Praktik Dhutanga Inspirasi Diet Deddy Corbuzier
Bhagavant.com,
Jakarta, Indonesia – Salah satu praktik puasa Buddhis menjadi salah satu inspirasi dan acuan dalam program diet OCD untuk pembentukan tubuh, baik menurunkan dan menaikkan berat badan.
Obsessive Corbuzier’s Diet (OCD), sebuah program diet bertujuan menurunkan ataupun menaikkan berat badan yang baru-baru ini diperkenalkan oleh seorang mentalist Indonesia, Deddy Corbuzier, terinspirasi dan mengacu oleh praktik Buddhis yang dilakukan oleh para bhikkhu (bhiksu) tradisi Theravāda (baca: therawada) – salah satu tradisi/garis silsilah awal Buddhisme atau Agama Buddha.
Dalam acara gelar wicara ”Hitam Putih” di salah satu TV swasta pada Senin (26/9/2013), Corbuzier membahas program dietnya yang disertai dengan teknik puasa yang diklaim terbukti membentuk tubuhnya dan beberapa praktisi OCD lainnya.
Seorang konsultan farmakologi klinis, dr. Freddy Wilmana, MFPM, SpFk, yang juga hadir dalam gelar wicara terebut juga menyatakan bahwa berpuasa ala OCD dapat menyembuhkan penyakit. Hal ini berhubungan dengan meningkatnya Human Growth Hormon (HGH) – hormon pertumbuhan manusia, saat seseorang melakukan puasa secara benar. HGH sendiri berfungsi untuk merangsang pertumbuhan, reproduksi dan regenerasi sel pada tubuh manusia.
Pada akhir acara dan juga diungkapkan dalam buku elektronik OCD, Corbuzier mengungkapkan bahwa teknik berpuasa dalam program dietnya memakai cara puasa yang dipraktikkan oleh para bhikkhu, yaitu praktik ekāsanikaṅga (baca: ekasanikangga), salah satu dari praktik dhutaṅga (baca: dhutangga).
Apa dhutaṅga itu dan jenis berpuasa seperti apakah ekāsanikaṅga? Apa tujuan dan manfaatnya?
Berdasarkan etimologi (asal kata), kata ”puasa” sendiri dapat berasal dari kata dalam bahasa Sanskerta yaitu kata ”pu” (memurnikan, membersihkan) dan ”āśa” (makanan) atau ”āśā” (harapan, napsu keinginan) atau ”āsa” (debu, abu). Sehingga ”puasa” dapat berarti membersihkan diri dari makanan atau tidak makan, membersihkan diri dari nafsu, membersihkan diri dari debu/kekotoran batin.
Dhutaṅga, yang secara harfiah berarti ’mengibas/menghilangkan/menghancurkan kekotoran batin’ atau ’pemurnian’ merupakan praktik latihan ”keras” yang dianjurkan oleh Sang Buddha kepada para bhikkhu untuk membantu menghilangkan kekotoran batin seperti keserakahan (lobha) dan kebodohan batin (moha).
Salah satu dari 13 praktik latihan dhutaṅga adalah ekāsanikaṅga, yang berarti makan sekali duduk (sekali sehari). Praktik latihan ini dilakukan dengan cara melakukan kegiatan makan sekali sehari, dan baru makan lagi pada esok hari.
Karena para bhikkhu pada kesehariannya juga terikat dengan peraturan-peraturan ke-bhikkhu-an yang disebut dengan Vinaya (baca: winaya), yang salah satunya mengharuskan kegiatan makan dilakukan antara pagi hingga jam 12 siang dan setelahnya hanya boleh minum air atau minuman bukan dari makanan padat, maka kegiatan makan pada praktik latihan ekāsanikaṅga dhutaṅga juga dilakukan sebelum jam 12 siang dan hanya diperkenankan untuk minum air (cairan) selama masa setelah makan.
Berbeda dengan praktik dhutaṅga yang meskipun disarankan namun tidaklah menjadi suatu keharusan dan dipraktikkan hanya untuk beberapa waktu tertentu saja, Vinaya sendiri justru harus dijalankan oleh para bhikkhu setiap hari selama ia menjadi seorang bhikkhu. Dengan demikian, tanpa praktik dhutaṅga, para bhikkhu juga hanya makan pada sebelum jam 12 siang. Dan istilah dalam bahasa Inggris untuk sarapan pagi yaitu breakfast (break: berhenti, dan fast: puasa) tentunya sangat sesuai dengan kebiasan para bhikkhu yang berhenti berpuasa pada pagi hari.
Manfaat praktik latihan ekāsanikaṅga – makan sekali duduk, dari segi batin adalah menghilangkan keserakahan dengan munculnya kepuasan diri, meredam kecanduan akan makanan, merasa tenang karena tidak khawatir tentang makan dan berperilaku baik karena tidak banyak menuntut.
Sedangkan dari segi fisik, praktik ekāsanikaṅga memiliki manfaat antara lain, akan jarang sakit, akan lebih nyaman dengan tubuh karena tidak kelebihan berat badan, lebih tangkas karena tubuh yang ringan, lebih sehat, dan menunjang praktik-praktik latihan lainnya seperti meditasi.
Bagi umat Buddha awam (bukan para bhikkhu) selain praktik latihan panca-silā (lima sila) terdapat praktik latihan kemoralan yang disebut dengan aṭṭha-silā (delapan sila) yang pada dasarnya juga dipraktikkan oleh para bhikkhu dalam kesehariannya sebagai suatu peraturan.
Salah satu praktik latihan aṭṭha-silā adalah vikālabhojana veramaṇī (baca: wikalabhojana weramani) – menghindari makan makanan diwaktu yang salah, yaitu lewat tengah hari. Ini berarti dalam paraktik latihan ini, umat Buddha atau Buddhis hanya boleh makan di antara pagi hingga jam 12 siang, selebihnya adalah puasa makan.
Bagi umat awam praktik latihan aṭṭha-silā ini dapat dilakukan kapan saja, tapi pada umumnya dilakukan pada hari-hari Uposatha yang dihitung berdasarkan 4 fase bulan, yaitu pada bulan baru, bulan pernama, bulan perempat pertama dan bulan perempat terakhir.
Ini berarti mereka yang berkomitmen menjalankan aṭṭha-silā pada hari Uposatha selama setahun, akan menjalankan praktik ini sebanyak 4 kali setiap bulannya. Karena dilakukan pada setiap hari Uposatha, maka praktik ini sering juga disebut dengan Uposatha-silā.
Tidak terlalu jauh berbeda dengan yang diterapkan dalam praktik Buddhis ekāsanikaṅga dhutaṅga dan vikālabhojana veramaṇī dalam aṭṭha-silā, puasa dalam diet OCD juga membatasi masa waktu dalam makan makanan yang disebut sebagai jendela makan.
Jika dalam kedua praktik Buddhis tersebut puasa dilakukan langsung selama 24 jam, sedangkan dalam OCD dilakukan secara bertingkat atau bertahap dari 16, 18, 20, hingga 24 jam.
Berbeda dengan puasa dalam agama Islam yang dilakukan oleh umat Muslim saat bulan Ramadan, yang tidak diperbolehkan minum air, puasa Buddhis dan OCD memperbolehkan untuk minum air.
Program diet OCD dari Deddy Corbuzier dengan teknik berpuasa yang diklaim terbukti memiliki manfaat kesehatan fisik terutama untuk masalah obesitas bahkan awet muda, nampaknya mungkin juga menjadi sebuah pembuktian bahwa apa yang diterapkan dan dianjurkan oleh Sang Buddha pada lebih dari 2500 tahun yang lalu sebagai pelatihan spiritual ternyata memiliki manfaat secara fisik terutama untuk kesehatan.[Bhagavant, 18/9/13, Sum]
Kategori: Buddhisme dan Kesehatan,Indonesia
Kata kunci: bhikkhu, dhutanga, diet
Penulis: