Lagi, Tanah Masyarakat Adat Buddhis Diserobot Paramiliter Bangladesh

Bhagavant.com,
Chittagong, Bangladesh – Pasukan paramiliter penjaga perbatasan Bangladesh, Border Guard Bangladesh (BGB), kembali menyerobot tanah dari komunitas masyarakat adat di Jalur Bukit Chittagong (Chittagong Hill Tracts – CHT).

Pagar kawat berduri yang dipasang di lahan masyarakat adat Marma  untuk membangun markas BGB di Bandarban.
Pagar kawat berduri yang dipasang di lahan masyarakat adat Marma untuk membangun markas BGB di Bandarban. Foto: thedailystar.net

Seperti yang dilansir bdnews24.com dan The Daily Star, Pemerintah Bangladesh telah member izin mengambil alih lahan untuk membangun markas sektor BGB di Rowangchhari di Distrik Bandarban.

Laporan lebih lanjut menyatakan bahwa lahan yang ternyata merupakan tempat yang digunakan sebagai kremasi dari dua desa di masyarakat adat Buddhis Marma tersebut, telah dipagari dengan kawat berduri sehingga penduduk lokal tidak bisa masuk.

Wakil Komisi daerah tersebut, KS Tajul, saat dihubungi oleh wartawan bdnews24.com mengatakan bahwa BGB telah meminta untuk mengambil alih lahan tersebut dan juga ada rekomendasi dari Kementerian Dalam Negeri.

Penyerobotan lahan tersebut tidak hanya menghalangi para penduduk desa untuk melakukan upacara terakhir bagi keluarga mereka meninggal, tetapi juga berdampak pada budidaya.

“Dari 200 orang yang tinggal di desa ini, hanya 30 yang memiliki lahan. Sebagian besar orang yang tak memiliki lahan mencari nafkah dari berladang dari lahan dan bekerja sebagai buruh tanah di lahan masyarakat,” kata Mong Kya Ching, seorang pemuda 27 tahun dari desa Krykhyong, seperti yang dilansir The Daily Star, Rabu (29/10).

Personel paramiliter penjaga perbatasan Bangladesh (BGB) melarang masuk masyarakat adat ke lahan kremasi desa Krykhyong.
Personel paramiliter penjaga perbatasan Bangladesh (BGB) melarang masuk masyarakat adat ke lahan kremasi desa Krykhyong. Foto: thedailystar.net

Menurut Naume Pru, seorang kepala desa daerah tersebut, sekitar 300 keluarga mencari nafkah dengan mengolah tanah ini, demikian bdnews24.com melaporkan.

“Sebelum proses pengambilalihan dimulai tidak dikonsultasikan baik kepada saya maupun karbari saya (karbari adalah kepala daerah, tetapi lebih rendah dari kepala desa),” kata kepala daerah tersebut kepada The Daily Star.

“Pemerintah tidak memiliki tanah apapun di perbukitan ini menurut hukum 1900 dan Perjanjian Damai Bukit Chittagong,” kata Pru lebih lanjut menyatakan, “Semenjak hukum adat berlaku di sini, pemerintah perlu berbicara dengan raja setempat atau kepala desa sebelum permintaan lahan. Tetapi baik BGB maupun pemerintah distrik tidak mengadakan pembicaraan tersebut.“

“Ini adalah waktu bagi kami untuk menuai panen kami,” kata seorang mahasiswa lokal seperti yang dilansir bdnews24.com, Sabtu (8/11). “Tapi kami tidak diizinkan untuk memasuki tanah kami selama satu bulan terakhir.”

KS Tajul mengatakan kepada wartawan bdnews24.com, ”Saya telah melihat sendiri tanah itu. Tapi saya tidak melihat lahan kremasi apapun di mana pun. Memang benar bahwa hukum tidak mengizinkan permintaan lahan dengan instansi keagamaan. Jika ada lahan kremasi di sana kami tentunya akan mempertimbangkannya.”

Namun sebelumnya, seperti yang dilansir The Daily Star, berdasarkan kesaksian sebuah tim wartawan yang mengunjungi daerah tersebut pada 20 Oktober lalu, menyaksikan bahwa telah terjadi pembangunan struktur bata di daerah tersebut. Di dalam pagar, sebuah jalur jalan – dengan pohon mangga, pisang dan pohon berbuah lainnya, dan sedikit petak tanaman padi di kedua sisinya – yang mengarah menuju sebuah aliran di mana papan pengumuman yang baru dicat bertuliskan “Lahan kremasi desa Krykhyong”.

Papan pengumuman kepemilikan lahan untuk kremasi desa Krykhyong.
Papan pengumuman kepemilikan lahan untuk kremasi desa Krykhyong. Foto: bdnews24.com

“Tempat tersebut ditutupi dengan semak karena tradisi kami tidak memperbolehkan membersihkan area di mana jenazah-jenazah telah dibakar,” kata para penduduk desa Krykhyong, yang diizinkan masuk di tempat tersebut bersama dengan tim wartawan.

Sebuah area yang menghitam dengan potongan-potongan arang yang terbakar terlihat di salah satu sudut daerah tersebut. Beberapa lalat berterbangan di atas seputar area tersebut.

“Tahun ini kami melakukan kremasi tujuh jenazah di sini,” kata Mong Ching Sa, 50, seorang warga.

Perampasan lahan dari masyarakat adat di CHT oleh kesatuan-kesatuan militer, pejabat pemerintah, dan politisi di negara berpenduduk mayoritas Muslim tersebut tidak jarang terjadi. Pada bulan Juni tahun ini, BGB mengambil alih sebuah desa di Sajek di Rangamati, yang telah membuat banyak keluarga masyarakat adat Buddhis mengungsi, dan pada bulan Juli, pemerintah melarang pembangunan rupaka Buddha di disktrik tersebut untuk mendirikan sebuah kamp BGB. Pada bulan April, BGB berusaha untuk mendapatkan sebidang tanah di Bandarban tempat sebuah stupa dibangun.[baca: Umat Buddha Bangladesh Protes Pengambilalihan Lahan Buddhis]

Perampasan-perampasan tanah tersebut telah dikritik oleh berbagai organisasi hak asasi manusia, dan Yayasan Kapaeeng (Kapaeeng Foundation) baru-baru ini melaporkan bahwa perampasan tersebut meningkat dalam enam bulan pertama tahun ini.[Bhagavant, 28/11/14, Sum]

Rekomendasikan:

Kategori: Bangladesh
Kata kunci: ,
Penulis: