Buah Pikir dan Inspirasi Buddhis dalam Garuda Pancasila
Bhagavant.com,
Jakarta, Indonesia – Setiap tanggal 1 Juni, Indonesia memperingati hari kelahiran Pancasila Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang tidak terpisahkan dari keberadaan lambang negara Garuda Pancasila. Tapi sedikit yang tahu bahwa di dalam Garuda Pancasila terkandung karya buah pikir anak bangsa Indonesia yang terinspirasi dari ajaran agama Buddha.
Berdasarkan sejarah, kelahiran Pancasila Dasar NKRI diiawali dengan pidato Presiden Soekarno di hadapan sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Juni 1945, yang mengusulkan 5 dasar (pancasila) sebagai dasar negara.
Lima dasar tersebut memiliki akar sejarah dan filsafat dari Agama Buddha yaitu Pañca-śīlā (lima kemoralan) yang telah masuk dalam kesusastraan pada masa kejayaan Majapahit* di antaranya terdapat dalam kitab Desawarnana (tahun 1365) atau lebih dikenal dengan kakawin Nagarakrtagama karya Mpu Prapanca (bukan nama asli – red) pada pupuh 43.
Lima kemoralan yang terdiri dari: bertekad menghindari diri dari membunuh, menghindari diri dari mencuri, menghindari diri dari melakukan tindakan seksualitas yang tidak diperkenankan, menghindari diri dari berdusta, menghindari diri dari makan dan minum yang memabukkan, setelah runtuhnya Majapahit tetap menjadi tuntutan perilaku bagi masyarakat Jawa yang kemudian mengalami sedikit perubahan dan dikenal dengan Mo Lima (pantang lima hal) yaitu ora keno (tidak melakukan) mateni (membunuh), maling (mencuri), madon (bermain perempuan), madat (mabuk) dan main (berjudi).
Tidak hanya Pancasila NKRI yang memiliki nilai sejarah dan filsafat dari agama Buddha, tetapi semboyan NKRI, Bhinneka Tunggal Ika, yang tertulis pada lambang negara RI, Garuda Pancasila**, juga merupakan salah satu bentuk karya dari hasil buah pikir anak bangsa yang terinspirasi dari ajaran agama Buddha (Buddhisme).
Bhinneka Tunggal Ika (bhinneka: beraneka + tunggal: satu + ika: itu), beraneka/berbeda itu adalah satu, merupakan kalimat yang diambil dari kitab kakawin Sutasoma yang bernafaskan agama Buddha karya Mpu Tantular pada masa kerajaan Majapahit pada abad ke-14.
Dalam pupuh 139, bait 5 dari kakawin Sutasoma terdapat kalimat yang mengatakan: “Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa” – Beraneka itu adalah satu juga, tidak ada dualitas dalam dharma (kebenaran). Kalimat ini merupakan kesimpulan dari pandangan penulis atas adanya kebenaran ajaran Buddha dan Shiva (Hindu) yang hidup berdampingan pada masa itu. Kemudian kalimat ini menjadi semboyan bagi kehidupan yang bertoleransi.
Kitab kakawin Sutasoma sendiri pada dasarnya berisi gubahan dari kisah Jātaka yang terdapat dalam kitab komentar dari salah satu syair dalam kanon Buddhis, Tripitaka, yaitu kisah yang berjudul Mahā-Sutasoma. Saat ini kisah Sutasoma dapat dibaca lengkap dalam Kisah Jātaka No.537 yang bersumber pada syair Jataka No.537, Mahā-Sutasoma Jātaka, Khuddaka Nikaya, Suttapiṭaka, Tipitaka Pali.
Keterangan bahwa kisah Sutasoma yang berasal dari kisah Sang Buddha disampaikan oleh penulis kakawin tersebut dalam pupuh 148, yang menyatakan: “Nâhan tântyanikang kathâtiçaya Boddhacarita ng iniket” – Demikianlah akhir dari cerita indah yang digubah dari kisah Sang Buddha.
Meskipun ada perbedaan antara kisah Sutasoma dalam kakawin dengan yang ada di dalam Jātaka, namun keduanya memiliki persamaan yang cukup signifikan. Keduanya mengisahkan mengenai perjalanan hidup Bodhisatta (yang kemudian menjadi Buddha Gotama) yang di suatu waktu dilahirkan sebagai seorang pangeran bernama Sutasoma.
Secara singkat dan garis besar, baik kakawin dan Jataka mengisahkan bagaimana Pangeran Sutasoma yang kemudian menjadi Raja Sutasoma, menyadarkan seorang raja penggemar makan daging yang menjadi seorang pejahat kanibal yang menculik 100 orang raja untuk dimakan. Selain menyadarkan raja kanibal tersebut, Pangeran Sutasoma juga berhasil melepaskan 100 raja tersebut tanpa melalui kekerasan.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa pemikiran-pemikiran yang terinspirasi dari ajaran Buddha juga ikut berperan dalam terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keberadaan Buddhisme atau agama Buddha tidaklah terpisahkan dari sejarah keberadaan bangsa Indonesia.[Bhagavant, 1/6/12, Sum]
*Pendidikan Pancasila – Perspektif Sejarah Perjuangan Bangsa, Pandji Setijo, Edisi Keempat, Grasindo, 2011, hal.15-18.
**Garuda Pancasila sebagai lambang negara dirancang oleh Sultan Hamid II dari Pontianak, dan resmi digunakan pada 11 Februari 1950.
Kategori: Asia Tenggara,Indonesia,Pendidikan
Kata kunci: Garuda Pancasila, kenegaraan
Penulis: