Forum Buddhis-Muslim: Stop Ambil Hidup Perempuan dan Anak

Bhagavant.com,
Bangkok, Thailand – Sudah sepuluh tahun Thailand menghadapi pemberontakan Muslim Thailand, dan untuk delapan tahun terakhir, Kota Betong tetap relatif tak tersentuh oleh pemberontakan yang sedang berlangsung di perdalaman Thailand bagian selatan tersebut. Namun, dalam enam bulan terakhir, para pemberontak telah mengubah taktik dan semakin berusaha menunjukkan bahwa mereka memiliki kemampuan dan tekad yang mematikan untuk menyerang di mana saja dan terhadap siapa pun.

Pada hari Jumat (25/7/2014) sebuah bom mobil mengguncang Betong yang merupakan surga turis yang biasanya damai di Provinsi Yala di selatan Thailand, dan membuat tiga orang tewas dan 42 luka-luka.

Di forum publik, “Breaking the Wall of Silence: Stop Taking the Lives of Women and Children”, Selasa, (22/7/2014), keluarga korban dan perwakilan membuat pernyataan yang menyerukan kelompok bersenjata untuk menghormati prinsip-prinsip Hukum Kemanusiaan Internasional.
Di forum publik, “Breaking the Wall of Silence: Stop Taking the Lives of Women and Children”, Selasa, (22/7/2014), keluarga korban dan perwakilan membuat pernyataan yang menyerukan kelompok bersenjata untuk menghormati prinsip-prinsip Hukum Kemanusiaan Internasional. Foto: The Asia Foundation

Setelah perundingan putaran pertama di Februari 2013 antara Pemerintah Thailand dan kelompok pemberontak Barisan Revolusi Nasional (BRN) yang menandai dimulainya pembicaraan damai, para pemberontak telah mengutamakan menargetkan sasaran keras seperti personil militer dan polisi. Namun, setelah gagalnya pembicaraan-pembicaraan pada Juli 2013, para pemberontak telah mengalihkan sasaran mereka dari menyergap kendaraan tentara dan polisi menjadi meledakan bom mobil di ruang-ruang publik, termasuk pasar, sekolah, dan rumah sakit, yang telah menimbulkan sejumlah besar korban warga sipil.

Sejak pembicaraan damai terhenti, 35 perempuan telah tewas – dengan mayoritas perempuan Buddhis yang menjadi korban dari sasaran pembunuhan tersebut – dan lebih dari 60 perempuan telah terluka, terutama dari ledakan bom. Selama 10 tahun terakhir, 62 anak kehilangan nyawa mereka dan lebih dari 370 terluka.

“Saya tidak punya anak lagi yang tersisa. Saya tidak punya alasan untuk hidup tapi ketika saya mati dan saya dikremasi, tidak akan ada yang mengumpulkan abu saya. Insiden kekerasan terjadi di sini setiap hari … siapa pun bisa terbunuh nanti,” kata salah seorang ibu yang menceritakan kisahnya setelah putrinya yang bekerja di sebuah bank lokal, ditembak dan tubuhnya dibakar dalam perjalanan pulang dari kerja. Demikian yang dikutip dari laporan Ruengrawee Pichaikul untuk The Asia Foundation, Rabu (6/8/2014).

Untuk menyediakan suara bagi mereka yang terkena dampak kekerasan, beberapa organisasi perempuan yang berbasis di Bangkok dan di wilayah selatan Thailand, menyelenggarakan sebuah forum umum: “Breaking the Wall of Silence: Stop Taking the Lives of Women and Children” (“Menghancurkan Dinding Keheningan: Stop Mengambil Kehidupan Perempuan dan Anak”) pada Selasa (22/7/2014).

Para ibu, saudara perempuan, dan anak perempuan dari komunitas Buddhis dan Muslim menceritakan kisah memilukan tentang bagaimana mereka kehilangan anak-anak dan orang yang dicintai karena kekerasan tersebut.

Seorang ibu muda Muslim yang dirinya menderita luka parah yang hampir menyebabkan kehilangan kakinya, berjuang untuk menceritakan kisahnya tentang bagaimana ia terbangun di rumah sakit dan mengetahui bahwa ia tidak akan pernah lagi melihat anaknya yang berusia lima tahun yang bersamanya di pasar pada saat bom itu meledak.

Atau kisah seorang perempuan Buddhis penyandang cacat yang tidak mampu melarikan diri dari serangan dan tubuhnya yang penuh dengan peluru ditemukan di lokasi kejadian.

Ini adalah kisah tragis yang diungkapkan oleh para kerabat yang kehilangan orang yang mereka cintai dalam konflik kekerasan selama satu dekade di provinsi paling selatan Thailand.

Dalam forum tersebut, sebagian besar korban dan kerabat mengungkapkan bahwa mereka merasa tak terlihat dan dilupakan oleh masyarakat. Meskipun banyak yang telah mampu menerima beberapa kompensasi dari pemerintah, masih banyak korban dan mereka yang selamat yang tidak terdaftar dalam basis data resmi polisi, yang merupakan persyaratan untuk menerima bantuan pemerintah.

Dalam kebanyakan kasus, para kerabat korban mengatakan bahwa proses penyembuhan terbaik bagi mereka adalah mendengar kebenaran tentang siapa yang bertanggung jawab melakukan kejahatan tersebut. Forum tersebut ditutup dengan pernyataan dari para kerabat dan perwakilan organisasi perempuan yang secara langsung ditujukan kepada para kelompok bersenjata tersebut dengan menyerukan kepada mereka untuk menghormati prinsip-prinsip Hukum Kemanusiaan Internasional dan menghentikan kegiatan yang akan membahayakan warga sipil.

Mereka menegaskan bahwa ruang publik seperti sekolah, pasar, rumah sakit, dan kompleks keagamaan harus ditetapkan sebagai zona aman, dan semua kelompok bersenjata harus menahan diri dari aktivitas militer dalam atau di sekitar daerah yang bisa membahayakan anak-anak dan warga sipil. Mereka juga menyerukan agar para pemimpin Muslim dan Buddhis untuk mengadakan dialog antaragama untuk memperbaiki kesalahpahaman dalam penafsiran prinsip-prinsip agama.

Pernyataan tersebut juga menyerukan kepada para media dan pejabat tinggi yang berpartisipasi dalam forum untuk mengambil langkah cepat untuk menjamin keamanan dan keselamatan bagi warga sipil, terutama perempuan dan anak-anak, dan meningkatkan kapasitas tanggap darurat dan bantuan jangka pendek dan panjang secara komprehensif. Dan juga seruan yang kuat untuk pembentukan mekanisme pencarian kebenaran untuk membantu mempercepat proses pemulihan dan hukum.[Bhagavant, The Asia Foundation, 9/8/14, Sum]

Rekomendasikan:

Kategori: Asia Tenggara,Perdamaian,Thailand,Wanita Buddhis
Kata kunci:
Penulis: