Ketenangan Warga Jepang Hadapi Bencana
Winnipeg Free Press,
Tokyo, Jepang – Pasca gempa bumi dan tsunami di Jepang (11/3), banyak yang telah menulis dan mengatakan mengenai bagaimana warga negara tersebut telah mengatasi bencana tersebut – bagaimana tenangnya, tabah, sabar dan damainya mereka meskipun tragedi tersebut menimpa mereka.
Dari manakah sikap ini berasal? Dari sejarah, geografi dan kebudayaan mereka tentu saja. Namun, juga berasal dari agama mereka.
Meskipun Jepang sebenarnya merupakan negara sekuler, Jepang diresapi dengan pemikiran Buddhis dan Shinto. Lebih dari 90 persen warga Jepang mengklaim menjadi penganut dari salah satu atau keduanya dari agama-agama kuno tersebut, dengan mayoritas mengidentifikasikan diri mereka sebagai Buddhis. (Hanya sekitar dua persen dari warga Jepang yang beragama Kristen.)
Saat bencana terjadi di seluruh dunia, sudah umum mendengar orang-orang yang berasal dari tradisi Kristen mempertanyakan mengapa bencana seperti itu dapat terjadi – bagaimana bisa Tuhan membiarkan seseuatu seperti gempa bumi dan tsunami tersebut terjadi?
Tapi bukan pertanyaan seperti itu yang ditanyakan oleh para penganut agama-agama timur seperti Buddhisme dan Shinto. Bagi mereka, apa yang menjadi penyebab dari bencana tersebut bukanlah sesuatu yang penting. Yang penting adalah bersikap positif, menjadi teguh dan gigih dalam menghadapi kesulitan.
“Tragedi alam merupakan bagian dari kehidupan dalam planet ini,” kata Fredrich Ulrich, sensei (guru – ed) dari Vihara Manitoba, Kanada. “Geologi dan geografi yang membuat tragedi tersebut berulang dan tak terelakkan . Tidak perlu berpikir bahwa kita telah dijadikan sasaran oleh tuhan atau sejenisnya.”
Sensei Ulrich mengatakan, apa yang penting adalah bagaimana orang merespons tragedi-tragedi seperti gempa bumi dan tsunami.
“Inilah yang kami lakukan terhadap dan setiap bencana-bencana , itulah yang penting,” katanya. “Kami menghadapi kematian dengan kesedihan, bukan dengan teror. Kami mengubur mereka yang meninggal dan menghormatinya, kemudian bekerja membangun kembali masyarakat.”
Pemikiran yang serupa juga dimiliki oleh Y.M. Shravasti Dhammika, seorang bhikkhu dari Australia (Penulis buku “Good Question, Good Answer” – ed)
Bercermin pada tsunami Asia Tenggara 2004, ia bertanya: ”Bagaimanakah Buddhisme menjelaskan bencana alam seperti tsunami? Dalam suatu pengertian tertentu tidaklah perlu menjelaskannya. Hanyalah kepercayaan pada tuhan yang serba tahu, serba baik dan penuh kekuatan yang memaksa kita untuk mencoba menjelaskannya dan menjelaskan bahwa semua bukti yang ada nampaknya bertentangan dengan kepercayaan ini.”
Ketika tuhan dikeluarkan dari permasalahan ini, beliau mengatakan, ”jawabannya sangatlah sederhana. Alam semesta tidaklah sesuai dengan keinginan dan harapan kita. Alam semesta tidak membutuhkan pemberitahuan dari kita dan keinginan kita.”
Gempa bumi, tsunami, angin topan, banjir, kekeringan, wabah penyakit, kecelakaan, – semuanya ini terjadi apa adanya, demikian pernyataan beliau.
“Kita hidup di dalam sebuah alam semesta yang dinamis dan kadang kala segala peristiwa menguntungkan kita, dan di lain waktu merugikan kita. Demikianlah kerja dunia ini.”
Beliau menambahkan, “Buddhisme tidaklah menitikberatkan pada menjelaskan mengapa hal ini terjadi. Adalah hal yang simpel menyatakan hal yang masuk akal bahwa alam semesta kadang kala bertentangan dengan impian kita, harapan kita dan keinginan kita.”
Tujuan dari beliau mengatakan hal itu adalah untuk mengajarkan orang-orang “untuk mengubah keinginan kita sehingga kita mengurangi kecenderungan kita dalam konflik dengan cara kerja segala sesuatu tersebut, dan bagaimana untuk tetap tenang dan puas saat mereka berkonflik dengan cara kerja segala sesuatu tersebut.”
Sebuah puisi yang nampaknya menangkap perasaan ini adalah Ame ni mo Makezu (Tak Terkalahkan oleh Hujan) oleh Kenji Miyazawa, salah seorang penyair dan penulis Jepang terbaik. Puisi yang hampir merupakan puisi nasional tersebut, menurut Sensei Ulrich, menggambarkan sikap tenang dan tabah warga Jepang yang kita amati dalam menghadapi bencana tersebut.
Tak Terkalahkan Oleh Hujan
(Ame ni mo Makezu)
Tak terkalahkan oleh hujan
Tak terkalahkan oleh angin
Tak tertundukkan oleh salju dan musim panas menerpa
Tegar dalam raga
Tak terkekang oleh keinginan
Tak terpikat dalam kemarahan
Selalu dalam kedamaian
Dengan segenggam penuh nasi merah
Miso dan sejumlah sayuran cukuplah sudah
Apapun yang terjadi
Tempatkan dirimu yang terakhir, utamakan yang lain
Dengan seksama, amati, pahami, dengarkan
Tak melupakan segalanya ini
Dalam bayang rimba pinus di padang
Hidup dalam gubuk beratapkan ilalang
Jikalau di Timur seorang anak sakit
Pergilah ke sana dan rawatlah ia
Jikalau di Barat seorang ibu terlelahkan
Pergilah ke sana dan lepaskanlah bebannya
Jikalau di Selatan seorang pria dalam sekarat
Pergilah ke sana dan tenangkan ia dan katalah “Janganlah takut”
Jikalau di Utara ada pertengkaran dan sengketa
Pergilah dan yakinkanlah mereka bahwa itu adalah sia-sia
Teteskan air mata dalam kekeringan
Dalam dinginnya musim panas, terus membara
Meski dengan rasa kehilangan
Disebut si bodoh oleh semua
Tanpa pujian dan tuduhan
Seperti itulah aku ingin menjadi
(Diterjemahkan bebas dan diadaptasi oleh Bhagavant.com dari terjemahan Inggris oleh Catherine Iwata, Sensei Fredrich Ulrich, Sophie Sampson, Helene Bartos, Minaeri Park, Mokmi Park, Yasuko Akiyama)[Winnipeg Free Press, 2/4/11, tr: Sum]
Sebuah persembahan lagu dari para artis Asia dalam penggalangan dana untuk korban bencana gempa dan tsunami di Jepang (11/3/2011)
Sumber: youtube.com
Kategori: Asia Timur,Jepang,Lingkungan Hidup,Sosial
Kata kunci: bencana alam, gempa bumi
Penulis: