Kisah Satu Tahun Pasca Tsunami Jepang
Bhagavant.com,
Tokyo, Jepang – Kemarin, Minggu (11/3) masyarakat Jepang memperingati tepat satu tahun bencana gempa dan tsunami yang menelan korban tewas sebanyak 15.854 orang, 9.677 terluka dan 3.155 dinyatakan hilang.
Jutaan orang di seluruh negara bunga sakura tersebut menundukkan kepala dan berdoa tepat pukul 14.46 waktu setempat yang merupakan waktu saat tepat terjadinya gempa berkekuatan 9,0 MMS (moment magnitude scale – skala kekuatan momen) menyerang bagian timur laut (Tohoku) Jepang dan melepaskan gelombang besar tsunami yang menerjang pantai dan meratakan kota-kota.
Suara sirene meraung dan bel Buddhis berbunyi di kota-kota kawasan Tohoku dimana sebanyak 344.000 orang pengungsi masih tidak memiliki tempat tinggal akibat bencana tersebut. Mereka tinggal di perumahan sementara yang sempit.
Sudah satu tahun berlalu tragedi yang mengerikan tersebut berlalu, namun kesan yang ditimbulkan masih melekat pada sebagian besar masyarakat dunia khususnya warga Jepang. Dan dibalik pasca tragedi tersebut, kisah-kisah menarik pun muncul.
Kisah Penjaga Abu Kremasi Tak Bernama
Salah satu dampak dari gempa dan tsunami Tohoku adalah banyaknya korban yang tewas, dan di antaranya adalah orang-orang yang tidak bisa dikenali. Tubuh mereka tidak pernah diklaim oleh seseorang sebagai sanak keluarga mereka karena tidak ada satu orang pun yang tersisa yang bisa mengenali mereka.
Tapi seorang bhiksu dengan penuh kasih menyimpan abu dan tulang dari beberapa orang yang tewas yang namanya tidak diketahui oleh siapapun dengan harapan mereka dapat bersatu kembali dengan keluarga mereka.
Seperti yang dilaporkan oleh AFP (3/3), setiap hari selama setahun terakhir, Bhiksu Ryushin Miyabe melakukan doa dan menyalakan dupa untuk para korban yang sisa kremasinya ia jaga di vihara Myokoin di Yamamato, sebuah kota kecil di pantai yang terkena terjangan tsunami.
Pada akhir Januari ia akhirnya berhasil menyerahkan sisa-sisa kremasi dari seorang anak berusia lima tahun yang selama ini hanya dikenal sebagai “No.906”, saat nenek anak tersebut melakukan identifikasi melalui tes DNA.
Jenasah anak laki-laki tersebut telah dikremasi bulan Juni tahun lalu setelah penjaga pantai menemukan jasad anak laki-laki tersebut mengambang di laut, tersapu oleh tsunami yang menerjang. Sang nenek mengatakan bahwa ibu dari anak tersebut juga tewas saat bencana tersebut datang, dan ia telah mencari tubuh cucunya tersebut selama hampir setahun.
Dalam tradisi Buddhis di Jepang, jenasah mereka yang meninggal akan dikremasi dan abu dan tulangnya dimasukkan ke dalam sebuah pasu/guci (urn). Kemudian pasu diletakkan di makan keluarga.
Secara nasional, lima ratus jenasah telah ditemukan dan belum teridentifikasi setelah gelombang besar menyapu pantai, dan lebih dari 3.000 orang tidak pernah ditemukan.
Pada saat itu, Bhiksu Miyabe menjaga abu dari 30 orang yang dipercayakan kepadanya oleh pihak berwenang karena kewalahan oleh jumlah orang yang tewas. Dan setelah sisa kremasi anak laki-laki berusia lima tahun tersebut kembali kepada keluarganya, vihara Bhiksu Miyabe hanya tinggal memiliki sebuah guci kecil yang tersisa.
Kisah Hantu Membayangi Korban Tsunami Jepang
Kengerian akibat bencana gempa bumi dan tsunami di Jepang masih membekas dalam ingatan maupun bawah sadar mereka yang mengalami peristiwa tersebut dalam setahun terakhir. Dan kengerian tersebut terus berlanjut dalam kisah horor mengenai hantu dari mereka yang tewas.
Beberapa korban yang selamat dari gempa dan terjangan tsunami mengaku bahwa mereka telah melihat dan mendengar hantu-hantu dari kerabat dan teman mereka yang meninggal, yang memohon kepada yang masih hidup untuk membiarkan mereka beristirahat dengan tenang dengan menemukan tubuh mereka dan memberikan mereka pemakaman yang layak.
Seorang pria tua di prefektur Miyagi di wilayah Tohoku menceritakan kepada seorang bhiksu bahwa ia melihat sebuah gambaran yang jelas dan mendengar suara aneh seseorang berjalan di permukaan laut.
Seorang wanita yang tinggal di perumahan sementara mengatakan bahwa sesosok hantu mengunjunginya di lapangan. “Saya percaya sesuatu telah terjadi di sini,” katanya seperti yang dilaporkan oleh Majirox News (12/3).
Seperti yang telah diduga, tidak ada organisasi pemerintah yang bertugas untuk memberikan kenyamanan dan konsultasi bagi mereka yang pernah berhubungan dengan kematian. Mereka yang pernah mengalami penglihatan tersebut juga tidak pernah berantusias untuk mencurahkannya kepada keluarga mereka, dan akhirnya kelompok agama yang masuk ke dalam permasalahan ini untuk mendukung orang-orang ini.
Bhiksu Koho Inoue, yang berperan sebagai sekretaris jenderal Asosiasi Pemuda Buddhis Tanah Suci (Young Buddhist Association of the Pure Land School), mengatakan bahwa melihat hantu merupakan sebuah hal yang wajar bagi mereka yang telah menderita trauma berat, seperti bencana 11 Maret tahun lalu.
“Penglihatan setelah menghadapi kematian sudah lebih umum dari yang orang-orang pikirkan, dan melintasi kebangsaan, agama dan budaya,’katanya. “Saya tidak tahu apakah mereka benar-benar hantu atau bukan, tapi saya tidak menyangkal bahwa mereka melihat sesuatu yang mereka sebut hantu,” katanya.
Ia menambahkan bahwa orang-orang ini tidaklah berhalusinasi, dan mereka sadar terhadap apa yang ada di sekitar mereka. Ia mengutip cerita dalam kepustakaan dan biografi sejarah mengenai penglihatan yang dilihat oleh mereka yang menghadapi kematian atau mereka yang berada dalam menjelang ajalnya.
Pelantunan sutra-sutra Buddhis nampaknya membantu untuk meringankan rasa sakit dan kesedihan, demikian kata Bhiksu Inoue. Dan banyak para korban yang selamat merasakan rasa lega setelah mereka melantunkan sutra bersama bhisku tersebut.
Bhiksu lainnya memiliki pandangan yang berbeda tehadap fenomena tersebut. Ryonosuke Fukumoto, seorang bhiksu dari Tokyo menekankan ajaran realistis dari Buddhisme.
“Saya tidak percaya pada hal-hal takhayul seperti hantu,” katanya. “Alasan mengapa seseorang melihat sesuatu seperti itu adalah karena pikiran seseorang yang kacau sebagai hasil dari rasa takut dan khawatir. Dalam pengalaman saya, kondisi mental yang bermasalah seperti itu selalu membawa saya hasil yang buruk .” Sebagai contoh, Bhiksu Fukumoto mengatakan ia telah membuat sebuah kesalahan yang sepele dalam pekerjaannya, yang tidak pernah ia buat dalam kondisi mental yang biasanya.
Ia percaya bahwa ajaran Buddhis membantu menenangkan kegelisahan emosiaonal kita, dan melihat kebenaran – mengulangi pernyataan kepercayaannya, pada realitasnya “hantu” atau ‘suara-suara” merupakan sebuah refleksi atau cerminan dari kondisi emosi dan mental seseorang.
Meskipun komunitas masyarakat yang telah hancur dan rata dengan tanah oleh gempa bumi perlahan-lahan dibangun kembali, namun membangun kembali semangat dari masyarakat dan menyembuhkan luka yang disebabkan oleh rasa kehilangan akan membutuhkan waktu yang lama, dan di wilayah inilah agama berperan untuk memberikan kenyamanan dan bantuan bagi masyarakat untuk meletakkan dan meninggalkan hantu-hantu masa lalu apapun bentuknya agar beristirahat. Semoga semua makhluk bebas dari penderitaan fisik dan batin. Sadhu![Bhagavant, 12/3/12, Sum]
Kategori: Jepang
Kata kunci: bencana alam, gempa bumi
Penulis: