Birma Memulai Festival Stupa Shwedagon
Bhagavant.com,
Rangoon, Birma – Setelah sempat dilarang oleh pemerintah rezim militer selama 20 tahun, akhirnya rakyat Birma dapat kembali merayakan sebuah festival besar yang berlangsung selama 15 hari dan dimulai pada Rabu 22/2 dengan beramai-ramai hadir di stupa paling suci di negeri tersebut, Stupa Shwedagon.
Rakyat Birma memulai festival Stupa Shwedagon atau disebut juga festival Tabaung, sebuah festival yang diadakan selama 15 hari menjelang berakhirnya tahun dalam penanggalan kalender Birma, yang puncaknya jatuh pada hari bulan purnama.
Diambil dari nama bulan terakhir penanggalan kalender Birma, Tabaung, yang biasanya jatuh pada sekitar bulan Februari dan Maret, festival ini juga sekaligus merupakan perayaan untuk memperingati berdirinya Stupa Shwedagon. Pada tahun ini, perayaan yang mencapai puncaknya pada 7 Maret tersebut untuk merayakan peringatan ke-2600 tahun berdirinya Stupa Shwedagon dan Pencerahan Sang Buddha (Buddha Jayanti).
“Ada rasa lapar akan festival Stupa Shwedagon. Festival ini dilarang selama 20 tahun dan sekarang dimulai lagi,” kata Khin Maung Aye, seorang cendekiawan Buddhis dan juga penyelanggara acara tersebut. Seperti yang dilaporkan oleh Aye Aye Win dari Associated Press, Khin Maung Aye memperkirakan adanya gelombang besar para peziarah, “Saya telah memimpikan hal ini selama bertahun-tahun, namun saya tidak berani berpikir akan menjadi begitu besar.”
Stupa Shwedagon yang kini memiliki puncak bertatahkan intan sebanyak 5.448 intan dan 2.317 batu delima, didirikan sejak 588 Sebelum Masehi, saat kehidupan Sang Buddha. Dibangun oleh Raja Ukkala (Okkala) untuk menyimpan relik berupa delapan helai rambut Buddha Gotama yang diterima langsung oleh dua bersaudara pedagang asal Birma, Tapussa dan Bhallika dari Sang Buddha. Konon, Stupa Shwedagon juga menyimpan 3 buah relik dari Buddha-Buddha sebelumnya yaitu tongkat milik Buddha Kakusandha, penyaring air milik Buddha Koṇāgamana dan selembar jubah milik Buddha Kassapa.
Stupa Shwedagon telah digunakan untuk berbagai kegiatan termasuk sebagai tempat bertemunya para pemrotes anti-pemerintah, seperti Aung San Suu Kyi, tokoh pro-demokrasi yang menyampaikan pidatonya kepada setengah juta orang pada tahun 1988. Dan mulai saat itulah pemerintah junta militer melarang segala bentuk festival di stupa emas tersebut dengan alasan keamanan.
Pada masa rezim militer, perayaan keagamaan berskala kecil yang dilakukan di stupa diizinkan, namun perayaan yang lebih besar terutama di Stupa Shwedagon dipandang sebagai suatu hal yang berpotensi menimbulkan masalah di negara yang mayoritas rakyatnnya bergama Buddha tersebut. Kini ketakutan seperti ini tidak menjangkit pada pemerintah baru Birma yang secara nominal merupakan pemerintahan sipil.
“Rezim sebelumnya, mereka menginginkan rakyat ditekan, ditahan, diam dan tenang,” kata Pyinya Wuntha, seorang bhikkhu yang belum beberapa lama yang lalu telah dipenjara karena berbicara seperti itu. “Sekarang pemerintahan telah berganti dan sistem telah berganti. Mereka tidak bisa lagi mengontrol kita dengan mengarahkan senjata kepada kita,” kata bhikkhu tersebut.
Untuk festival kali ini, kaki atau dasar Stupa Shwedagon diperindah dengan setengah juta anggrek, dahlia, dan bunga-bunga lainnya.
Festival Stupa Shwedagon diawali dengan prosesi padakkhina pada pagi hari oleh ribuan warga masyarakat dengan berjalan menelusuri dinding stupa dengan tanpa alas kaki. Saat gong berbunyi, ratusan bhikkhu mulai mengalunkan paritta. Dan selama 15 hari kedepan, 12 orang bhikkhu secara bergantian akan melantunkan paritta tanpa henti hingga perayaan festival berakhir.
Festival sendiri akan diisi dengan beragam kegiatan tradisional. Pada malam hari, jalan-jalan di luar stupa berubah menjadi sebuah pasar malam yang dipenuhi dengan masyarakat. Ada kincir ria dan pertunjukkan boneka tradisional Birma serta gerai-gerai yang menjual makanan dan produk-produk lainnya.[Bhagavant, 23/2/12, Sum]
Kategori: Birma,Seremonial
Kata kunci: Stupa Shwedagon
Penulis: