Gua Yungang Butuh Perhatian Segera

Arkeologi BuddhisChinaview.cn,
Shanxi, China – Gua Yungang, salah satu dari tiga kompleks gua terbesar di China menghadapi situasi antara hidup dan mati, dimana para manusia sebagai hakim yang menentukan takdirnya.

Informasi resmi dari situs efaw.cn melaporkan bahwa Gua Yungang, yang berlokasi di bagian selatan kaki bukit Wuzhou, 16 kilometer sebelah barat Datong di propinsi Shanxi, telah mengalami berbagai kerusakan oleh kegiatan manusia dan pengaruh alam.

”Jika kita tidak mengambil tindakan, gua tersebut akan hilang untuk selamanya,” kata salah satu peneliti dari Institusi Penelitian Gua Yungang.

Sebagai salah satu rumah harta bagi kesenian Buddhis kuno, kompleks gua ini tersusun oleh lebih dari 51.000 rupang (patung) Buddhis, berukuran tinggi antara 3 centimeter sampai 17 meter. Kebanyakan dari mereka dibuat pada masa Dinasti Wei pada pertengahan abad kelima, ketika Buddhisme China (Mahayana) berada di puncak kepopularitasannya.

Rupang-rupang tersebut merupakan sisa-sisa kecil dari peninggalan sejarah dinasti tersebut.

Yuan Jinghu, derektur dari institusi penelitian tersebut mengatakan bahwa rupang yang paling berarti dalam kompleks tersebut adalah patung lima kaisar.

Gua Yungang termasuk dalam daftar Warisan Budaya Dunia UNESCO tahun 2001.

Ratusan ribu pengunjung datang berkunjung setiap tahunnya, tetapi sedikit dari mereka yang memperhatikan atau bahkan menyadari memudarnya secara perlahan rupang-rupang Buddha tersebut.

Wen Xialong salah seorang peneliti dari institusi mengatakan bahwa banyak dari permukaan rupang telah mengelupas karena cuaca, dan beberapa dari wajah mereka telah benar-benar rata.

Bahkan beberapa dari rupang tersebut telah runtuh, dan gua-gua dan relung-relung lainnya dapat runtuh sewaktu-waktu.

”Batu pasirnya menjadi sangat kering, dan ia akan rontok terkena sentuhan ringan atau gerakan,” kata Wen.

Direktur Yuan Jinghu mengatakan bahwa rembesan air merupakan penghancur alam utama bagi gua-gua tersebut. Dengan hujan lebat yang secara langsung membasahi tubuh mereka, dan kumpulan air yang menggerogoti dasar mereka, rupang-rupang tersebut menderita erosi yang sangat serius pada bulan Juli, Agustus dan September, ketika jumlah curah hujan yang besar turun di daerah tersebut.

Tetapi cuaca bukanlah satu-satunya sumber dari kerusakan. Datong, kota dimana rupang-rupang itu berada, sudah sejak lama merupakan kota industri yang terkenal akan produksi batu baranya.

Debu-debu batu bara yang beterbangan, bercampur dengan sulfur dioksida yang dihasilkan dari pembakaran batu bara, merupakan dua hal lainnya yang menjadi penyebab kehancuran rupang-rupang tersebut.

”Kombinasi dari debu dan gas membawa reaksi kimia yang berbahaya bagi rupang-rupang batu pasir,” kata Yuan.

Meskipun pemerintah telah mengalokasikan lebih dari seratus juta yuan untuk pembangunan rute transportasi batu bara jauh dari Gua Yungang dan sejumlah besar anggaran tahunan untuk merawat gua-gua tersebut, masih tetap ada ancaman lainnya, dalam bentuk peningkatan jumlah turis.

”Selain pelanggaran yang disengaja, seperti pengotoran dan menyentuh secara berlebihan atau memanjat yang tak perlu, karbon dioksida yang dikeluarkan oleh napas manusia juga merusak rupang-rupang tersebut,” kata direktur.

Yuan merasa prihatin dengan masa depan rupang-rupang tersebut, dan ia mengatakan bahwa sebagai manusia, para pengunjung harus memahami dan menghormati kepentingan rupang-rupang tersebut.

”Rupang-rupang tersebut memiliki kehidupan seperti halnya manusia, dan jika kita melindungi mereka, mereka akan tetap hidup. Jika tidak, mereka akan mati, dan generasi selanjutnya tidak akan memiliki kesempatan untuk melihat seni yang begitu agung,” kata Yuan.

Rekomendasikan:

Kategori: Arkeologi,Asia Oseania,Asia Timur,Seni dan Budaya,Tiongkok
Kata kunci: , , ,
Penulis: