Bhikkhu Birma Di Pengasingan Memprihatinkan
Bhagavant.com,
New York, Amerika Serikat – Tiga tahun yang lalu kita diingatkan oleh sebuah tragedi dimana beberapa bhikkhu Birma dipukul, dipenjara bahkan ada yang terbunuh oleh rezim junta militer Myanmar. Beberapa bhikkhu Birma itu pun ada yang mengasingkan diri dan mendapatkan suaka di luar negeri, termasuk di Amerika Serikat. Lalu bagaimana kehidupan mereka di pengasingan?
Kehidupan para bhikkhu yang berada di tanah suaka tersebut ternyata sangat memprihatinkan. Sebagian besar dari mereka terpaksa melepas jubah mereka yang berwana safron (kuning kunyit) dan menggantinya dengan pakaian kerja berwarna biru serta meninggalkan kebhikkhuan mereka demi hidup di tanah baru.
Sebagian kecil bhikkhu yang tersisa kini hidup di daerah tempat mereka bekerja di kota bekas pabrik sepatu sekitar 380 km di Utara Kota New York, dan mencoba untuk bertahan hidup.
Di antara mereka yang tetap mengenakan jubah kebhikkhuan adalah Bhikkhu U Gawsita yang dengan tenang berada di kelas bahasa Inggris. Ia merupakan salah satu dari beberapa imigran yang belajar sejarah Amerika Serikat di Utica.
Bersama ketiga rekan bhikkhunya, di waktu fajar Bhikkhu U Gawsita membaca paritta di sebuah rumah papan yang menjadi vihara sementara. Tapi Bhikkhu U Gawsita (30) yang melihat para bhikkhu berdiri pada pembacaan nominasi Oscar untuk film “VJ Birma” yang ditayangkan siaran TV kabel Amerika, HBO, merupakan bagian dari suatu bangsa yang sekarat.
Sejumlah 36 orang bhikkhu diberikan suaka di Amerika Serikat segera setelah terjadi Revolusi Safron, sebuah aksi protes damai para bhikkhu dan masyarakat yang menentang kenaikan BBM kemudian berguling menjadi sebuah tantangan besar bagi pemerintah militer sejak pemberontakan tahun 1988. Kini hanya tersisi delapan orang bhikkhu.
“Di sini para bhikkhu tidak dapat bertahan. Mereka dipaksa untuk berubah, untuk menjadi warga sipil biasa,” demikian kata Bhikkhu Gawsita dengan suara lembut saat diwawancara baru-baru ini yang dikelilingi oleh bendera-bendera Buddhis dan foto-foto gantung peraih Penghargaan Nobel Perdamaian dan tokoh pro-demokasi Aung San Suu Kyi.
Lain halnya dengan Ko Tay Lwin (40) yang harus meninggalkan kebhikkhuan dan tinggal di Moorefield, Virginia Barat. Ia bekerja di sebuah jalur pengepakan pabrik untuk Perusahaan Pilgrim’s Pride Food, dengan bekerja mengepak es atau menggantung ayam mati dengan upah 10,90 dolar (+/- Rp.100.000,-) per jam. Kadang-karang jari-jarinya tidak bisa digerakkan setelah melakukan tugasnya semalaman.
Beberapa bhikkhu dikirim ke Utica untuk menenangkan diri. Yang lainnya ke tempat-tempat terpencil yang menyediakan pendidikan bagi pengungsi dan mencari daerah berpopulasi penduduk tinggi sebagai pekerja imigran berketerampilan rendah.
“Saya merasa sangat sedih untuk meninggalkan kebhikkhuan,” kata Lwin, yang berhenti berlatih kebhikkuan tahun lalu setelah tiba di Amerika Serikat (A.S) pada bulan Agustus 2008, dalam sebuah artikel yang dikutip oleh Bhagavant.com dari Vancouver Sun. “Suatu tantangan untuk mempertahankan kebhikkhuan di A.S karena tidak ada seorang pun atau apa pun yang mendukung agar saya melanjutkan kebhikkhuan.”
Para bhikkhu dan mantan bhikkhu lainnya mengatakan bahwa minimnya bantuan keuangan dan makanan membuat mustahil hidup tanpa sebuah pekerjaan. Di Birma, para bhikkhu diberi penghormatan dan diberi sumbangan serta bantuan makanan sehari-hari pada pindapatta pagi dari masyarakat setempat.
“Saya bahkan tidak memiliki 1 dolar pun dalam saku saya saat tiba di sini,” kata Ashin Janita (32), yang meninggalkan kebhikkhuan setelah dikirim ke Georgia, di mana tanpa sebuah pekerjaan ia tidak dapat hidup bergantung dengan kupon makanan dan bantuan 150 dolar per bulan.
Sekarang Janita mendapatkan 11,13 dolar per jam di sebuah pabrik babi di Marshalltown, Iowa, pada jalur pengepakan untuk mengiris kulit daging ham, dengan waktu bekerja dimulai pada 5.30 pagi.
“Kehidupan sebagai seorang bhikkhu sangatlah damai, tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan,” katanya . ”Saya memiliki banyak kekhawatiran sekarang.”
Para pakar Buddhisme di A.S mengatakan bahwa banyaknya tradisi Buddhisme dan sedikitnya jumlah komunitas warga Birma yang kuat di Amerika memberikan kesulitan mendapatkan dukungan dana bagi para bhikkhu Birma yang berlatih Buddhisme secara ketat yang dikenal dengan Theravada.
Profesor di UCLA Center untuk Studi Buddhis, Robert Buswell, mengatakan bahwa kelompok-kelompok Buddhis A.S menyokong diri mereka sendiri dan “tidak memahami” bagaimana memberikan bantuan kepada cabang lain.
Para bhikkhu di Utica telah membentuk sebuah kelompok yang disebut dengan Aliansi Seluruh Bhikkhu Birma (All Burma Monks’ Alliance) untuk mengumpulkan dana guna membangun vihara yang layak.
Salah seorang bhikkhu, U Pyinya Zawta (49) yang menghabiskan lebih dari 10 tahun di penjara-penjara Myanmar di mana ia bilang ia pernah dipukuli, mengatakan bahwa budaya juga memainkan peranannya.
“Beberapa bhikkhu ingin merasakan kehidupan Amerika,” kata Bhikkhu Zawta. “Orang-orang muda menginginkan untuk menikmati kesenangan yang beragam dan kebhikkhuan memiliki banyak peraturan sehingga hal ini menyulitkan.”
Para bhikkhu dan mantan bhikkhu mengatakan bahwa mereka sangat berterima kasih kepada negara adopsi mereka, harapan mereka suatu saat nanti Birma menjadi negara demokrasi dan mereka dapat kembali.
“Saya memiliki sebuah kebebasan dan saya memiliki banyak kesempatan di A.S, “ kata Bhikkhu Gawsita. “Tapi jika saya memikirkan rekan saya yang dipenjara dan yang mati dalam revolusi, saya merasa sedih untuk mereka. Bahkan meskipun saya hidup di sini dalam kebebasan, saya masih tidak dapat merasakan bebar-benar bebas.”
Informasi mengenai organisasi Aliansi Seluruh Bhikkhu Birma dapat mengakses ke All Burma Monks’ Alliance.[Sum]
Kategori: Amerika Serikat,Amerika Utara,Gerakan Buddhis,Sosial
Kata kunci: bhikkhu, kemelut Birma, New York, Revolusi Safron
Penulis: