Para Bhikkhu Jadi Target Junta
The Irrawaddy,
Yangon, Birma – Beberapa anggota aktivis pemuda Persatuan Nasional Demokrasi (NLD) di Rangoon bersembunyi ketakutan dari upaya penangkapan oleh pasukan keamanan Birma, sementara itu, para bhikkhu yang melakukan perjalanan di Sittwe melaporkan bahwa mereka menjadi target interogasi oleh penguasa.
Anggota pemuda NLD di Rangoon mengatakan pada The Irrawaddy pada hari Rabu bahwa sekarang beberapa anggota pemuda NLD lainnya merasa takut tinggal di rumah dan bersembunyi untuk menghindari penguasa militer.
Sumber dari para penentang pemerintah mengatakan bahwa keamanan telah diperketat lebih dari beberapa minggu yang lalu khususnya di area-area dimana terjadi aksi demonstrasi setahun yang lalu, termasuk Rangoon, Pegu, Kota Praja Sittwe di daerah Arakan dan Kota Praja Pakokku di wilayah Magwe.
Sementara itu, di Sittwe seorang bhikkhu yang berbicara kepada The Irrawaddy yang tidak diketahui namanya mengatakan bahwa para bhikkhu yang berpergian ke luar vihara mereka menghadapi pertanyaan yang bertubi dari otoritas Birma.
“Para bhikkhu dihadang dan diberi pertanyaan oleh petugas,” katanya.
Para penjaga keamanan disebarkan di pusat kota Sittwe dan di beberapa tempat seperti di pagoda-pagoda dan area-area publik, kata bhikkhu tersebut.
Pihak keamanan memastikan datang ke peringatan pembubaran para pemerotes damai 26-27 September di Rangoon tahun lalu.
Menurut Asosiasi Bantuan untuk Para Tahanan Politik Birma (AAPP) yang berbasis di Thailand, empat belas aktivis Birma di Rangoon dan Meiktila di wilayah Mandalay telah ditangkap sejak 9 September.
Sementara itu, delapan peraih Penghargaan Nobel Perdamaian, termasuk Desmond Tutu dan Dalai Lama, mengeluarkan sebuah pernyataan bersama pada hari Selasa yang menandakan peringatan “Revolusi Safron” dengan mendesak rakyat Birma untuk “memelihara ketanpakekerasan, kebulatan tekad, dan kewaspadaan meskipun menghadapai rintangan.”
Para peraih Nobel mengatakan bahwa mereka mengamati “peringatan kelam” karena rejim Birma menolak berubah dan setiap harinya. tetap melanjutkan penindasan-penindasan terhadap para aktivis, bhikkhu, dan para anggota partai politik oposisi.
Dalam pernyataannya, para Peraih Nobel juga mendesak rejim Birma untuk mengadakan proses rekonsiliasi (kerukunan) nasional secara sungguh-sungguh dimana mengikutsertakan semua pihak dan memimpin menuju demokrasi yang sesungguhnya, seraya menyerukan untuk membebaskan pemimpin pro-demokrasi Aung San Suu Kyi dan seluruh tahanan politik.
“Kami tidak akan diam sementara Birma menderita… Kami berdiri bersama dengan saudara-saudara Birma kami. Mereka ada dalam hati dan pikiran kmau,” kata para peraih Nobel.
Para peraih Penghargaan Nobel juga mengkritik penguasa Birma untuk kelalaian dalam bertanggungjawab untuk membantu pemulihan masyarakat dari bencana alam angin topan yang menewaskan lebih dari 130.000 orang di bulan Mei, dan mengkritik untuk pelaksanaan “referendum yang terselubung” untuk memuluskan agenda “peta ”tujuh langkah mereka meskipun bencana menimpa.
Para peraih Nobel juga mengatakan bahwa para Jenderal Birma dan kroni-kroni mereka telah “melapisi kantung-kantung mereka dengan ketamakan, memanipulasi peredaran uang yang diberikan oleh organisasi internasional untuk bantuan bencana.”
Di London, masyarakat Birma penentang junta berencana untuk memperingati peringatan pertama tragedi tesebut dengan mengadakan demonstrasi pada 26 September untuk menyerukan pembebasan terhadap semua tahanan politik di Birma.
Menurut Burma Campaign di Inggris, karena saat ini Thailand duduk sebagai ketua Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara atau Association of South East Asian Nations (Asean), maka para protestan juga akan mengadakan demonstrasi di luar kedutaan besar Thailand di London untuk menyerikan agar Asean mempergunakan pengaruh mereka untuk mendesak pembebasan para tahanan pilitik Birma.
Memperingati 1 tahun “Revolusi Safron”. [Saw Yan Naing]
Kategori: Asia Oseania,Asia Tenggara,Birma,Perdamaian
Kata kunci: bhikkhu, hak asasi manusia, junta militer, kemelut Birma, Revolusi Safron
Penulis: