dan ateis. Sama seperti eksperimen kedua, mereka menyelesaikan sebuah “tugas keputusan leksikal” yang di dalamnya termasuk istilah-istilah Buddhis seperti “Buddha“, “Sangha” dan “Sutra“, istilah-istilah Kristiani seperti “Yesus“, “Gereja” dan “Alkitab“, istilah-istilah yang netral.

Mereka juga melakukan dua Tes Asosiasi Implisit yang dirancang untuk mengungkapkan prasangka mendasar terhadap orang-orang Afrika dan Muslim. Terakhir, mereka menyelesaikan survei untuk mengukur sejauh mana mereka memiliki sifat-sifat psikologis tertentu, termasuk sifat religi dan otoriter. Eksperimen ketiga ini menemukan hasil yang sama dengan eksperimen kedua, yaitu adanya penurunan prasangka buruk terhadap etnis dan agama.

Berdasarkan ketiga eksperimen yang dilakukan di negara Barat dan Asia Timur (Belgia dan Taiwan) tersebut membuktikan bahwa gagasan-gagasan atau konsep-konsep Buddhis secara otomatis mengaktifkan prososial dan toleransi khususnya di antara orang-orang dengan pikiran terbuka dan berkognisi sosial.

Jadi, tidaklah benar jika dikatakan semua ajaran agama adalah buruk dan bersifat tidak toleran terhadap kelompok lain. Dan jika Anda ingin memeluk suatu agama dan tetap ingin hidup bertoleransi, Agama Buddha adalah jawabannya.[Bhagavant, 27/2/15, Sum]

Rekomendasikan:

Kategori: Amerika Serikat,Psikologi,Sains
Kata kunci:
Penulis:
REKOMENDASIKAN BERITA INI: